
Direktorat Jenderal Pajak menyelenggarakan bedah buku Pengantar Ilmu Hukum Pajak & Perpajakan Indonesia karangan Dr. A.Anshari Ritonga, SE. SH. MH di Aula CBB Kantor Pusat DJP (Selasa, 10/7). Sebagaimana diketahui, Anshari Ritonga pernah menjabat sebagai Dirjen Pajak pada periode 1998 hingga 2000.
Kasubdit Penyuluhan Perpajakan Aan Almaidah Anwar memberikan sambutan awal dalam acara tersebut. "Bedah buku ini dilaksanakan dalam memperingati Hari Pajak. Untuk diketahui bahwa Hari Pajak dilaksanakan pada 14 Juli 1945 dan pertama kali disampaikan dalam rapat BPUPKI bahwa pajak sangat penting untuk umat sehingga dimasukkan dalam Undang-Undang," ujar Aan.
Dalam acara ini Sriadi Setyanto dari Seksi Materi Penyuluhan membacakan profil Anshari Ritonga. Sriadi mengungkapkan bahwa Anshari tidak hanya memahami teori, namun juga sangat memahami masalah di lapangan. "Banyak buku terkait Ilmu Hukum Perpajakan, namun hanya tidak ada penulis yang seperti Pak Anshari. Beliau pernah menjabat menjadi Dirjen Pajak sehingga tahu bagaimana mengumpulkan penerimaan, pernah menjadi Dirjen Anggaran sehingga tahu bagaimana alokasi pengeluaran atas penerimaan pajak, pernah menjadi Ketua Pengadilan Pajak sehingga tahu bagaimana sudut pandang Wajib Pajak, pernah menjadi Wakil Komite Pengawas Perpajakan dan Staf Ahli Menkeu sehingga tahu bagaimana public policy seharusnya," ungkap Sriadi.
Anshari Ritonga menyajikan materi bedah buku dengan judul Pajak sebagai Ilmu Hukum bersifat Khusus dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Dalam pemaparannya, memang ia sangat menekankan bahwa hukum pajak itu sangat berbeda dibanding hukum lain sehingga memiliki kekhususan yang melekat.
Pria kelahiran Sipirok, 30 September 1943 tersebut menyatakan bahwa ia sempat terlibat dalam perumusan UU perpajakan tahun 1983. "Keadilan pajak bukan pada individu, tapi pada Undang-Undang positif yang berlaku. Maka dalam melaksanakan tugas, hal yang paling adil adalah pelaksanaan yang sesuai dengan Undang-Undang," tekan Anshari.
Sejak tahun 1986 muncul hukum Tata Usaha Negara karena hukum administrasi pemerintahan tidak sepenuhnya tunduk pada PTUN. Oleh karena itu, pajak masuk ke dalam lingkungan hukum tata usaha negara, tetapi tidak masuk hukum tata usaha negara karena objek hukum pajak bukan pejabat dan beschikking. Objek pajak adalah masyarakat sehingga pajak menjadi hukum tata usaha negara yang khusus.
Lebih lanjut Anshari menjelaskan bahwa kekhususan hukum pajak ada 5 sehingga hukum pajak harus berdiri sendiri. Pertama adalah seluruh pengadilan kecuali pajak tidak tunduk pada Mahkamah Agung. Kedua, objek di PTUN adalah pejabat, subjeknya hanya benar atau salah, hapus atau tidak. Sementara itu, objek pajak adalah masyarakat. Ketiga, pengertian orang pribadi dalam pajak tidak sama dengan PTUN. Dalam hukum pajak, orang yang sudah meninggal barangnya menjadi orang yang disebut subjek pengganti. Sementara itu, dalam PTUN subjek pajak harus berupa orang. Keempat, dalam pajak hanya berlaku praesumptio ius tea causa. Asas ini mengandung makna bahwa setiap tindakan pemerintah/penguasa selalu harus dianggap sah (rechtmatig) sampai ada pembatalannya. Dengan asas ini, maka gugatan tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat. Dengan demikian asas presumption in innocent (praduga tak bersalah menjadi tidak berlaku). Terakhir, pajak tidak berlaku nebis in idem. Artinya dalam kasus yang sama seseorang dapat dikenai sanksi dua kali dalam hukum pajak.
Sebagai penutup Anshari juga membagikan buku kedua berjudul Tinjauan Hukum Pajak sebagai Ilmu Hukum Bersifat Khusus. Jumlah halaman dalam buku kedua ini memang tidak sebanyak buku yang pertama, namun sarat ilmu karena merupakan penjelasan lebih lanjut dari buku yang telah dibedah sebelumnya. (Rzmy)
- 594 kali dilihat