
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Semarang Candisari mengadakan Sosialisasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) kepada 69 Kawan Pajak yang telah mendaftarkan diri dalam bentuk Kelas Pajak Online melalui Zoom Meeting pukul 09.00 hingga 15.00 WIB di Semarang (Kamis, 11/11).
Sosialisasi UU HPP dilaksanakan secara daring dimana kegiatan ini dibagi menjadi 2 sesi yaitu sebanyak 39 peserta di sesi pagi pukul 09.00 – 11.00 WIB dan 30 peserta di sesi siang pukul 13.00 – 15.00 WIB. Rancangan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) telah disahkan pemerintah menjadi Undang-Undang No.7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada tanggal 29 Oktober 2021. Karena banyaknya pertanyaan dari Kawan Pajak yang ingin mengetahui lebih mendalam UU HPP pada saat Live Streaming Instagram @pajakcandisari tanggal 5 November 2021 lalu, maka diadakan kembali sosialisasi dalam bentuk Kelas Pajak Online melalui Zoom meeting.
Materi UU HPP disampaikan langsung oleh para Penyuluh Pajak KPP Pratama Semarang Candisari yaitu Marcellinus Paskaris Wibowo di sesi pagi, Sasongko Budi Widagdo di sesi siang dan moderator Charizma Azry Topaz Barata. Marcellinus mengungkapkan bahwa tujuan UU HPP ini sebagai salah satu bentuk reformasi perpajakan guna mewujudkan sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif dan akuntabel. UU HPP memuat enam materi kelompok utama yang mengubah beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh), Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Barang Mewah (UU PPN & PPnBM), Undang-undang Cukai, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan Pajak Karbon.
Pada UU HPP dijelaskan bahwa lapisan penghasilan orang pribadi yang dikenai tarif 5% menjadi lebih murah karena rentang/bracket lapisan dinaikkan dari 50 juta menjadi 60 juta pertahun, sedangkan bagi Usaha Kecil Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan omzet dibawah 500 juta tidak dikenai PP 23 Tahun 2018 tarif 0,5% tetapi akan dikenai tarif setelah memiliki peredaran kotor/omzet diatas 500 juta. Untuk isu Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang hangat diperbincangkan, Sasongko menjelaskan bahwa NIK dapat dengan mudah menjadi NPWP apabila orang tersebut memang sudah memenuhi syarat subjektif maupun objektif maka wajib untuk mendaftarkan diri memiliki NPWP, apabila belum memenuhi kedua syarat tersebut maka tidak perlu khawatir, karena tidak adanya kewajiban perpajakan.
“Tetapi apabila ternyata sudah memenuhi kedua syarat tersebut maka Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat mengaktifkan NIK menjadi NPWP secara Jabatan.” tutup Marcellinus. Sedangkan pertanyaan yang masih belum dapat dijawab karena terkait pelaksanaan teknis dan peraturan lebih lanjut masih menunggu peraturan turunannya seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) maupun Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER). Antusiasme dan partisipasi aktif peserta membuat kegiatan berjalan dengan baik dan lancar hingga akhir selesainyai kelas Pajak online.
- 51 kali dilihat