Oleh: (Noor Rizky Firdhausy), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Berita berjudul “Warga Resah soal UU Perpajakan, Usik Dana Pensiun dan Pesangon” yang terbit pada 11 Oktober 2025 di Tirto.id mengulas kekhawatiran Rosul dalam menghadapi masa pensiun. Rosul resah karena informasi mengenai pengenaan pajak atas uang pensiun. Dinyatakan bahwa uang pesangon akan dikenakan pajak sebesar 25%. Bersama dengan Maksum, Rosul mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi pada 25 September 2025. Menurut mereka, beban fiskal seharusnya berlaku bagi warga semasa bekerja saja. Namun, apakah berita tersebut sudah akurat ihwal ketentuan pengenaan pajak atas uang pensiun?

Senyampang proses uji materi masih berlangsung, tentu kita perlu menghormati pendapat masing-masing pihak, baik warga yang mengajukan maupun Pemerintah yang akan mempertahankan ketentuan tersebut di depan Majelis Hakim. Kita juga patut menghargai independensi Majelis Hakim yang mulia. Proses uji materi seperti ini merupakan kanal demokrasi yang dijamin konstitusi.

Pendapatan Warga Sudah Dipotong Pajak, Saat Pensiun Kembali Dipotong Lagi: Apakah Benar Begitu?

Dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), uang pensiun menjadi objek pajak karena merupakan penghasilan. Penghasilan sendiri didefinisikan sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Atau Kegiatan Orang Pribadi, pengurangan penghasilan bruto yang diperbolehkan salah satunya adalah iuran terkait program pensiun dan hari tua. Selain itu, UU PPh jo. UU HPP menegaskan bahwa iuran kepada dana pensiun merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pemberi kerja. Oleh karena itu, iuran pensiun yang nantinya akan menjadi uang pensiun yang diterima pegawai merupakan penghasilan yang belum pernah dikenakan pajak. Dengan demikian, uang pensiun menjadi objek pajak.

Terlebih lagi, dalam pengenaan pajak uang pensiun, tetap terdapat komponen penghasilan tidak kena pajak (PTKP) yang diperhitungkan. Dengan demikian, apabila uang pensiun yang diterima di bawah PTKP, uang pensiun tersebut tidak dikenakan pajak.

Terhadap uang pesangon yang dibayarkan sekaligus, yang dalam kasus Rosul dikenakan pajak sebesar 25%, berlaku Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus. Uang pesangon tersebut, sama dengan uang pensiun, merupakan penghasilan yang diterima yang belum pernah dikenakan pajak.

Berdasarkan Pasal 5 PP 68/2009, uang pesangon yang dikenakan pajak sebesar 25% adalah penghasilan bruto dengan nilai lebih dari 500 juta rupiah. Dalam berita tersebut, dinyatakan setelah dipotong pajak 25%, penghasilan tersebut hanya cukup untuk 4-5 tahun untuk keluarga dengan anggota 5 orang. Diasumsikan pesangon yang diterima adalah 501 juta rupiah, setelah dipotong pajak, akan didapat nilai 375 juta rupiah. Nilai tersebut apabila dibagi dengan 60 bulan (5 tahun), maka akan didapat nilai sebesar 6,26 juta rupiah per bulan. Apabila dibandingkan dengan nilai PTKP untuk orang pribadi berstatus kawin dengan 3 tanggungan yaitu 6 juta per bulan, nilai ini masih lebih besar ketimbang PTKP.

Sistem Jaminan Sosial yang Lebih Baik

Dalam berita tersebut, menurut pemohon, Pasal 34 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Dengan demikian, setiap kebijakan fiskal dan perpajakan semestinya diarahkan untuk memperkuat perlindungan sosial tersebut, bukan justru melemahkan.

Saat ini, belum ada sistem jaminan sosial yang memadai, khususnya bagai pensiunan di Indonesia. Masa pensiun umumnya masih menjadi hal yang harus direncanakan oleh masing-masing individu melalui tabungan. Uang pensiun dan pesangon masih berkaitan erat dengan pekerjaan yang dilakukan oleh masing-masing individu, sehingga sangat bergantung dengan pengelolaan dana pensiun yang diterapkan oleh masing-masing pemberi kerja.

Hanya saja, alih-alih menghapus pajak bagi uang pensiun dan pesangon yang tidak memperhatikan kesetaraan, di mana terdapat pemberi kerja yang memberikan uang pensiun dan pesangon bagi mantan pegawai dengan nilai yang sangat tinggi bahkan di atas PTKP pegawai aktif, akan lebih baik apabila diadakan sistem jaminan sosial yang lebih baik. Dapat dibuat suatu sistem jaminan di mana alih-alih bergantung pada pengelolaan masing-masing pemberi kerja, terdapat sistem jaminan sosial yang terpusat yang dapat memberikan kepastian bagi individu pada masa pensiun. Sistem jaminan sosial dapat dilakukan seperti pengelolaan dana haji, di mana pada saat pendaftaran haji, calon jamaah menyetorkan sejumlah uang yang selanjutnya akan dikelola dan jamaah hanya perlu membayar pelunasan pada saat keberangkatan. Uang pensiun dapat dikelola dengan mekanisme yang sama, di mana individu mulai usia tertentu membayar iuran semasa kerja, yang akan dikelola dan diberikan hasilnya sebagai uang pensiun yang akan diterima pada saat individu tersebut memasuki masa pensiun.

Sistem jaminan dengan iuran tersebut telah diterapkan salah satunya di Jepang. Pada tahun 2025, iuran pensiun bulanan adalah sebesar 17.510 yen atau setara dengan 1,9 juta rupiah. Peserta adalah seluruh penduduk Jepang yang berusia 20-59 tahun, termasuk di dalamnya adalah warga asing yang telah menjadi penduduk. Terdapat pengecualian untuk penduduk dengan penghasilan tertentu serta yang memenuhi kriteria tertentu. Iuran pensiun ini bahkan dikenakan kepada penerima beasiswa warga negara asing yang menerima beasiswa dari Pemerintah Jepang yang tidak menerima kriteria untuk dikecualikan. Hanya saja, bagi warga asing yang pada akhirnya tidak pensiun di Jepang, iuran yang telah dibayar dapat diminta kembali.

Sistem jaminan sosial seperti itu tentu memiliki risiko seperti pengelolaan yang kurang baik, atau bahkan menjadi lahan korupsi baru. Untuk menghadapi hal tersebut, perlu diterapkan standar pengelolaan yang memadai untuk menghadapi risiko-risiko yang mungkin terjadi. Namun, menyediakan jaminan sosial yang memadai, tidak hanya bagi masyarakat tertentu, perlu menjadi perhatian bagi Pemerintah karena telah menjadi amanat UUD 1945.

-----

Sumber:
* UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
* Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2009 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, dan Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus
* Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Atau Kegiatan Orang Pribadi
* Japan Pension Service. (2025, April 1). Japanese Social Insurance Systems. Retrieved October 11, 2025, from Japan Pension Service: https://www.nenkin.go.jp/international/japanese-system/nationalpension/nationalpension.html
* Wibowo, R. (2025, October 11). News Plus. Retrieved October 11, 2025, from Tirto.id: https://tirto.id/resah-penggugat-uu-pajak-negara-tak-adil-hjo1

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.