Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (ASJII), jumlah penggunaan di Indonesia mencapai 229,43 jiwa atau 80,66% dari total populasi. Jumlah ini menempatkan Indonesia dalam peringkat keempat negara di dunia dengan pengguna internet terbanyak, di bawah Cina, India, dan Amerika Serikat. Tidak mengherankan jika di era digital seperti sekarang ini, internet seolah menjadi kebutuhan pokok masyarakat.

Sebagai salah satu media pemanfaatan internet, media sosial menjadi “keharusan” untuk dimiliki oleh setiap orang. Informasi apapun dapat “mendunia” dalam hitungan detik dengan adanya internet. Belum lama ini beredar video pendek di salah satu akun media sosial Instagram milik salah satu klub sepakbola Prancis, LOSC Lille. Beberapa pemain klub sepakbola tersebut tampak merayakan  momen akun Instagram klub tersebut yang jumlah pengikutnya mencapai 1 juta. Hal ini disinyalir merupakan dampak positif dari bergabungnya salah satu penggawa tim nasional sepakbola Indonesia Calvin Verdonk di klub tersebut. Biasanya hal ini juga akan dibarengi dengan meningkatnya penerimaan klub dari penjualan merchandise klub dan pendapatan iklan. 

Ini bukan kali pertama terjadi. Sebelumnya, akun Instagram klub sepakbola asal Polandia Lechia Gdansk juga dibanjiri follower asal Indonesia ketika bergabungnya pemain sepakbola Indonesia Egy Maulana Vikri di klub tersebut. Menariknya, jumlah follower langsung berkurang ketika Egy memutuskan pindah dari klub tersebut pada medio 2021.

Fakta tersebut menjadi gambaran kuatnya pengaruh media sosial dalam menangkap dan menyebarluaskan persepsi masyarakat terhadap suatu hal atau informasi. Sayangnya, kita tidak bisa mengontrol apakah persepsi masyarakat tersebut timbul karena berita yang merupakan fakta atau hoax. Sudah banyak informasi yang beredar dan berhasil membentuk persepsi masyarakat terhadap sesuatu atau seseorang, padahal informasi tersebut tidak benar atau belum dapat dibuktikan kebenarannya.

Contoh terkini adalah bagaiman tanggapan publik ketika beredarnya potongan video dari mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang “katanya” mengatakan “guru adalah beban negara”. Informasi ini tidak dapat dibuktikan kebenarannya, bahkan dari hasil penelusuran ahli, video tersebut dinyatakan hoax dan merupakan hasil kreasi dari artificial intelligence. Nyatanya masih banyak publik yang tergiring opini negatifnya terhadap Sri Mulyani. Bahkan setelah Sri Mulyani tidak lagi menjabat Menteri Keuangan, cibiran publik masih ada yang seolah menafikkan jasa beliau kepada negara setelah menjabat Menteri Keuangan dalam kurun waktu total 14 tahun di  bawah kepemimpinan tiga presiden.

Hal seperti ini bisa dan sangat mungkin terjadi dengan orang, institusi, atau lembaga lain. Contoh yang paling dekat dan nyata adalah institusi perpajakan. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa pajak selalu menjadi topik pembicaraan yang sangat “seksi” untuk dibahas. Kenaikan tarif pajak, insentif pajak, peraturan perpajakan terbaru, implementasi Coretax, dan bahkan kasus-kasus yang melibatkan pegawai pajak menjadi informasi yang dengan mudahnya mendapatkan respon publik. Meme berupa gambar ataupun potongan video bisa dengan mudahnya berseliweran di media sosial terkait ini. Suka atau tidak, ini menjadi pembentuk persepsi publik terhadap pajak.

Berbicara pajak adalah tentang sumber penerimaan negara yang utama, dan ini memang domainnya institusi perpajakan, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. Namun, berbicara pajak seringkali dikaitkan dengan tujuan penggunaan hasil penerimaan pajak. Dan ini menjadi hal yang sering dipertanyakan oleh publik. Masalah infrastruktur, jaminan sosial, dan penyelewengan anggaran menjadi beberapa pembicaraan yang marak di media sosial yang dikaitkan dengan penolakan membayar pajak. Seharusnya ini bukan hanya menjadi tanggung jawab institusi perpajakan, melainkan seluruh kementerian dan lembaga yang memiliki anggaran yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Beberapa tahun yang lalu sempat marak kampanye stop bayar pajak di media sosial. Hal utama yang menjadi alasan Adalah bahwa manfaat pajak tidak dirasakan oleh masyarakat. Biaya pendidikan mahal, jalan banyak yang rusak, fasilitas kesehatan terbatas, layanan kesehatan untuk peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) rumit, dan sebagainya menjadi alasan dari kampanye ini.

Artinya, institusi perpajakan tidak dapat bekerja sendiri untuk menangkal penyebaran informasi negatif yang marak terkait pajak. Kampanye patuh pajak, bayar pajak di awal waktu, dan kampanye-kampanye simpatik lain terkait peningkatan kepatuhan pajak sudah dan terus dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). DJP bahkan menjangkau banyak kalangan dan lapisan masyarakat dalam kampanye peningkatan kepatuhan pajak.

DJP menjangkau generasi muda melalui kegiatan “Pajak Bertutur”, “Tax Goes to School”, dan “Tax Goes to Campus”. DJP melaksanakan edukasi perpajakan secara inklusif dengan juga mengikutsertakan wajib pajak penyandang disabilitas dalam edukasi perpajakan. DJP menggandeng pemerintah daerah dalam edukasi perpajakan bendahara pemerintah. DJP juga banyak bekerja sama dengan asosiasi pengusaha dalam menggelar edukasi perpajakan. Media sosial DJP dan kantor pajak juga aktif menyebarluaskan kampanye peningkatan kepatuhan pajak. Pertanyaan besarnya adalah; “apakah ini cukup?”

Kampanye peningkatan kepatuhan pajak di media sosial harus terus dilakukan. Namun, semua yang dilakukan ini menjadi ternodai ketika masih ada potongan video yang menggambarkan masyarakat sulit mendapatkan layanan kesehatan. Kampanye peningkatan kepatuhan pajak menjadi sedikit sia-sia ketika di saat yang bersamaan banyak muncul foto-foto atau berita tentang kasus-kasus korupsi anggaran belanja pemerintah. Kampanye peningkatan kepatuhan pajak menjadi tersakiti ketika video jalan-jalan atau sekolah rusak di beberapa daerah menghiasi berita televisi.

Peningkatan kepatuhan pajak menjadi tantangan yang harus bisa segera dicarikan solusinya. Apalagi saat ini jumlah wajib pajak yang melakukan pembayaran hanya sekitar 52,9% dari seluruh wajib pajak aktif di Indonesia. Penyebabnya bisa banyak hal. Salah satunya bisa saja terkait trust dengan pemerintah serta persepsi negatif masyarakat yang terlanjur terbentuk akibat berita-berita di media sosial.

Institusi perpajakan bertanggung jawab terkait hal teknis pengumpulan pajak. Namun, membangun persepsi positif masyarakat terhadap pajak dan trust masyarakat kepada pemerintah menjadi tanggung jawab bersama seluruh pihak dalam pemerintahan. Kuncinya hanya satu, bekerja dengan professional dan berintegritas serta mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.