PMK 50/2025: Babak Baru Pemajakan Aset Kripto

Oleh: Didik Yandiawan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) menjadi tonggak transformasi sektor keuangan Indonesia. Melalui UU P2SK, Pemerintah berkomitmen mewujudkan tata kelola penyelenggaraan perdagangan aset keuangan digital (AKD) yang inklusif. Pengaturan ulang pemajakan terhadap AKD berupa aset kripto adalah wujud nyata dari upaya tersebut.
Mendesain Regulasi Tata Kelola Aset Keuangan Digital
Setelah UU P2SK berlaku, Pemerintah meluncurkan sejumlah regulasi dan satu peta jalan. Melalui Pasal 312 ayat (1) UU P2SK, Pemerintah mengamanatkan peralihan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap AKD dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Sesuai mandat UU P2SK tersebut, Pemerintah telah menerbitkan regulasi turunan terkait tata kelola AKD. Pertama, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2024 tentang Peralihan Tugas Pengaturan dan Pengawasan AKD Termasuk Aset Kripto serta Derivatif Keuangan (PP 49/2024). Kedua, Peraturan OJK Nomor 27 Tahun 2024 tentang Penyelengaraan Perdagangan AKD Termasuk Aset Kripto (POJK 27/2024).
Berjalan paralel, OJK merilis Peta Jalan Pengembangan dan Penguatan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto (IAKD) 2024-2028. Peta Jalan IAKD 2024-2028 dibangun di atas fondasi yang ditetapkan dalam Digital Finance Innovation Roadmap and Action Plan 2020-2024.
Peta Jalan IAKD 2024-2028 bertujuan mendukung pertumbuhan sektor IAKD yang kuat, seimbang, inklusif, dan berkesinambungan. Hasilnya, AKD diharapkan mampu berkontribusi signifikan pada perekonomian nasional.
Pemajakan Aset Kripto
Kontribusi industri IAKD terhadap perekonomian nasional patut diperhitungkan. Mengutip Siaran Pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Nomor 03/KSSK/Pers/2025, hingga Juni 2025 tercatat 1.153 aset kripto yang dapat diperdagangkan. OJK telah menyetujui perizinan 23 entitas di ekosistem perdagangan aset kripto.
Dari sisi fiskal, pada tahun 2022 Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68 Tahun 2022 tentang PPN dan PPh Atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto (PMK 68/2022) serta PMK Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PMK 81/2024). Beleid tersebut menjadi dasar hukum pemungutan pajak atas transaksi perdagangan aset kripto.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), per Januari 2025 telah terkumpul penerimaan pajak atas transaksi perdagangan aset kripto sebesar Rp1,19 triliun. Akumulasi penerimaan tersebut berasal dari Rp246,45 miliar penerimaan tahun 2022, Rp220,83 miliar penerimaan tahun 2023, Rp620,4 miliar penerimaan 2024, dan Rp107,11 miliar penerimaan 2025.
Penerimaan pajak tersebut terdiri dari Rp560,55 miliar penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan aset kripto di exchanger, serta Rp634,24 miliar penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksi pembelian aset kripto di exchanger.
Terbitnya PP 49/2024 dan POJK 27/2024 tidak hanya mengalihkan kewenangan regulator aset kripto dari Bappebti ke OJK. Beleid tersebut juga mengubah status aset kripto yang semula sebagai komoditas menjadi AKD.
Pemerintah menyikapi hal tersebut dengan melakukan pembahasan bersama segenap pemangku kepentingan. Mengutamakan prinsip meaningful participation, PMK Nomor 50 Tahun 2025 tentang PPN dan PPh atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto (PMK 50/2025) akhirnya menjadi babak baru pemajakan aset kripto. PMK ini mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2025.
Penyerahan Aset Kripto Tidak Lagi Dikenai PPN
PMK 50/2025 terdiri dari 4 bab dan 28 pasal. Perlakuan PPN sehubungan dengan penyerahan aset kripto diatur pada Bab II mulai dari Pasal 2 s.d. 9.
Atas penyerahan aset kripto yang dipersamakan dengan surat berharga, kini tidak dikenai PPN. Hal ini disebabkan adanya perubahan perlakuan terkait aset kripto. Semula komoditi Barang Kena Pajak (BKP) yang dikenai PPN, menjadi aset keuangan digital berupa surat berharga yang dikecualikan dari pengenaan PPN.
Adapun atas penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) berupa jasa penyediaan sarana elektronik yang digunakan untuk memfasilitasi transaksi perdagangan aset kripto oleh Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), serta JKP berupa jasa verifikasi transaksi aset kripto oleh penambang aset kripto tetap dikenai PPN.
Jasa platform terutang PPN tersebut dapat berupa tiga jenis kegiatan pelayanan. Pertama, jual beli aset kripto menggunakan mata uang fiat. Kedua, tukar-menukar aset kripto (swap). Ketiga, dompet elektronik (e-wallet) meliputi deposit, penarikan dana (withdrawal), pemindahan (transfer) aset kripto ke akun pihak lain, dan penyediaan dan/atau pengelolaan media penyimpanan aset kripto.
PPN terutang dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh PMSE yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). PPN dihitung dengan cara mengalikan tarif 12% (dua belas persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa nilai lain sebesar 11/12 (sebelas per dua belas) dari penggantian. Penggantian sebesar komisi atau imbalan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Dalam hal penggantian berupa mata uang fiat selain mata uang rupiah, mata uang fiat tersebut dikonversikan ke dalam mata uang rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak seharusnya dibuat.
Dalam hal penggantian aset kripto tersebut dikonversikan ke dalam mata uang rupiah berdasarkan nilai yang ditetapkan oleh Bursa, nilai dalam sistem yang dimiliki oleh Penyelenggara PMSE, atau nilai penjualan Aset Kripto yang dilakukan sebelum batas waktu penyetoran PPN yang diterapkan secara konsisten.
Lalu, bagaimana dengan penambang aset kripto (miners)? Penambang aset kripto yang telah dikukuhkan sebagai PKP memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dengan besaran tertentu. Besaran tertentu ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen) dikali 11/12 (sebelas per dua belas) dari tarif PPN, atau senilai 2,2% (dua koma dua persen).
Penyesuaian Tarif PPh Pasal 22
Perlakuan PPh sehubungan dengan penyerahan aset kripto diatur pada PMK 50/2025 Bab III mulai dari Pasal 10 s.d. 26. Pengaturan ini mempertimbangkan fakta bahwa terdapat sejumlah platform yang belum terdaftar sebagai pedagang aset keuangan digital.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh penjual aset kripto sehubungan dengan transaksi aset kripto merupakan objek PPh. Penghasilan tersebut dipungut PPh Pasal 22 bersifat final dengan tarif sebesar 0,21% (nol koma dua puluh satu persen) dari nilai transaksi aset kripto.
Adapun penghasilan yang diterima atau diperoleh penjual aset kripto dari transaksi aset kripto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) yang dilakukan melalui Sarana Elektronik yang disediakan oleh PMSE yang belum ada penunjukan pemungut pajak, dikenai Pajak Penghasilan Pasal 22 dengan tarif sebesar 1% (satu persen) dari nilai transaksi aset kripto.
Contohnya, antara lain apabila penjual aset kripto bertransaksi dengan PMSE luar negeri, maka PPh Pasal 22 final dengan tarif 1% (satu persen) tersebut dipungut PMSE luar negeri (melalui mekanisme penunjukan), atau disetor sendiri. Hal ini bertujuan agar pedagang berpindah ke PAKD dalam negeri. Nantinya, platform luar negeri akan ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 dengan mengggunakan penunjukan Keputusan Dirjen Pajak.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh miners selaku penjual aset kripto dari transaksi aset kripto yang dilakukan melalui Sarana Elektronik yang disediakan oleh PMSE, dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan berlaku (Tarif Pasal 17 UU PPh jo. UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan). Ketentuan pengenaan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh miners berlaku sejak tahun pajak 2026.
Prospek Aset Kripto
Prospek aset kripto di masa kini dan mendatang, sejatinya memiliki harapan untuk tumbuh dan berkembang. Setiap negara, termasuk Indonesia berusaha untuk merumuskan peta jalan serta regulasi yang tepat dalam menangkap sebanyak-banyaknya manfaat dan peluang ekosistem untuk berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Faktanya, Siaran Pers KSSK Nomor 03/KSSK/Pers/2025 merilis data terkait AKD. Jumlah konsumen pedagang aset kripto Indonesia berada dalam tren meningkat, yaitu mencapai 15,85 juta konsumen pada Juni 2025. Nilai transaksi aset kripto selama Juni 2025 tercatat sebesar Rp32,31 triliun.
Salah satu co-founder Ethereum Vitaly Dmitriyevich "Vitalik" Buterin berkata, “Jika kripto berhasil, bukan karena ia memberdayakan orang-orang yang lebih baik, melainkan karena ia memberdayakan institusi-institusi yang lebih baik”.
PMK 50/2025 merupakan salah satu dari blok-blok yang terhubung secara berantai dalam upaya pemberdayaan dan keberlangsungan ekosistem perdagangan AKD yang tumbuh searah dengan peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 379 kali dilihat