
Pagi itu saya dan tiga rekan petugas Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) lain sudah bergegas berangkat pukul 06.50 WIB menuju pelabuhan untuk pengumpulan data lapangan. Sebelumnya kami telah bersepakat dengan Pak Yamin, kapal yang kami sewa akan mulai melakukan perjalanan pukul 07.00 WIB. Pak Yamin adalah seorang guru Sekolah Dasar Negeri di Pulau Pramuka, karena kegesitannya, dia juga memiliki usaha sebagai pedagang pengumpul ikan dari nelayan sekaligus juga memberikan jasa perjalanan untuk wisatawan yang ingin melakukan island hopping.
Sebenarnya kegiatan pengumpulan data lapangan ini sudah lama kami rencanakan. Keinginan untuk memetakan kegiatan ekonomi di Kepulauan Seribu yang didominasi oleh kegiatan wisata yang merupakan bagian penting dari tugas dan fungsi KP2KP Kepulauan Seribu. KP2KP perlu memberikan data dan informasi atas kegiatan ekonomi yang berpotensi meningkatkan basis perpajakan. Pengumpulan data lapangan ini akan menjadi dukungan bagi Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak dalam melakukan penggalian potensi perpajakan.
Setibanya di dermaga, ternyata kapal yang akan kami gunakan sejenis kapal nelayan yang digunakan untuk menangkap ikan atau melayani para pelancong yang ingin melakukan lompat pulau atau island hopping. Tentu kapal ini jauh berbeda dengan kapal cepat yang biasa kami gunakan saat perjalanan dari Marina Ancol menuju pulau Pramuka. Sehari sebelumnya, memang Pak Yamin sudah menawarkan kepada kami untuk menggunakan kapal yang lebih cepat, dengan syarat biaya sewa bertambah sekitar lima puluh persen. Dengan pertimbangan efisiensi, kami tetap memilih menggunakan kapal nelayan.
Nelayan yang memandu kami bernama Pak Husin, tubuhnya kurus, legam dengan beberapa bekas luka di tubuhnya. Kami tidak sempat banyak ngobrol karena suara mesin kapal nelayan menenggelamkan suara kami, meski berteriak sekalipun. Dalam melakukan pekerjaan, ada saja halangan yang menambahkan tingkat kesabaran dan tawakal. Kendala pertama yang kami hadapi pagi itu, kapal tidak bisa dinyalakan karena katup aki-nya tiba-tiba soak. Padahal kapal ini baru saja digunakan hari sebelumnya untuk mengantar para turis. Posisi kami saat itu benar-benar masih di dermaga perikanan Pulau Pramuka dan kami sudah diuji dengan 30 menit menunggu rekan Pak Yamin menghantarkan katup aki untuk dapat digunakan.
Tidak lama setelah itu, kapal pun menyusuri lautan menuju utara, arah gugusan pulau yang banyak menjadi resor yang dipandang mewah di Kepulauan Seribu. Kapal yang kami sewa terasa sangat lambat. Mungkin jika perasaan bisa diandalkan, rasa-rasanya kecepatan kapal nelayan ini hanya sekitar satu per sepuluh dari kecepatan kapal cepat.
Setelah tiga puluh menit berjalan, tiba-tiba Pak Husin sang nelayan yang membawa kami dalam perjalanan, menghentikan kapalnya. “Ada sesuatu yang patah,” kata Husin. Kami tidak bisa berbuat apa-apa, karena di antara kami berempat sepertinya tidak ada yang paham di bidang teknik perkapalan nelayan. Di halangan kedua ini, kami harus menunggu 20 menit sambil berusaha menikmati ayunan tinggi kapal yang dihantam ombak besar dan dorongan angin.
Ternyata hambatan tidak hanya itu saja. Setelah kapal kembali berjalan 40 menit, kali ini tali rantai kemudinya putus. Putusnya tali rantai kemudi menyebabkan kapal tidak bisa diarahkan. Pak Husin kembali mematikan mesin kapal dan mulai menyambung tali rantai kemudi. Perhatian saya terkadang tersapu atas apa yang beliau lakukan, tapi saya tetap tidak paham dan tidak bisa membantu. Mungkin diam saja sudah cukup membantu Pak Husin.
Kali ini kapal berhenti mengambil waktu sekitar empat belas menit untuk kemudian melaju, tetapi ada asap kapal yang muncul dari ruang mesin yang berada di tengah kapal. Saya terbatuk-batuk karena asap meringsek ke paru-paru. Pak Husin mengintip ke ruang mesin sambil tetap melajukan kapal. “Ternyata knalpotnya patah,” ujar beliau singkat.
Tiga perhentian ditengah laut untuk memperbaiki kapal memunculkan rasa bahwa saya memang debu sangat kecil ditengah lautan luas. Memang rasa kuatir bisa membantu kita lebih dekat kepada kodrat alam kita. Ini hanya dibandingkan dengan lautan, belum dengan luasnya bumi, belum pula dibandingkan dengan jagad tata-surya. Manusia bisa berencana, tapi ada saja halangan yang harus dilalui.
Ombak tinggi karena angin yang kencang berhasil membuat isi perut ingin melompat. Walaupun menurut Pak Husin, cuaca hari itu masuk dalam kategori teduh, karena ombak hanya dipicu oleh angin. Untuk warga pulau, penggunaan istilah “teduh” digunakan saat laut ramah sehingga perjalanan kapal dipandang aman dan dapat dilakukan. Sepertinya istilah teduh hari itu tidak berlaku bagi kami yang sedang tidak baik-baik saja.
“Itu, Pulau Pelangi sudah didepan,” ujar Husin. Kami melihat dua pulau berdampingan sekitar satu kilometer di depan jika menggunakan prediksi pandangan saat di daratan. Tapi ternyata kami baru bisa berlabuh di dermaga Pelangi Resor tiga puluh menit kemudian. Berangkat dari KP2KP Kepulauan Seribu di Pulau Pramuka pukul 07.00 WIB, tiba dengan selamat di Pelangi Resor pukul 10.15 WIB. Ya, benar, perjalanan kami memerlukan waktu lebih dari tiga jam. Jika menggunakan kapal cepat, waktu tempuh bisa dicapai hanya dengan dua puluh lima menit, sayangnya anggaran kantor kami tidak memungkinkan.
Di Pulau Pelangi, kami disambut oleh dua petugas resor. Kami telah menghubungi pihak resor sebelumnya dan mengabarkan visit yang akan kami lakukan. Dengan wajah lelah dan sedikit mabuk laut, kami berbincang dan menyampaikan maksud kedatangan kami. Luas Pulau Pelangi 11,82 hektar, lebih luas dari Pulau Pramuka.
Pada hari itu, tidak ada pengunjung yang sedang tinggal di Pelangi Resor. Sebenarnya kemarin ada dua orang pengunjung yang ingin menginap di sana, namun mereka berubah pikiran dan pindah ke Pulau Kelapa karena merasa Pulau Pelangi sangat sepi dan tidak ada pelancong lain. Total kapasitas villa yang ditawarkan Pelangi Resor ada tiga puluh tujuh unit, namun sekitar 40% tidak dapat digunakan karena masih proses perawatan.
Setelah meninjau lokasi Pelangi Resor, kami kembali ke kapal untuk melakukan perjalanan ke resor berikutnya. Resor yang tidak jauh dari situ adalah Pulau Sepa Resor. Pak Husin sudah selesai membereskan masalah-masalah yang ada pada kapal, meskipun dengan peralatan seadanya. Meskipun masih ada asap yang bocor dari knalpot, kami melanjutkan perjalanan yang rencananya dilakukan ke lima resor.
Di Pulau Sepa kami melihat adanya aktivitas pembangunan yang sangat sibuk. Mandor di lapangan saat itu menyampaikan bahwa ada sekitar 50 orang tukang yang sedang bekerja di Sepa Resor. Pembangunan dan renovasi dilakukan sejak tahun 2020. “Kegiatan pembangunan dilakukan sendiri oleh pemilik, tanpa menggunakan kontraktor,” tutur mandor tersebut. Pemilik berharap akhir tahun 2024, Sepa Resor dapat mulai dilakukan peluncuran awal operasi. Resor ini direncanakan memiliki kapasitas 49 unit kamar.
Setelah dari Pulau Sepa, kami berencana ke Pulau Macan. Tapi ternyata Pak Husin membawa kami ke Pulau Macan yang didalamnya adalah Matahari Resor, yang belum masuk dalam rencana kunjungan kami. Tentu saja kami tetap meminta kontak narahubung Resor Matahari untuk kemudian dapat kami mintakan data dan informasi yang relevan.
Waktu menunjukkan tepat tengah hari ketika kami tiba di Macan Ecolodge. Pulau Macan ini sering disebut-sebut sebagai Maldive di Indonesia karena konsep yang digunakan sangat mirip dengan iklan-iklan resor Maldive. Seharusnya, ada satu pulau yang kami rencanakan untuk kunjungi setelah ini, yaitu Pulau Pantara. Letak Pulau Pantara terhitung masih lebih jauh ke utara, dan akan mengambil waktu sekitar empat puluh menit. Dengan mempertimbangkan perjalanan kapal yang lambat, dan kondisi fisik, kami memutuskan untuk ke Desa Laguna yang letaknya mendekat ke Pulau Pramuka.
Desa Laguna menganut konsep yang mirip dengan Macan Ecolodge. Desa Laguna juga menggunakan panel surya untuk memenuhi 98% kebutuhan listriknya. Adanya hutan mangrove di bibir pantai membuat banyak hewan seperti biawak dan berbagai jenis burung serta ikan yang mampir ke sana. Desa Laguna meminta agar para pengunjung tidak menyakiti hewan-hewan yang singgah di Desa Laguna. Untuk menambah rasa peduli lingkungan, Desa Laguna juga meminta setiap pengunjung untuk melakukan penanaman mangrove sebagai bentuk dukungan terhadap kelestarian alam.
Kapal Pak Husin sekarang diarahkan ke Pulau Pramuka, tempat kami bertugas. Perjalanan ini menumbuhkan rasa lega karena kami bisa lebih mengenal wilayah administrasi kantor kami dan di sisi lain kami juga senang karena tempat kami bertugas memiliki peran penting dalam usaha melestarikan alam dan pelambatan pemanasan global. Bekerja di Direktorat Jenderal Pajak ternyata sangat erat kaitannya dengan aspek kehidupan lain, dalam hal ini sustainabilitas alam. Tugas dituntaskan, alam terjagakan.
Pewarta: Freddy Halasan |
Kontributor Foto: |
Editor:Gusmarni Djahidin |
*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 22 kali dilihat