
Catatan Redaksi: Rubrik Feature atau Karangan Khas merupakan jenis konten yang disediakan untuk liputan berita atau peristiwa ihwal tugas dan fungsi layanan administrasi perpajakan, dengan menitikberatkan tema human interest, yang dikemas dengan gaya bahasa yang lebih ringan, renyah, dan luwes, yang berbeda dari gaya bahasa berita lempang (straight news). Feature dapat berupa kisah yang inspiratif, menyentuh hati, lucu, dan menggelitik.
Sebagai bentuk apresiasi terhadap para pegawai Direktorat Jenderal Pajak peserta lomba esai integritas dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi Sedunia 2023 di lingkungan Kementerian Keuangan, kami telah menyeleksi sejumlah esai yang layak dimuat di situs pajak.go.id. Secara berkala, kami akan menayangkan tulisan terpilih dimaksud, di rubrik Feature. Kami mengedit seperlunya tanpa mengubah substansi naskah asli. Dengan berbagai pertimbangan, nama penulis, tokoh, dan tempat kejadian tidak kami cantumkan. Semoga bermanfaat.
---
Kisah ini terjadi antara 2011-2015. Ketika itu aku menjabat sebagai Kepala Seksi di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) yang merupakan unit vertikal di lingkungan kantor wilayah. Ketika itu ada regulasi bahwa wajib pajak atau tepatnya PKP (Pengusaha Kena Pajak) yang mendapat pekerjaan dipercaya untuk menyetorkan sendiri Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Artinya pada saat PKP menerima pembayaran maka nilai pembayaran itu termasuk PPN sebagai titipan dan wajib disetorkan ke negara.
Namun, seperti ujaran klasik bahwa uang itu manis. Begitu PKP menerima pembayaran, tidak hanya uang yang jadi haknya yang dipakai, dana PPN titipan pun diembat. Akibatnya saat aku masuk, aku melihat begitu besar outsanding utang mereka dan mayoritas jenis pajaknya adalah PPN.
Menghadapi hal itu, aku harus mulai dengan memilah wajib pajak atau PKP mana yang bergerak sendiri dan mana yang mengandalkan konsultan pajak. Lantas aku menprioritaskan untuk terlebih dulu menangani wajib pajak yang memakai jasa konsultan. Pertimbanganku adalah mereka umumnya lebih melek pajak dibanding kliennya, jadi lebih enak mengobrolnya.
Nah, salah satunya adalah seorang konsultan wanita (sebut saja C). Persis jumlah totalnya aku tidak ingat yang pasti cukup besar untuk ukuran saat itu. Setelah melewati proses belasan kali komunikasi lalu diakhiri dengan komitmen tertulis untuk membayar utang pajak dengan cara mengangsur. Lantas tiba saatnya ia melakukan angsuran untuk pertama kalinya. Ketika itu di dalam areal TPT (Tempat Pelayanan Terpadu) masih terdapat counter bank penerima pembayaran pajak dari bank.
Saat hari H dari janji C datang ke Kantorku untuk mengangsur aku merasakan ia sudah mulai manuver. Ia datang dipepetin dengan jam bank mulai kemas-kemas untuk tutup. Walau secara fisik bank masih ada petugas tapi tentu mereka harus beresin administrasinya yang berakibat layanan harus stop saat itu.
Karena bank sudah tutup, lantas C mencoba menawarkan opsi untuk datang kembali keesokan harinya. Opsi ini kusetujui dengan satu syarat yakni uang yang sudah ia siapkan untuk bayar pajak harus ia tinggalkan dan aku yang pegang. Semula ia keberatan dengan tembakanku ini, namun ia nggak bisa ngeles lagi ketika aku menyatakan akan memberi tanda terima beserta cap kantor. Sampai sekarang aku masih ingat jumlah uangnya yakni Rp25.000.000,00. Sebelum membuka opsi tadi diam-diam aku minta izin kepala kantorku untuk menyimpan dana titipan wajib pajak.
Rumah dinas kepala kantor lokasinya ada di areal yang sama dengan kantor, bertetanggaan dengan tujuh unit rumah untuk para kepala seksi. Waktu itu Kantorku satu- satunya kantor di wilayah kanwilku yang punya kompleks rumah dinas di halaman yang sama dengan kantor. Jadi untuk menghubungi kepala kantor aku tidak memerlukan waktu yang lama. Setelah kulaporkan secara singkat masalahnya kepala kantor menyetujui permintaanku. Pemikiran kami sama, jika dana tidak ditahan besar kemungkinan konsultan tidak kembali ataupun kalau kembali bisa jadi jumlah uang menyusut.
Setelah itu, aku kembali menemui C yang masih menunggu di TPT yang sudah tutup karena sudah melewati jam kantor. Kepadanya kuserahkan secarik kertas bertuliskan tanda terima sejumlah uang lengkap dengan nama dan tandatanganku serta cap kantor. Kepada C aku tegaskan bahwa besok tanpa menunggunya akan kusetorkan uang tadi ke bank. Waktu itu setoran uang pajak masih menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) belum memakai e-billing seperti sekarang. Jadi tinggal menyerahkan uang beserta SSP yang sudah ditandatangani wajib pajak kepada petugas bank.
Setelah momen bayar perdana itu, peristiwa angsuran masih terus berlangsung untuk beberapa kali pembayaran ke depan. Dan namanya juga pebisnis, tidak lupa C melancarkan “rayuan maut” berupa minta kerja sama kepadaku secara pribadi. Ia minta agar angsuran tidak harus sebesar itu dengan janji akan minta kepada klien agar menyediakan uang kopi untukku. Dengan halus aku menolak tawarkan itu. Kepada C aku minta agar ia fokus membantu klien melunasi utang pajaknya dengan memberi ilustrasi sederhana. Ilustrasinya adalah jika klien menyediakan angpau untukku tentu akan semakin memberatkan dalam melunasi utangnya.
Tidak ketinggalan, aku juga menerangkan yang “ngeri-ngeri sedap” bahwa karena yang “digondol” adalah utang PPN maka wajar jika negara menuntut agar haknya segera dikembalikan. Jika tidak bisa saja klien ditahan dengan status disandera, yakni dipenjara tanpa proses pengadilan. Memang statusnya bukan narapidana hanya sekedar dititipkan di lapas, tapi siapa sih yang mau tinggal di penjara. Apa ibu mau klien jadi sengasara? Kalimat pamungkas itu yang membuatnya mengkeret, karena itu artinya ia pasti akan terseret juga.
Alhamdulillah, walau sampai dengan aku dimutasikan wajib pajak tadi belum lunas utang pajaknya, tetapi tahun itu kantorku berhasil menyabet peringkat pertama untuk pencairan piutang pajak, sekanwil, demikian juga untuk tahun berikutnya.
---
“Saya menyatakan esai ini merupakan hasil pengalaman atau pemikiran dan pemaparan asli saya sendiri, dengan kontribusi, referensi, atau ide dari sumber lain dinyatakan secara implisit maupun eksplisit pada tubuh dan/atau lampiran esai. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya Dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia didiskualifikasi dari perlombaan ini”.
Pewarta:- |
Kontributor Foto:- |
Editor: Arif Miftahur Rozaq |
*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 50 kali dilihat