Upaya Menciptakan Level Playing Field Perpajakan antara Pedagang e-Commerce dan Pedagang Konvensional

Oleh: Ardian Mahardi Putera, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Perkembangan pesat perdagangan elektronik (e-commerce) di Indonesia dalam satu dekade terakhir telah mengubah lanskap perekonomian nasional. Namun, di balik kemajuan ini, muncul potensi ketimpangan antara pedagang e-commerce dan pedagang konvensional yang perlu segera dicarikan solusinya. Untungnya, telah terbit Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak lain Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK 37/2025). Hal ini menjadi angin segar dalam upaya menciptakan keadilan fiskal di antara kedua model bisnis ini.
Selama ini, banyak pelaku e-commerce, terutama yang beroperasi di platform besar, dinilai belum memenuhi kewajiban perpajakan secara optimal. Sementara itu, pedagang konvensional seperti pemilik toko fisik, pasar tradisional, dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kaki lima telah lama terbebani berbagai kewajiban pajak, mulai dari pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), hingga pajak dan retribusi daerah.
Wujud Keadilan Perlakuan Perpajakan
PMK 37/2025 hadir sebagai respons atas kondisi ini. Aturan baru ini mengatur beberapa hal penting, termasuk kewajiban pemungutan pajak oleh penyelenggara perdagangan elektronik (marketplace), perluasan subjek pajak bagi pelaku usaha digital, serta mekanisme pelaporan yang lebih transparan. Dengan demikian, diharapkan terjadi pemerataan beban pajak antara pedagang e-commerce dan penjual konvensional. Namun, implementasinya tidak semudah membalik telapak tangan. Salah satu tantangannya adalah kesadaran pajak di kalangan pelaku usaha digital perlu ditingkatkan --terutama pedagang kecil dan menengah. Banyak yang beroperasi tanpa memahami kewajiban perpajakan mereka.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini memiliki tugas besar untuk melakukan sosialisasi masif tentang aturan baru ini. Tidak hanya kepada pelaku usaha, tetapi juga kepada platform e-commerce yang menjadi mitra strategis dalam pemungutan pajak. Sinergi antara otoritas pajak, penyelenggara platform, dan pelaku usaha menjadi kunci sukses implementasi PMK 37/2025. Penyederhanaan prosedur dan peningkatan literasi perpajakan dapat memperkaya upaya peningkatan kesadaran dan pengetahuan ihwal pajak para pelaku e-commerce. Pemerintah telah memanfaatkan kanal digital untuk memberikan pelatihan dan pendampingan kepada para pelaku usaha yang masih awam tentang perpajakan.
Masyarakat dapat menyimak konten media sosial resmi atau situs web DJP, baik yang berupa infografis, leaflet, video tutorial, maupun konten yang lain. Masyarakat juga dapat mengikuti kelas pajak yang diselenggarakan oleh kantor pajak terdekat atau terdaftar.
Baca juga:
Pajak E-commerce, Tidak Semua Pedagang Otomatis Dipungut PPh Pasal 22
Teori Keadilan Rawls dan PMK 37/2025: Menimbang Pajak dalam Timbangan Moral
PMK 37/2025: Bukan Pajak Baru
Simak! Baru Terbit PMK 37/2025, Pengelola Platform Lokapasar Kini Pungut PPh Pasal 22
Di sisi lain, pedagang konvensional juga berhak mendapatkan perlindungan melalui penegakan aturan ini. Dengan adanya level playing field perpajakan, diharapkan terjadi persaingan yang lebih sehat dan berkeadilan. Ke depan, kebijakan ini tidak hanya penting untuk menciptakan keadilan fiskal, tetapi juga untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor digital yang terus tumbuh pesat. Pajak yang dipungut dari transaksi e-commerce bisa menjadi sumber penerimaan yang signifikan bagi negara, sekaligus menjaga stabilitas ekonomi makro.
Implementasi PMK 37/2025 merupakan langkah awal yang baik, dan perlu ditindaklanjuti dengan pengawasan dan evaluasi berkala. Pemerintah tentunya memastikan aturan ini tidak justru membebani UMKM digital yang masih berkembang. Di sisi lain, di saat yang sama, melalui pengawasan kepatuhan perpajakan, DJP bertindak tegas terhadap pelaku usaha yang selama ini kurang disiplin dalam melaksanakan kewajiban pajaknya.
Pada akhirnya, terciptanya level playing field perpajakan antara pedagang e-commerce dan konvensional akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Baik bisnis digital maupun konvensional sama-sama memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Dengan sistem perpajakan yang adil, diharapkan kedua model bisnis ini dapat tumbuh berdampingan, saling melengkapi, dan bersama-sama berkontribusi bagi kemajuan perekonomian nasional. Keadilan fiskal bukan hanya tentang memungut pajak, tetapi juga tentang menciptakan ekosistem bisnis yang sehat di mana semua pelaku usaha memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang. PMK 37/2025 bisa menjadi titik balik penting dan game changer dalam mewujudkan hal tersebut.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 41 kali dilihat