Secara Intuisi Harus Ikut PPS, Menurut Gladwell
Oleh: Suparnyo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Di media daring pada 20 Januari 2022 ada judul Bos Kapal Api dapat “Surat Cinta” Petugas Pajak: Sekarang Sulit Menghindar (Bisniscom). Dalam berita tersebut CEO PT Kapal Api Soedomo Mergonoto mengatakan, “Baru-baru ini kami ditegur, Pak Domo, ada deposito di DBS 20 tahun yang lalu kok nggak bayar pajak penghasilannya sama bunga. Wah, saya kaget, kok bisa tahu, padahal kan saya ini lupa. Ini lupa, tetapi komputer ini digitally enggak bisa lupa. Jadi ini terpaksa saya bayar, mau enggak mau."
Artinya apa? Bagaimanapun Pak Domo harus ikut PPS. Termasuk kita, apabila ada harta yang belum dilaporkan pada SPT. PPS adalah pemberian kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan/mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta. PPS berlaku mulai 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022.
Untuk penyuplai data luar negeri, DJP memiliki EOI (Exchange of Information). Pertama, EOI on request, misalnya ada wajib pajak sedang diperiksa dan diperlukan permintaan data pihak luar negeri. Kedua, spontaneous EOI, tidak diminta dan tidak otomatis, informasi yang dinilai relevan dilakukan secara spontan. Ketiga, automatic EOI, informasi keuangan yang diperlukan setelah mendapat data dari lembaga keuangan, baiik dari OJK maupun Portal EOI. Data internasional ada konvensi yang harus tunduk pada perjanjian tersebut.
Untuk penyuplai data dalam negeri, DJP memiliki pertukaran data dari pihak ketiga. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 mewajibkan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Makanya jangan heran kalau banyak di antara kita juga sudah mendapatkan email atau surat cinta dari DJP seperti Pak Domo. Apabila DJP baru dapat data harta tersebut setelah PPS berakhir, konsekuensinya akan jauh lebih berat, karena tarif lebih besar ditambah sanksi menanti.
Dalam bukunya berjudul Blink, Malcolm Gladwell mengawali dengan kasus kejanggalan patung di Museum Paul J. Getty beberapa puluh tahun lalu, yang diklaim dibuat sejak sebelum masehi. Sebelumnya, banyak orang yang tidak menyadari, bahkan oleh seorang ahli geologi pun. Thomas Hoving, salah seorang petinggi di Museum Metropolitan suatu hari mendatangi Museum Getty dan menyaksikan patung itu untuk pertama kalinya, secara tidak sadar mengucapkan kata “fresh”. Hal ini kemudian berujung pada penelitian ulang hingga akhirnya terbukti palsu. Menariknya, Hoving mengetahui patung tersebut palsu dengan singkat segera setelah melihatnya saja.
Oleh Gladwell, contoh tersebut digunakan untuk menunjukkan bahwa adanya proses berpikir cepat dilakukan oleh pikiran kita tanpa kita sadari. Gladwell sendiri menggunakan istilah “thin-slicing”, sedangkan dalam kalangan akademik proses ini disebut sebagai “adaptive unconscious”: proses mental yang bekerja dengan cepat dan otomatis berdasarkan informasi yang sedikit. Kadangkala kita menyebut proses itu sebagai “intuisi”, suatu pemikiran yang terjadi dengan cepat dan muncul begitu saja tanpa kita ketahui asal-usul pemikiran tersebut.
Berdasarkan sejarahnya, Indonesia telah empat kali menjalankan program pengampunan pajak dengan berbagai skema. Amnesti pertama tahun 1964, lalu tahun 1984, selanjutnya di tahun 2008 dengan sunset policy, dan Tax Amnety (TA) di tahun 2016 yang diatur dalam UU nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Terakhir adalah Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Setiap program pasti punya alasan dan tujuan, termasuk PPS sekarang. Berdasarkan data usai TA, kepatuhan pelaporan pajak dan pembayaran pajak para peserta TA tahun 2017 dan setelahnya mengalami peningkatan, sehingga program pengungkapan sukarela wajib pajak ini diharapkan juga memberikan efek positif yang sama atas kepatuhan perpajakan masyarakat. Dalam program ini juga diberikan kemudahan dan kebebasan untuk memilih tarif maupun prosedur yang digunakan kepada wajib pajak untuk secara sukarela mengungkapkan harta yang belum dilaporkannya.
Tentu terlalu jauh kalau kita membandingkan dengan tahun 1964, dari sisi apapun, serta pasti sulit untuk mengatakan program seperti ini tidak akan ada lagi. Namun, coba kita bandingkan antara TA 2016 dengan PPS 2022 yang jaraknya 6 tahun saja, mengenai tarif. Tarif pada TA 2016 terendah 2% dan tertinggi 10%, jauh lebih kecil dibandingkan PPS 2022. Yang paling rendah saja 6% sedangkan paling tinggi 18%.
Memangnya buat apa sih uang pajak kita? Jawabannya banyak sekali. Dari konferensi pers sementara pelaksanaan APBN 2021 Kementerian Keuangan, dukungan pemerintah di antaranya meliputi: PKH Rp27,9 triliun untuk 10 juta keluarga; subsidi LPG 3 kg Rp40,3 triliun untuk 7,12 juta MT; Bantuan Sosial Tunai (BST) Rp17,24 triliun untuk 9,9 juta keluarga; kartu sembako Rp48,3 triliun untuk 18,57 juta KPM; PBI JKN Rp44,9 triliun untuk 94 juta jiwa; bantuan iuran JKN bagi peserta PBUP/BP kelas II Rp4,2 triliun untuk 42 juta jiwa; BOS Rp53,46 triliun untuk 8,84 juta siswa; sembako PPKM Rp6,8 triliun untuk 5 juta keluarga; dan subsidi kuota internet Rp4,7 triliun untuk 27,7 juta siswa, guru dan dosen.
Kemudian subsidi bunga UMKM Rp35,4 triliun untuk 21,1 juta debitur; bansos untuk pengentasan kemiskinan ekstrem Rp1,05 triliun untuk 1,16 juta keluarga; Program Indonesia Pintar (PIP) Rp11,1 triliun untuk 20,08 juta siswa; diskon listrik Rp8,8 triliun untuk 31,2 juta pelanggan; BLT dana desa Rp20,2 triliun untuk 5,62 juta keluarga; program pra kerja Rp18,13 triliun untuk 5,96 juta peserta; bantuan produktif usaha mikro Rp15,4 triliun untuk 12,8 juta usaha mikro; bantuan subsidi upah Rp8,38 triliun untuk 8,4 juta pekerja; dan subsidi BBM Rp16,6 triliun untuk 16 juta kiloliter.
Dalam mengambil keputusan, kita tidak selalu membutuhkan informasi yang sangat banyak. Cukup kumpulkan informasi yang relevan dan secukupnya. Informasi yang terlalu banyak justru akan membingungkan. Dari beberapa data dan informasi serta pengalaman terkait PPS di atas maka intuisi kita bisa dipercaya. Begitu mendengar kata PPS dan lupa lapor harta, secara tidak sadar seharusnya mengucapkan kata “ikut”.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 334 kali dilihat