Tagar #Stopbayarpajak Bukti Tidak Cinta Indonesia

Oleh: Maya Alfiandari, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Tidak hanya kali ini saja tagar #stopbayarpajak viral di dunia maya. Beberapa tahun lalu tagar ini sempat viral di media sosial dan dimaanfaatkan oleh sekelompok pihak untuk kepentingan politis. Tagar ini termasuk dalam kejahatan menghasut yang mempunyai ancaman pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 160 KUHP yang isinya: “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
“Saya lihat di medsos ada yang bikin hashtag #stopbayarpajak. Bagi Anda yang tidak bayar pajak, ya berarti Anda tidak ingin tinggal di Indonesia atau tidak ingin lihat Indonesia bagus,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Perayaan Hari Pajak 2022 di Jakarta, Selasa (19/7). Entah apa tujuan yang hendak dicapai si pembuat tagar, yang jelas tindakan ini berpotensi menyebabkan kaos dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tagar #stopbayarpajak menjadi bukti tidak cinta kepada bangsa dan negara Indonesia sesuai dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Mengapa demikian? Data Kementerian Keuangan menyebutkan bahwa postur sementara APBN 2022 disepakati terdiri dari pendapatan negara Rp1.846,1 triliun yang terdiri atas penerimaan perpajakan Rp1.510 triliun--penerimaan pajak Rp1.265 triliun dan penerimaan kepabeanan dan cukai Rp245 triliun--serta penerimaan negara bukan pajak Rp335,6 triliun, dapat ditarik kesimpulan pajak adalah tulang punggung negara yang mendominasi sekurangnya 68% penerimaan negara.
Tagar #stopbayarpajak kali ini termasuk upaya yang gagal. Counter attack terhadap tagar itu dilakukan oleh para pembayar pajak. Mereka membela dan mendukung pemerintah karena mereka telah merasakan manfaat pajak. Secara teoretis, manfaat pajak memang tidak bisa langsung kita terima. Akan tetapi, sesuai konsep berbagi, para pembayar pajak melihat uang pajaknya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui insentif kesehatan, insentif dunia usaha, bantuan langsung, pendidikan, infrastruktur, dan banyak lainnya.
Dahulu kala, pajak memang mempunya fungsi budgetair. Kini pajak mempunya fungsi tambahan yaitu fungsi regulerent. Pajak mengatur kebijakan sedemikian rupa sehingga perekonomian tidak terlalu hebat terkena imbas pandemi Covid-19. Indonesia termasuk salah satu negara yang berhasil bertahan dari badai akibat pandemi Covid-19. Bahkan dapat bangkit dengan cepat yang terlihat dari pemulihan ekonomi pada tahun 2022.
Dari sekian banyak insentif dan kemudahan selama pandemi Covid-19 yang berasal dari uang pajak yang dibayarkan oleh para pembayar pajak, pemerintah mengelolanya melalui kebijakan dan alokasi yang tepat sasaran. Dampaknya sektor-sektor yang sempat terpukul saat pandemi Covid-19 kembali bergairah.
Andai Stop Bayar Pajak
Apa yang akan terjadi apabila semua pembayar pajak berhenti membayar pajaknya? Ketika 68% APBN tidak terpenuhi, maka pilihan-pilihan lain seperti menjual aset sumber daya alam maupun menambah utang luar negeri tidak terelakkan untuk mengatasi defisit anggaran.
Defisit anggaran menyebabkan pembangunan infrastruktur terhenti. Pembangunan infrastruktur yang membuka akses wilayah akan terhenti sehingga potensi-potensi di wilayah tersebut tidak berkembang. Arus pengiriman barang tidak lancar, potensi wisata-wisata baru hilang dan pada akhirnya aktivitas ekonomi daerah tidak tumbuh. "Ini bukan hanya masalah ekonomi, ini adalah masalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," ujar Presiden sebagaimana dikutip dari rilis Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin saat Presiden memberikan sambutan dalam acara Sarasehan Nasional DPD-RI di Gedung Nusantara 4 MPR/DPR/DPD (17/11/2017).
Defisit anggaran menyebabkan bantuan subsidi pemerintah kepada rakyatnya berkurang bahkan berhenti. Tidak ada lagi anggaran yang dapat dialokasikan untuk membantu rakyat yang membutuhkan. Subsidi listrik dan BBM, bantuan langsung tunai, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, insentif dan kemudahan usaha serta bantuan lainnya akan lenyap seiring dengan tidak adanya pajak dalam APBN.
Tanpa pajak, maka semua layanan gratis tidak dapat kita dapatkan lagi. Dampak lebih besarnya adalah tidak adanya generasi emas yang akan menjadi penerus bangsa karena semakin sedikitnya anak-anak yang mampu melanjutkan pendidikan, tidak terjamin kesehatannya, tidak terjamin kesejahteraannya.
Kemungkinan-kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi pada setiap negara telah dieskalasi oleh pemerintah. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengelola keuangan negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai kepanjangan tangan Kementerian Keuangan merupakan instansi vertikal yang bertugas mengamankan penerimaan negara melalui pajak.
Setiap tahun, DJP mendapatkan target penerimaan pajak yang digunakan untuk pembiayaan pengeluaran negara. Hal ini adalah bukti bahwa pemerintah hadir untuk rakyatnya melalui Kementerian Keuangan. Dengan ini kita semua berharap Indonesia bisa tegak berdiri dan mandiri.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan instansi tempat penulis bekerja.
- 174 kali dilihat