Shadow Economy

Oleh: Nela Gustina Muliawati, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Shadow economy merupakan salah satu kegiatan ekonomi yang sulit untuk dikenakan pajak. Hal ini dikarenakan keberadaannya yang sulit terdeteksi oleh otoritas yang berwenang sehingga luput dari pengenaan pajak. Selain itu, shadow economy juga telah membuat bias perhitungan PDB (Produk Domestik Bruto). Shadow economy sendiri memiliki julukan yang berbeda-beda, ada yang menyebutnya black economy, underground economy, ataupun hidden economy.
Keberadaan shadow economy yang sulit terdeteksi oleh otoritas yang berwenang menyebabkan munculnya informasi asimetris yang mana satu pihak memiliki informasi lebih lengkap dibandingkan pihak lain. Informasi asimetris akan mengakibatkan transaksi yang tidak seimbang sehingga dapat merusak tatanan sistem yang ada.
Salah satu pihak yang dirugikan akibat keberadaan shadow economy adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas yang berwenang mengumpulkan penerimaan negara. Shadow economy telah memunculkan informasi asimetris antara DJP dengan wajib pajak. Informasi asimetris menyebabkan pengenaan pajak yang tidak berimbang. Akibatnya, terdapat beberapa pelaku ekonomi yang tidak melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana mestinya.
Masalah shadow economy sendiri bukanlah masalah baru di dunia perpajakan. Lebih lanjut, OECD menyebut shadow economy dengan istilah non observed economy yang meliputi 4 area produksi, yakni underground production, illegal production, informal sector production, dan household production for own final use. Sekilas memang sulit untuk membedakan keempat area produksi tersebut. Oleh karena itu, lebih lanjut, OECD memberikan pedoman terkait perbedaan keempat area produksi itu.
Underground production merupakan kegiatan yang produktif dan legal tetapi sebagian atau seluruh kegiatan tersebut disembunyikan dengan sengaja dari otoritas yang berwenang dengan tujuan menghindari pembayaran pajak atau menghindari aturan tertentu.
Sementara itu, illegal production didefinisikan sebagai kegiatan produktif yang melanggar hukum. Pelanggaran hukum yang dimaksud meliputi dua hal, yakni kegiatan ekonomi ilegal dan kegiatan ekonomi legal tetapi dilakukan oleh pihak yang tidak berwenang.
Kedua definisi tersebut memang sama-sama menunjukan ketidaktaatan pada hukum. Walaupun demikian, ada hal yang membedakan kedua area produksi tersebut. Underground production lebih cenderung tidak taat aturan administratif, sedangkan illegal production lebih cenderung termasuk tindakan kriminal.
Selanjutnya, OECD menjelaskan informal sector production sebagai kegiatan produktif yang dilakukan oleh pelaku usaha yang tidak terorganisasi dan tidak terdaftar secara resmi atau tidak memenuhi ukuran yang ditentukan (pada umumnya usaha skala kecil). Berbeda dengan informal sector, household production for own final use didefinisikan sebagai kegiatan produktif yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi atau dikapitalisasi oleh pihak yang menghasilkan/memproduksinya.
Keempat area non observed economy memiliki wujud yang berbeda-beda di setiap negara. Di Indonesia, underground production dapat ditemui dalam bentuk praktik tax evasion maupun tax avoidance, sedangkan illegal production dapat berbentuk illegal fishing, illegal logging, perdagangan obat-obatan terlarang, sampai dengan praktik pengobatan ilegal.
Sementara itu, informal sector production biasa ditemui dalam bentuk UMKM, mulai dari pedagang angkringan yang hanya muncul di malam hari sampai dengan pedagang sayur yang keliling setiap hari. Selanjutnya, household production for final use dapat ditemui di daerah pedesaan yang masih kental dengan nilai kekeluargaan dan gotong royong. Di pedesaan, masih dapat ditemui rumah tangga yang senang menanam sayuran untuk dikonsumsi sendiri atau dibagi dengan keluarga besarnya ketika panen besar. Lebih lanjut, warga pedesaan juga biasa melakukan kegiatan membangun rumah sendiri yang dibantu oleh sanak saudara/tetangga.
Dibalik keberadaan non observed economy ini, tersimpan berbagai motif yang melatarbelakangi fenomena tersebut. Dilihat dari empat jenis area non observed economy, menurut penulis, ada 3 motif yang nampak dominan, yaitu motif biaya, motif keuntungan, dan motif kerumitan. Motif biaya dapat berupa dorongan untuk meminimalkan beban pajak atau pun biaya usaha lainnya. Sementara itu, motif keuntungan bermula dari adanya tawaran keuntungan yang luar biasa menggiurkan sehingga mendorong seseorang untuk mendapatkannya walau harus melanggar hukum sekalipun. Yang terakhir, motif kerumitan muncul ketika seseorang enggan untuk menghadapi mekanisme yang dianggapnya rumit, misalnya adanya pelaku usaha yang lebih memilih masuk dalam sektor informal karena enggan mengurus perizinan yang dianggap rumit.
Lalu, Apa Upaya DJP?
Nampaknya, DJP sudah sejak lama mencium aroma ketiga motif non observed economy tersebut. Hal ini terlihat dari adanya upaya DJP untuk memberikan insentif pajak, memperbaiki layanan perpajakan, serta melakukan kerja sama pertukaran informasi.
Insentif pajak, selain dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, juga dapat mendorong pelaku usaha untuk mengungkapkan informasi keuangan yang sesungguhnya sehingga dapat mengurangi keberadaan informasi asimetris. Hal ini terjadi karena adanya rasa aman secara finansial untuk mengungkapkan informasi tersebut. Dengan kata lain, pengungkapan informasi keuangan tidak lagi menimbulkan beban usaha yang berarti bagi pelaku usaha. Oleh karena itu, tak heran apabila dalam rancangan omnibus law perpajakan ada banyak insentif pajak yang diberikan, salah satunya penurunan PPh Badan.
Selanjutnya, dalam rangka mewujudkan layanan perpajakan yang lebih baik, DJP senantiasa berupaya untuk melakukan perbaikan dan inovasi layanan perpajakan, mulai dari pendaftaran NPWP secara daring sampai dengan peluncuran Single Login yang memungkinkan wajib pajak dapat mengakses berbagai layanan pajak dalam satu kali log masuk. Dengan adanya kemudahan layanan perpajakan, diharapkan dapat mendorong pelaku usaha untuk terdaftar secara resmi menjadi wajib pajak.
Sementara itu, kerja sama pertukaran informasi dilakukan DJP untuk meminimalkan adanya informasi asimetris antara DJP dengan wajib pajak. Ada banyak kerja sama pertukaran informasi yang dilakukan DJP, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Salah satu bentuk keseriusan DJP dalam melaksanakan kerja sama pertukaran informasi yaitu dengan terbitnya PER-02/PJ/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tax Examination Abroad dalam Rangka Pertukaran Informasi berdasarkan Perjanjian Internasional.
Melalui insentif pajak dan kerja sama pertukaran informasi diharapkan dapat menurunkan informasi asimetris sehingga dapat menekan keberadaan non observed economy. Selain itu, perbaikan layanan perpajakan diperkirakan juga mampu menekan keberadaan non observed economy melalui pemberian stimulus kemudahan administrasi perpajakan.
Di sisi lain, keberadaan illegal production dapat diminimalkan melalui upaya penegakan hukum oleh instansi terkait. Lebih lanjut, akan lebih menarik, apabila para pelaku illegal production yang tertangkap oleh petugas yang berwenang, dikenakan pajak penghasilan atas penghasilan yang didapatkan selama melakukan illegal production.
Hal ini perlu dilakukan guna menyelamatkan penerimaan negara mengingat objek pajak tidak dibatasi atas kegiatan ekonomi legal saja. Dalam UU PPh, objek pajak penghasilan didefinisikan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun. Oleh karena itu, sah-sah saja apabila DJP mengenakan pajak atas penghasilan pelaku illegal production yang tertangkap.
*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 5025 kali dilihat