Oleh: Tri Juniati Andayani, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah lama menggaungkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, serta peluasan data yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi. Hal ini dalam rangka meningkatkan penerimaan pajak jangka pendek maupun jangka panjang yang berkesinambungan.

DJP mengampanyekan keinginan tersebut sejak lama dan dipertegas dalam latar belakang disusunnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK-885/KMK.03/2016 tentang Pembentukan Tim Reformasi Perpajakan (Tim Reformasi). Reformasi perpajakan ini menjadi sangat penting karena melalui reformasi ini DJP menata ulang kebijakan dan administrasi pajak. Ketika basis pajak kuat dan merata, maka akan berdampak pada APBN yang mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa reformasi pajak terdiri dari dua hal, yaitu reformasi kebijakan dan reformasi administrasi. Reformasi kebijakan meliputi perluasan basis pajak; menjawab tantangan competitiveness; insentif terukur, efisien, dan adaptif dengan dinamika perpajakan global; insentif pajak fokus pada sektor bernilai tambah tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja; mengurangi distorsi dan exemption berlebihan; dan memperbaiki progresivitas pajak.

Selanjutnya, reformasi administrasi meliputi administrasi perpajakan yang lebih sederhana dan efisien; menjamin kepastian hukum perpajakan; pemanfaatan data dan informasi keuangan secara optimal; adaptasi terhadap perkembangan struktur perekonomian termasuk perkembangan digital dan transaksi ekonomi; mengikuti tren dan best practices perpajakan global; dan kepatuhan pajak tinggi.

Dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), DJP mulai mewujudkan wacana-wacana dalam reformasi perpajakan untuk segera diimplementasikan.

Proses pengesahan RUU HPP tersebut membutuhkan diskusi lama, panjang, dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Dengan melihat berbagai sudut pandang, kelebihan dan kekurangan, beberapa peraturan telah disahkan dalam RUU HPP, di antaranya perubahan tarif dan bracket Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi.

Perubahan tarif ini membuat wajib pajak membayar pajak lebih rendah dari sebelumnya. Dalam RUU HPP pemerintah mengubah tarif dan menambah lapisan PPh Orang Pribadi sebesar 35% untuk penghasilan dalam setahun di atas Rp5 miliar. Selain itu, lapisan PPh Orang Pribadi yang dikenakan tarif pajak sebesar 5% dinaikkan menjadi Rp60 juta yang sebelumnya Rp50 juta setahun.

Perubahan lapisan tarif ini tidak menambah beban PPh bagi orang pribadi yang berpenghasilan sampai dengan Rp5 miliar dalam setahun. Selain itu, masyarakat yang berpenghasilan sampai dengan Rp4,5 juta per bulan tetap tidak dikenai PPh.

Lebih lanjut, RUU HPP mengatur tentang batas peredaran bruto yang tidak dikenai pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang menghitung PPh dengan tarif final 0,5% (sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018) dan memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta setahun tidak dikenai PPh.

Aturan sebelumnya, peredaran usaha kurang dari Rp4,8 miliar dapat menjalankan kewajiban perpajakan dengan membayar pajak sebesar 0,5% dari peredaran bruto. Misalnya, Tuan A memiliki usaha kelontong dan memiliki peredaran usaha sebesar Rp600 juta setahun, maka Tuan A wajib membayar pajak sebesar Rp3 juta setahun.

Dengan RUU HPP, Tuan A yang memiliki peredaran usaha Rp600 juta setahun hanya membayar pajak sebesar Rp500 ribu. Cara menghitungnya adalah Rp600 juta dikurangi peredaran bruto tidak kena pajak sebesar Rp500 juta kemudian selisihnya (Rp100 juta) dikalikan 0,5%. Berlakunya RUU HPP membuat beban pajak yang harus dibayar oleh Tuan A berkurang sebanyak Rp2,5 juta.

Dengan begitu, DJP mulai mewujudkan pemerintah yang berkeadilan dengan melakukan pembenahan aturan-aturan pajak. Selain itu, aturan-aturan ditetapkan dengan melihat prinsip keadilan yang selama ini selalu diwacanakan dan digaungkan oleh DJP. Aturan tersebut tertuang dalam RUU HPP.

Selain itu, DJP juga mulai mengimplementasikan kata intergrasi melalui basis data kependudukan. Penggabungan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi momentum yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak. Integrasi data ini mampu mewujudkan good government dan digital society. Selain itu, penggabungan ini dapat menghindari duplikasi data sehingga dapat mempersempit peluang kejahatan.

Integrasi NIK dan NPWP akan mempermudah Wajib Pajak Orang Pribadi dalam melaksanakan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan demi kesederhanaan administrasi dan kepentingan nasional.

Penggunaan NIK sebagai NPWP tidak serta merta menyebabkan setiap orang pribadi membayar pajak. Pembayaran pajak dapat dilakukan jika penghasilan setahun di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak dan peredaran bruto di atas Rp500 juta per tahun bagi pengusaha yang membayar PPh tarif final 0,5%.

Selain itu, sisi humanis dalam RUU HPP tersebut adalah pemerintah dan DPR tidak mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sembako dan jasa pendidikan. Hal ini juga mempertimbangkan berbagai masukan dan melihat kepentingan nasional.

Ketika DJP mengampanyekan tentang sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel, artinya DJP sedang berusaha mewujudkan sistem perpajakan yang transparan. Melalui RUU HPP yang baru saja disahkan oleh DPR, semoga DJP dapat mewujudkan harapannya itu. Kesan DJP instansi yang eksklusif pun perlahan mulai luntur dengan adanya aturan-aturan yang lebih humanis seperti yang tercantum dalam RUU HPP.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.