Di tengah pandemi Covid-19 yang belum usai, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan berbagai upaya untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Salah satu upaya tersebut adalah penegakan hukum pidana pajak yang berbasis pemulihan kerugian pada pendapatan negara, tidak hanya sebatas memberi efek jera kepada pelaku maupun efek gentar kepada calon pelaku. Hal tersebut sejalan dengan penerapan asas ultimum remidium (hukum pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum).

DJP menegakkan hukum pidana pajak melalui tiga kegiatan utama yaitu, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, dan forensik digital. Kegiatan tersebut dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) beserta pegawai yang bertugas di Direktorat Penegakan Hukum dan Kantor Wilayah DJP.

Dalam penegakan hukum pidana, DJP bekerja sama dengan aparat penegak hukum antara lain kepolisian, kejaksaan, hakim, serta Pusat Analisis dan Pelaporan Transaksi Keuangan (PPATK) untuk perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Lalu, apa saja output yang dihasilkan? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat dilihat dari capaian kinerja penegakan hukum DJP.

Pada tahun 2021, DJP melakukan pemeriksaan bukti permulaan terhadap 1.237 wajib pajak “nakal”. Dari kegiatan tersebut, 454 wajib pajak akhirnya “mengakui kesalahannya” dengan mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sesuai Pasal 8 ayat (3) UU KUP dengan total pembayaran mencapai Rp1,49 triliun.

Tidak hanya itu, kegiatan kolaborasi penegakan hukum DJP juga berhasil mendorong 5.110 wajib pajak membetulkan SPT-nya dan membayar pajak sejumlah Rp1,61 triliun. Pembayaran pajak yang akhirnya dilakukan oleh para wajib pajak “nakal” tersebut adalah bentuk pemulihan kerugian pada pendapatan negara dalam proses pemeriksaan bukti permulaan.

Bagaimana pada tahap penyidikan? Pemulihan kerugian pada pendapatan negara pada tahap penyidikan dapat terwujud melalui pembayaran oleh wajib pajak dan/atau tersangka yang mengajukan permintaan penghentian penyidikan Pasal 44B UU KUP dan pembayaran pidana denda (pembayaran sukarela atau hasil sita eksekusi atas aset terpidana).

Selama tahun 2021, DJP menyidik 139 wajib pajak dan menyita 46 aset senilai Rp1,065 triliun. Sementara itu, dari 10 kasus yang dihentikan penyidikannya terkait Pasal 44B, DJP mampu memulihkan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp24,15 miliar.

Kegiatan pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan di DJP juga didukung dengan kegiatan forensik digital. Selama tahun 2021, DJP menyelesaikan 700 kegiatan forensik digital.

Bagaimana kebijakan dan strategi DJP dalam penegakan hukum pidana tahun ini?

Pada tahun 2022, DJP masih akan terus menegakkan hukum pidana pajak berbasis pemulihan kerugian pada pendapatan negara. Hal tersebut semakin diperkuat dengan adanya beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan antara lain, perluasan kesempatan pengajuan penghentian penyidikan Pasal 44B sampai dengan tahap persidangan, penegasan kewenangan penyidik terkait penyitaan dan pemblokiran aset, serta ketentuan pidana denda yang tidak dapat langsung disubsider.

Pada tahun ini, DJP juga akan memperkuat peran lembaga peradilan dalam penanganan pidana pajak melalui pelatihan bersama para aparat penegak hukum, mengadakan asistensi penanganan tindak pidana perpajakan, tindak pidana pencucian uang, dan penelusuran aset, serta mengakreditasi laboratorium forensik digital DJP. Selain itu, DJP juga akan mengoptimalkan kolaborasi penegakan hukum pidana dengan penegakan hukum administratif, antara lain fungsi pengawasan dan pemeriksaan pajak.

Bagi DJP yang tugas utamanya mengumpulkan penerimaan negara, tegaknya hukum pidana adalah terwujudnya keadilan, terciptanya efek jera dan gentar, serta terpulihkannya kerugian pada pendapatan negara.