Pajak Karbon Sebagai Solusi Menuju Era Berkelanjutan Bangsa

Oleh: Yuli Kurnaiwan, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Saat ini persoalan lingkungan, khususnya perubahan iklim, diperhatikan dunia karena dampak pemanasan global kian nyata kita rasakan. Dalam rapat nasional prediksi musim kemarau 2024, Kepala Badan Meteorologo Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengungkapkan, “Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, akibat dari pembakaran bahan bakar fosil, deforestasi, dan praktik industri yang tidak berkelanjutan telah mendorong perubahan iklim pada kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya”.
Akibat dari pesatnya perubahan iklim tersebut, salah satu dampak yang dirasakan adalah peningkatan suhu bumi hingga mencapai 1,5 derajat celcius per tahun yang menyebabkan terganggunya curah hujan dan siklus musim tahunan. Kenaikan air laut yang berasal dari glasier yang mencair, mendorong perendaman daerah pantai dan pulau-pulau kecil di samudra, dan polusi udara yang kian memburuk menyebabkan kelangkaan pangan, air, hingga penurunan kualitas kesehatan.
Peningkatan suhu bumi yang kian drastis juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah emisi gas karbon dioksida (CO2), dinitrogen dioksida metana (CH4), nitrogen monoksida (NO), belerang dioksida (SO4), dan klofofluorokarbon (CFC) yang tertahan di atmosfer bumi. Peningkatan jumlah senyawa-senyawa tersebut menghambat panas yang dikeluarkan bumi melalui atmosfer yang dapat menyebabkan masalah kesehatan dan meningkatkan suhu bumi secara keseluruhan hingga menyebabkan kerusakan pada ekosistem dan sumber daya didalamnya.
Studi Global Carbon Project menunjukkan, Indonesia menduduki urutan keenam negara penghasil gas rumah kaca terbanyak di dunia dengan capaian hampir 700 juta ton emisi karbon. Fakta ini menunjukkan bahwa penggunaan barang ber-emisi karbon tinggi di Indonesia masih masif digunakan. Kegiatan masyarakat seperti pemakaian kendaraan bermotor dan penggunaan mesin-mesin pabrik dengan emisi karbon yang tinggi belum dapat dilepaskan dari aktifitas masyarakat sehari-hari, ditambah belum banyaknya penggunaan bahan bakar dari energi terbarukan untuk mengganti penggunaan bahan bakar ber-emisi karbon tinggi.
Pajak Karbon sebagai Solusi Pengurangan Laju Emisi
Perjanjian Paris 2016 yang dikenal sebagai Paris Climate Agreement adalah wujud dari komitmen dunia internasional untuk mengurangi laju emisi dan melakukan mitigas pengendalian iklim secara global. Perjanjian yang ditandatangani oleh lebih dari 165 negara dari seluruh belahan dunia ini mendorong negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara global. Salah satu instrumen yang dibahas adalah pengenalan pajak karbon, yang bertujuan mendorong industri dan individu untuk mengurangi jejak karbon mereka. Melalui kerjasama internasional ini, setiap negara berkomitmen mencari solusi ekonomis yang efektif dalam mengatasi tantangan perubahan iklim, sambil memperhatikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat, baik pada negara, masyarakat maupun lingkungan.
Indonesia sebagai anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) memiliki target penurunan tingkat emisi sebesar 29% hingga 2030. Untuk mencapai target tersebut, pemerintah telah menerbitkan kebijakan pemberian insentif pajak bagi pelaku industri dan pengguna barang yang memproduksi karbon dalam jumlah besar. Terbitlah Undang-Undang nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pasal 13 ayat (1) klaster pajak karbon menyatakan pajak ini dikenakan dengan tujuan untuk mengendalikan emisi gas rumah kaca untuk mendukung pencapaian nationally determined contribution (NDC) Indonesia.
Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan terhadap barang yang menghasilkan emisi karbon, namun tidak sebatas hanya pada pembakaran bahan bakar fosil, namun juga aktivitas yang menghasilkan emisi karbon seperti yang berasal dari sektor energi, pertanian, kehutanan, industri serta limbah. Seperti dalam kegiatan produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Pajak karbon merupakan pajak yang sejenis dengan pajak lingkungan. Pajak ini diterapkan untuk mengatasi kerusakan lingkungan, yang besaran pajaknya diperhitungkan dengan nilai kerugian yang diterima oleh oleh pihak diluar transaksi. Contoh: apabila suatu perusahaan berdiri di tengah pemukiman, akan terdapat limbah dan polusi udara yang ditimbulkan atas kegiatan produksi perusahaan tersebut yang akan mengganggu warga sekitar. Oleh karena itu, perlu diterapakan pajak lingkungan atas dampak kerusakan yang dihasilkan. Contoh penerapan pajak lingkungan di berbagai negara adalah pajak rokok, pajak gula, dan pajak karbon.
Implementasi
Dalam tahap awal, pajak karbon akan diterapkan pada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara dengan penetapan harga Rp30 per kilogram CO2 yang dihasilkan. Estimasi potensi penerimaan negara yang didapatkan dari pajak karbon mencapai nilai Rp23,651 triliun di tahun 2025. Meskipun jumlahnya tak sebanyak pendapatan negara lain, dana penerimaan yang diperoleh dapat dimanfaatkan. Misalnya, dialirkan kepada berbagai sektor pendukung terciptanya lingkungan rendah emisi, sumber investasi bagi proyek pembangun ekonomi hijau, dan kebijakan yang mendorong pengembangan ekonomi yang berkelanjutan.
Secara tidak langsung pengenaan pajak karbon atas penggunaan bahan bakar berbasis karbon atau yang menghasilkan emisi karbon, akan mendorong perubahan perilaku anak bangsa dalam membeli barang berkarbon dengan emisi tinggi atau menggunakan aktivitas yang menghasilkan karbon yang ber-emisi tinggi. Masyarakat secara tidak langsung akan di-“paksa” untuk mendukung upaya penurunan tingkat emisi karbon yang ada dengan membeli barang-barang ber-emisi karbon rendah atau melakukan aktivitas perekonomian yang menggunakan alat-alat produksi dengan emisi karbon yang rendah.
Tantangan ke depan adalah kondisi ekonomi negara yang belum stabil, sehingga upaya pengenaan pajak karbon akan menyebabkan kenaikan pada harga bahan bakar fosil yang berperan penting dalam kegiatan produksi barang dan jasa. Hal ini akan memicu perlambatan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesejahteraan sosial, hingga melemahkan daya saing industri nasional.
Pemerintah tentunya akan menerapkan langkah antisipatif untuk menanggulangi dampak yang akan timbul dari diterapkannya pajak karbon. Penyediaan transportasi umum dan kendaraan listrik yang terjangkau, untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi yang menggunakan bahan bakar fosil, dapat digalakkan. Selain itu, pemberian edukasi dan penyampaian informasi yang lebih intensif ke masyarakat mutlak diperlukan. Pemerintah dapat bekerja sama dengan semua badan dan lembaga untuk memastikan bahwa manfaat dari pajak karbon dapat dicapai dengan optimal. Dampak negatif yang timbul terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat dapat ditekan.
Secara umum, penulis dapat menyimpulkan bahwa penerapan pajak karbon merupakan salah satu terobosan baru dan langkah maju dalam upaya mengatasi tantangan perubahan iklim global. Pemerintah dan masyarakat mulai dari saat ini perlu membangun fondasi yang kokoh. Ekonomi hijau dan berkelanjutan yang akan memberikan manfaat jangka panjang bagi generasi masa depan dan kelestarian lingkungan.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 8 kali dilihat