Oleh: (Martha Trisan Ulibasa Pangaribuan), pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Selama ini, tax holiday dan tax allowance telah menjadi instrumen utama pemerintah Indonesia untuk menarik investasi asing. Alasannya sederhana: semakin rendah tarif pajak, semakin besar insentif bagi perusahaan multinasional (MNE) untuk berinvestasi di Indonesia. Pajak Minimum Global (GMT), yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 tentang Pengenaan Pajak Minimum Global Berdasarkan Kesepakatan Internasional, bagaimanapun, menciptakan pergeseran paradigma besar. Pengaturan baru ini mengharuskan perusahaan multinasional membayar tarif efektif minimum sebesar 15%, terlepas dari lokasi operasi mereka. Hal ini tidak lagi menjadikan tax holiday sebagai "primadona insentif".

Apakah Tax Holiday Masih Relevan?

Saat ini, yang menjadi issue adalah apakah skema tax holiday tersebut masih efektif untuk diterapkan di Indonesia? Kita ilustrasikan sebuah MNE dari negara X akan berinvestasi di Indonesia. Untuk menarik investasi tersebut, pemerintah Indonesia memberikan tax holiday dengan menurunkan tarif pajak efektif (effective tax rate/ETR) perusahaan menjadi hanya 5%.

Tanpa global anti-base erosion rules (GloBE), insentif ini sangat menarik bagi perusahaan, karena mereka hanya dikenakan tarif pajak 5%. Pemerintah Indonesia pun diuntungkan dari investasi yang masuk, penciptaan lapangan kerja, dan dampak ekonomi lainnya. Namun, dengan adanya mekanisme GloBE, skenario ini berubah drastis. Aturan GloBE menetapkan bahwa jika ETR di suatu yurisdiksi berada di bawah ambang batas 15%, negara induk perusahaan (dalam hal ini, negara X) berhak memungut selisihnya melalui mekanisme top-up tax.

Dengan kata lain, meskipun ETR di Indonesia adalah 5%, aturan GloBE mewajibkan tarif minimum 15%. Hal ini menyebabkan selisih sebesar 10% yang akan menjadi top-up tax yang harus dibayar oleh MNE tersebut. Namun, yang memungut pajak tambahan ini bukanlah Direktorat Jenderal Pajak di Indonesia, melainkan otoritas pajak di negara X, negara induk MNE tersebut. Pada akhirnya, hasilnya menghasilkan a lose-lose situation, di mana kedua belah pihak sama-sama tidak menerima benefit apapun.

Bagi MNE, perusahaan tidak merasakan manfaat tax holiday yang diberikan oleh Indonesia. Pajak yang mereka bayar, meskipun tarif pajak mereka terlihat 5%, sebenarnya 15%. Akhirnya, beban pajak total mereka tetap sama, yaitu 15% dari pendapatan yang diperoleh melalui operasi di Indonesia. Daya tarik yang seharusnya membantu mendatangkan lebih banyak investasi menjadi sepenuhnya tidak berarti.

Bagi pemerintah Indonesia, Indonesia kehilangan aliran pendapatan pajak yang prospektif. Alih-alih pajak tambahan 10% dari keuntungan yang diperoleh di dalam wilayah negaranya sendiri, pendapatan ini "mengalir" ke kas negara lain, yaitu negara asal MNE. Tujuan dari skema tax holiday untuk mempromosikan investasi dan meningkatkan pendapatan dari perpajakan tidak terwujud. Untuk menanggapi tantangan ini, Indonesia perlu meninjau ulang kebijakan insentif fiskal yang selama ini berlaku.

Menyelamatkan Daya Tarik Insentif Indonesia

Untuk menghindari jebakan ini, pemerintah Indonesia harus berinovasi dalam kebijakan insentif fiskal. Solusinya mungkin beragam, tetapi jelas memerlukan beberapa alternatif. Yang dapat menjadi alternatifnya adalah pergeseran ke insentif pajak berbasis kredit (qualified refundable tax creditQRTC), fokus pada insentif nonpajak, dan insentif berbasis kinerja.

1. Pergeseran ke QRTC

Insentif seperti QRTC menjadi lebih menarik di era GMT. QRTC adalah kredit pajak yang dapat dikembalikan kepada wajib pajak yang memenuhi syarat tertentu. Dengan kata lain, jika jumlah kredit pajak lebih besar dari kewajiban pajak yang harus dibayar, sisa kredit tersebut akan dikembalikan kepada wajib pajak dalam bentuk pengembalian dana. Hal ini dapat menangani masalah yang ditimbulkan oleh GloBE. Perbedaannya terletak pada bagaimana insentif ini dicatat dalam akuntansi.

Secara historis, tax holiday dan penghematan pajak lainnya (termasuk tax holiday ataupun pengurangan tarif pajak) mengurangi pendapatan kena pajak perusahaan, yang mengakibatkan penurunan ETR mereka. Di bawah GloBE, jika ETR jatuh di bawah 15%, selisih ini akan dikumpulkan oleh negara asal melalui mekanisme pajak tambahan. Misalnya, jika Indonesia memberikan tax holiday yang menyebabkan ETR dipangkas menjadi 5%, perusahaan pada akhirnya akan terkena pajak tambahan 10% di negara asalnya (negara induk). Sementara itu, ketentuan ini akan membuat insentif Indonesia menjadi tidak efektif.

QRTC berfungsi dengan cara yang sama sekali berbeda. Selain itu, alih-alih mengurangi kewajiban pajak, QRTC diperlakukan sebagai pendapatan tambahan. Kredit pajak dibayarkan secara tunai kepada perusahaan yang dapat diklaimnya, bahkan walupun tidak memiliki kewajiban pajak. Alhasil, perusahaan tidak kehilangan keuntungan pajak dengan insentif dan keuntungan penuh dari insentif tidak pernah berkurang pada ETR perusahaan.

Di bawah perhitungan GloBE, ETR perusahaan lebih besar dari 15% dan tidak akan memicu pajak tambahan di negara lain, karena QRTC dianggap sebagai pendapatan. Ini memungkinkan Indonesia untuk menawarkan insentif yang benar dan efektif sebagai imbalan atas pengembalian sambil tetap mempertahankan hak pemajakan. Kebijakan ini juga memberikan pemerintah kekuatan untuk berinvestasi kembali di sektor-sektor strategis yang akan memberikan dividen ekonomi jangka panjang. Daripada sekadar meneruskan tarif pajak "murah", QRTC memungkinkan negara memberikan insentif berdasarkan hasil tertentu, atau metrik kinerja sebagai berikut.

  1. Mendorong riset dan pengembangan (R&D)

Pemerintah dapat memberikan QRTC kepada perusahaan yang membangun pusat R&D atau menginvestasikan dana besar di bidang inovasi. Upaya ini akan mendorong terciptanya ekosistem inovasi yang kuat dan membantu Indonesia naik di rantai nilai global.

  1. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia lokal

Insentif dapat diberikan untuk program pelatihan karyawan lokal, transfer teknologi, atau kerja sama dengan universitas. Ini memastikan bahwa investasi asing tidak hanya membawa modal, tetapi juga meningkatkan keterampilan dan daya saing tenaga kerja Indonesia.

  1. Mendukung investasi hijau

QRTC adalah instrumen yang ideal untuk mendorong investasi dalam energi terbarukan, teknologi ramah lingkungan, atau proyek-proyek keberlanjutan. Insentif ini mendukung transisi menuju ekonomi hijau sambil menjaga kepatuhan perpajakan.

Dengan menggeser fokus dari pengurangan tarif pajak ke pemberian QRTC, Indonesia dapat mengubah insentifnya dari alat yang pasif dan berisiko menjadi instrumen kebijakan yang aktif dan strategis. Langkah ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak hanya mengikuti aturan global, tetapi juga memanfaatkannya untuk keuntungan kompetitifnya sendiri.

2. Fokus pada Insentif Non-Pajak

Indonesia juga dapat meningkatkan daya tariknya untuk investasi di luar insentif pajak melalui hal-hal seperti penerbitan izin dan sistem birokrasi yang sederhana, memfasilitasi pengembangan industri, dan stabilitas regulasi dan kepastian hukum. Insentif non-pajak ini tidak berhubungan langsung dengan perhitungan ETR, sehingga tidak terpengaruh mekanisme top-up tax.​​​​​​​

3. Hibrida: Insentif Berbasis Kinerja

Insentif fiskal juga dapat diikatkan pada pencapaian moneter perusahaan, misalnya persentase bahan baku domestik yang digunakan, tujuan ekspor atau transfer teknologi ke wilayah tersebut, dan tingkat penciptaan lapangan kerja. Bentuknya dipertahankan sebagai kredit pajak atau subsidi langsung, bukan pemotongan tarif. Dengan demikian, Indonesia masih dapat menarik investasi, memberikan pengembalian material kepada perusahaan dan mempertahankan kedaulatan fiskal di tengah gelombang pajak minimum global.

Memitigasi kompleksitas GMT tidaklah mudah. Namun bagi Indonesia, ini adalah kebutuhan yang mendesak untuk diatur. Beralih dari insentif berbasis tarif ke pendekatan kredit pajak seperti QRTC, berkonsentrasi pada insentif non-pajak, dan insentif berbasis kinerja juga krusial. Pasalnya, itu artinya Indonesia mempertahankan daya tariknya bagi investor.

Ini bukan hanya masalah mematuhi aturan internasional, tetapi juga tentang membangun fondasi ekonomi yang lebih kuat, adil, dan berkelanjutan untuk masa depan. Pada akhirnya, keberhasilan implementasi GloBE akan sangat bergantung pada seberapa adaptif dan proaktif baik pemerintah maupun perusahaan dalam merangkul perubahan mendasar ini.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.