Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Sejarah tercipta di Stadion Abdullah Bin Khalifa, Qatar, Kamis malam itu waktu setempat, atau Jumat dini hari waktu Indonesia (26/4). Indonesia menjadi sorotan para pecinta sepak bola dunia. Tampil sebagai debutan dalam event dua tahunan turnamen sepak bola Asia kelompok umur di bawah usia 23 tahun (Piala Asia U23), Tim Nasional Indonesia U23 atau yang sering dikenal dengan Garuda Muda memukau dunia dengan menembus babak semifinal. Hasil ini membuka peluang Indonesia untuk mengulang prestasi 68 tahun yang lalu ketika sepak bola berhasil lolos ke olimpiade.

Walaupun akhirnya harus terhenti di babak semifinal oleh Uzbekistan, peluang berlaga di Olimpiade Paris masih ada. Syaratnya, Garuda Muda menang di perebutan tempat ketiga melawan Irak. Kalaupun kalah di small final, Garuda Muda masih bisa tampil di ajang multi-cabang olahraga termegah sedunia itu jika menang dalam partai play-off kontra wakil Afrika, Guinea.

Indonesia menjelma menjadi tim yang disegani di Asia dari yang awalnya mungkin hanya dipandang sebelah mata dan dianggap sebagai penggembira turnamen. Berada di pot 4 saat pengundian grup, menjadikan Indonesia harus bergabung satu grup dengan negara-negara berperingkat jauh lebih tinggi. Indonesia yang berperingkat 134 dunia harus satu grup dengan Yordania yang berperingkat 71 dunia, tuan rumah Qatar (37), dan Australia (24). Yordania dan Australia berhasil dikalahkan. Bahkan raksasa Asia Korea Selatan yang berperingkat 23 dunia juga dipaksa bertekuk lutut di babak perempat final. Padahal, Korea Selatan, juara turnamen ini edisi 2020, merupakan tim terbaik ketiga se-Asia setelah Jepang (18) dan Iran (20). Menariknya, justru Korea Selatan sempat menaklukkan Jepang di fase penyisihan Grup A.

Prestasi Garuda Muda ini tentu saja menjadi kebanggaan tersendiri bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bukan hanya penikmat bola tanah air, orang yang dulunya tidak terlalu tertarik dengan si kulit bundar juga ikut larut dalam euforia kebangkitan prestasi sepak bola tanah air. Berbagai tempat di banyak kota di Indonesia menyelenggarakan nonton bareng pertandingan Garuda Muda yang dihadiri ratusan bahkan ribuan masyarakat. Bahkan hampir 10.000 pendukung Indonesia hadir langsung di Qatar untuk menyaksikan pertandingan tim nasional.

Lalu, apa yang membuat semua ini menjadi mungkin terjadi? Hal ini sering ditanyakan oleh para reporter berita televisi kepada para pengamat sepak bola tanah air. Jawabannya pun beragam. Pengelolaan sepakbola oleh federasi yang semakin baik, kompetisi berjenjang di setiap kelompok umur, dukungan pemerintah, dampak naturalisasi pemain, dan kemampuan pelatih dalam meracik strategi dan membangun tim untuk jangka panjang adalah beberapa jawaban yang mengemuka. Namun, jika diselisik lebih mendalam, hal-hal tersebut bermuara pada satu kata, “cinta”.

Karena Cinta

Cinta kepada tanah air yang membuat para punggawa tim nasional rela berhari raya Idulfitri jauh dari keluarga karena harus persiapan turnamen. Cinta kepada Ibu Pertiwi yang membuat seorang Justin Hubner rela menepis rasa lelahnya  dengan  segera  bertolak dari Jepang ke Qatar setelah 90 menit membela klubnya, Carezo Osaka, di Liga Jepang Divisi Satu (J1), dan bertanding membela Indonesia hanya satu hari setelah tiba di Qatar. Cinta kepada Indonesia yang membuat seorang Nathan Tjoe-A-On rela menempuh jarak lebih dari 12.000 km saat dirinya yang awalnya harus kembali ke Belanda karena hanya mendapat izin satu minggu untuk membela tim nasional, namun kemudian kembali ke Qatar karena mendapat tambahan izin dari klub untuk kembali membela tim nasional. Rasa cinta para generasi muda punggawa tim nasional ini yang kemudian menjadi pemantik semangat sehingga memberikan yang terbaik untuk tanah tumpah darah mereka.

Implementasi cinta kepada tanah air ini menjadi gambaran bagaimana generasi muda dapat memiliki peran untuk menunjukkan prestasi kebangkitan Indonesia kepada dunia. Cinta tanah air ini bukan hanya dapat diwujudkan lewat olahraga, namun juga di banyak sektor. Sektor pendidikan, kesehatan, pariwisata, bahkan perpajakan bisa menjadi perwujudannya.

Di sektor pajak, perwujudan cinta kepada tanah air mungkin sudah banyak disampaikan dan diceritakan. Melaksanakan kewajiban perpajakan dengan patuh sesuai ketentuan yang berlaku merupakan cara seorang warga negara untuk menunjukkan rasa cinta kepada tanah air. Perwujudan cinta ini akan lebih terasa ketika ada keterlibatan dari generasi muda Indonesia.

Itulah mengapa sudah sejak lama otoritas perpajakan Indonesia meluncurkan gerakan sadar pajak sejak dini. Sadar pajak bukan hanya untuk orang yang sudah memiliki penghasilan, namun juga harus tertanam dalam jiwa para generasi muda, khususnya para pelajar yang belum memiliki kemampuan untuk membayar pajak. Untuk merealisasikan ini diperlukan adanya para pengajar yang memahami bagaimana cara menyampaikan konsep sadar pajak ini kepada para anak muda Indonesia. Sebagai bahan ajar, materi-materi terkait dasar-dasar perpajakan sudah masuk dalam kurikulum sekolah mulai dari tingkat dasar.

Para guru atau pengajar akan bertindak selayaknya pelatih dalam sepakbola. Mereka membimbing para anak didik untuk memupuk rasa cinta kepada tanah air. Pengajar bukan hanya berasal dari sekolah, otoritas perpajakan juga memiliki peran. Gelaran “Tax Goes to School” atau “Tax Goes to Campus” yang rutin diselenggarakan menjadi wadah untuk menanamkan rasa cinta tanah air melalui kesadaran pajak sejak dini.

Layaknya peran federasi di sepak bola, maka peran otoritas perpajakan dan instansi pemerintah terkait juga diperlukan. Otoritas perpajakan dan instansi pemerintah yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme juga menjadi perwujudan cinta tanah air. Pengelolaan dan penggunaan dana pajak secara tepat sasaran menjadi penguat kepercayaan dari masyarakat. Dukungan masyarakat akan tumpah ruah kepada pemerintah layaknya dukungan suporter sepak bola ketika mereka memiliki trust kepada pemerintah dan yakin bahwa pemerintah akan melakukan yang terbaik untuk kesejahteraan mereka.

Akhirnya, para anak muda harapan bangsa menjadi tumpuan Indonesia dalam menghadapi bonus demografi yang diprediksi mencapai puncak pada periode pada tahun 2030-2040. Ini yang menjadi modal berharga dalam menyongsong Indonesia Emas 2045. Sebelum ini terjadi, mari sebarkan cinta kepada tanah air melalui kesadaran pajak kepada para generasi muda Indonesia. Layaknya kebangkitan sepak bola nasional melalui Garuda Muda, kesadaran pajak menjadi tonggak kebangkitan dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera untuk Indonesia maju.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.