Benarkah penjual online akan dikenakan pajak baru? Melalui program bincang santai Kadai Pajak (Kawan Jadi Pandai Pajak), Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Sumatera Barat dan Jambi menegaskan bahwa aturan baru hanya mengubah mekanisme pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) penjual daring, bukan menambah beban pajak baru.

Acara yang digelar secara Instagram Live @pajaksumbarjambi (Rabu, 23/7) ini menghadirkan dua penyuluh pajak, Ismi Megasari dan Dendi Amrin. Dalam waktu kurang dari 24 jam, siaran ini telah ditonton hampir 800 kali, menandakan tingginya antusiasme pelaku usaha daring terhadap isu perpajakan e-commerce.

Dalam diskusi tersebut, Ismi Megasari menjelaskan bahwa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 mengatur mekanisme pemotongan PPh pasal 22 atas transaksi di platform e-commerce. Aturan ini sering menimbulkan kekhawatiran, terutama bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Ismi menegaskan ini bukanlah pajak baru. Sebelumnya, PPh dihitung dan disetor sendiri oleh penjual. Dengan aturan baru, marketplace yang ditunjuk akan langsung memotong PPh pada saat transaksi.

“Kekhawatiran tersebut tidak perlu terjadi. Ini bukan pajak baru. Pajaknya tetap sama, hanya mekanismenya yang berubah. Pemotongan oleh marketplace justru mempermudah penjual,” jelas Ismi.

Ia menambahkan bahwa PPh pasal 22 yang telah dipotong ini dapat dikreditkan atau menjadi pengurang saat penghitungan total pajak di akhir tahun dalam pelaporan SPT Tahunan.

"Sehingga secara keseluruhan, tidak ada tambahan beban pajak yang harus dibayarkan. Karena itu, penjual online seharusnya tidak perlu menaikkan harga barang," tegasnya.

Pajak yang dipotong marketplace bersifat kredit pajak, sehingga bisa diperhitungkan atau mengurangi total pajak terutang saat pelaporan SPT Tahunan.

“Artinya, tidak ada tambahan beban pajak. Penjual online tidak perlu menaikkan harga barang karena potongan ini nantinya akan mengurangi kewajiban pajak tahunan mereka,” tegas Ismi.

Wajib pajak diajak memahami bahwa tidak semua platform e-commerce akan ditunjuk sebagai pemungut pajak. Hanya marketplace yang memiliki escrow account (rekening penampung bersama) yang kemungkinan akan ditunjuk, seperti Tokopedia, Shopee, Lazada. Sebaliknya, platform yang hanya menjadi perantara tanpa memproses pembayaran, seperti Facebook Marketplace, Instagram, atau OLX, tidak akan menjadi pemungut pajak.

Tidak semua penjual online akan dipotong PPh pasal 22. Ada beberapa pengecualian seperti wajib pajak yang beromzet di bawah Rp500 juta per tahun, wajib pajak yang memiliki surat keterangan bebas (SKB), dan terhadap penjualan barang/jasa tertentu.

Dendi Amrin menutup diskusi dengan menekankan pentingnya memahami aturan ini secara utuh. Menurutnya, potensi e-commerce justru dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional jika dikelola secara transparan.

“Penjual online seharusnya tidak hanya bangga dengan omzet yang mereka capai, tetapi juga bangga bahwa mereka turut berkontribusi melalui PPh pasal 22 untuk membangun negeri,” ujar Dendi.

Dengan pendekatan kolaboratif, pemerintah berharap aturan ini akan mempermudah kepatuhan pajak tanpa membebani pelaku usaha.

Pewarta:Luthfi Hariz Setiono
Kontributor Foto:Aldi Rivaldi Sevtian
Editor:Trio Nofriadi

*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.