Pukul tiga dini hari, ketika sebagian besar kota masih terlelap, rumahku di Kota Serang sudah menyala. Aku memulai hari dalam sunyi. Aku membangunkan anak gadisku yang berada ribuan kilometer jauhnya, di negeri matahari terbit. Dua jam selisih waktu menjadi jembatan cinta kami. Indonesia bagian barat masih gelap, Jepang sudah bergerak.
Sejak Agustus 2024, ritme hidupku berubah. Rumah yang dulu ramai kini hanya dihuni dua orang: aku dan mamaku. Kedua anakku merantau, masing-masing mengejar masa depan. Aku menjalani peran sebagai anak, sebagai ibu, dan sebagai pencari nafkah—sendirian, namun ku bersyukur masih ada mama di sampingku.
Pagi-pagiku diisi dengan tahajud, doa-doa pendek yang kupanjatkan perlahan, lalu dapur yang mulai hangat. Aku memasak untuk mamaku, menyiapkan makanannya seharian. Jika hujan semalam meninggalkan jejak di bodi mobil, aku mencucinya sendiri. Bukan karena ingin terlihat kuat, melainkan karena kebersihan memberi rasa siap—seolah perjalanan panjang akan lebih ramah jika dimulai dari sesuatu yang bersih.
Sudah lama aku hidup tanpa pembantu dan sopir. Semua kulakukan sendiri. “Itung-itung olahraga,” kataku sambil tersenyum. Kalimat sederhana yang sesungguhnya adalah strategiku bertahan. Sebab lelah fisik bisa diistirahatkan, tetapi lelah batin harus dikelola. Dan tak ada yang lebih bertanggung jawab atas itu selain diriku sendiri.
Pukul lima pagi, mesin mobil menyala. Aku meninggalkan Kota Serang—kota para jawara—menuju Jakarta, menempuh jarak lebih dari 80 kilometer. Perjalanan ini kulakukan sebagai bagian dari tanggung jawabku sebagai pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebuah amanah yang menuntut kedisiplinan, keteguhan, dan konsistensi, bahkan sejak langkah pertama hari dimulai.
Jakarta adalah kota yang pernah kutinggalkan 23 tahun lalu karena kurasa terlalu keras, terlalu cepat, dan terlalu melelahkan.
Dua puluh tiga tahun kemudian, takdir membawaku kembali. Kali ini sebagai aku yang berbeda: seorang ibu dengan dua anak remaja, seorang single parent yang paham betul arti bertahan. Jakarta tak lagi sekadar kota yang kejam, melainkan medan juang—tempat aku mengabdi, sekaligus memperjuangkan masa depan anak-anakku.
Perjalanan itu hampir selalu melalui jalan tol. Subuh dan malam menjadi saksi setia. Jalan yang menghubungkan Pulau Sumatra dan Pulau Jawa itu tak pernah benar-benar sepi. Truk besar dan bus antarkota antarprovinsi melintas silih berganti. Tak jarang bus memaksa berada di lajur kanan, meminta jalan, meski kecepatan seratus kilometer per jam pun sudah terasa berat bagi mesinnya.
Di sanalah kesabaranku diuji. Biasanya aku melaju di kecepatan 130 km/jam, berharap bisa tiba di kantor tepat waktu. Namun sering kali harapan harus mengalah pada kenyataan. Klakson dan lampu sein tak selalu direken. Mobil kecilku harus bertahan di belakang, menunggu, atau mencari celah dengan perhitungan matang.
Jalan tol mengajarkanku berpikir cepat dan strategis. Truk bermuatan berlebih yang memaksakan diri di jalur cepat kerap menjadi sumber petaka. Saat keseimbangan gagal dijaga, satu kecelakaan kecil bisa menjalar menjadi kemacetan panjang—kilometer demi kilometer.
Dalam kondisi seperti itu, marah terasa sia-sia. Kepada siapa amarah hendak kutuju? Aku memilih diam, beristigfar, berzikir, dan mendoakan. Sebab aku tahu, dampak kemacetan bukan hanya milikku. Ada ratusan orang lain yang terlambat ke kantor, ke sekolah, atau kehilangan sebagian penghasilan hari itu. Di balik kemudi yang berhenti, ada keluarga yang menunggu di rumah.
Empat hingga lima jam sehari kuhabiskan di dalam mobil. “Aku tua di jalan,” candaku. Untuk melawan kantuk, aku menyiapkan daftar putar: lantunan ayat, lagu penyemangat, lagu melankolis, bahkan daftar lagu khusus yang mengingatkanku pada anak-anak.
Kantuk di jalan tol bukan hal sepele. Micro sleep—hilang kesadaran sepersekian detik—menjadi salah satu penyebab kecelakaan terbesar. Aku paham betul risikonya. Pernah mobilku sedikit oleng, dan saat itulah sistem keselamatan berbunyi nyaring. Peringatan ketika terlalu dekat garis jalan. Peringatan ketika jarak dengan kendaraan depan terlalu rapat. Bahkan rem otomatisnya pun bekerja tiba-tiba.
Aku tersenyum getir. Hidup pun sering begitu. Kita melenceng tanpa sadar, terlalu dekat pada bahaya, terlalu jauh dari tujuan. Tak ada hidup yang benar-benar lurus. Setiap orang membawa bebannya sendiri—beban yang tak adil jika dibandingkan.
Namun agama, mamaku, anak-anakku, dan keluarga besar adalah sistem peringatanku. Mereka mengingatkanku untuk kembali ke lajur yang benar. Untuk pulang.
Dan barangkali, di sanalah makna pengabdian itu menemukan wujudnya. Sebagai pegawai DJP, kita bukan hanya dituntut bekerja dengan integritas dan profesionalisme, tetapi juga menjaga keseimbangan—antara target dan keselamatan, antara tanggung jawab negara dan keluarga di rumah, antara laju cepat dan jeda untuk tetap waras.
Setiap dari kita memiliki “jalan tol” masing-masing. Panjang, melelahkan, kadang macet, kadang menguji kesabaran. Namun selama kita tahu ke mana hendak pulang dan untuk siapa kita berjuang, lelah itu akan selalu menemukan artinya.
Karena sejauh apa pun perjalanan kutempuh, rumah tetaplah tujuan akhir. Tempat paling aman untuk berhenti. Tempat di mana lelah boleh diturunkan. Dan esok hari, dengan niat yang sama, aku akan kembali melaju—bersama rekan-rekan DJP lainnya—menjaga amanah, di lajur pengabdian yang kita pilih dengan sepenuh hati.
| Pewarta:Ida R. Laila |
| Kontributor Foto: Ida R. Laila |
| Editor: Yacob Yahya |
*)Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 11 kali dilihat