Oleh: Sinta Agustin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Mbak, saya tu baru saja dapat warisan orang tua yang meninggal pada tahun 2020. Itu apakah perlu diikutkan dalam PPS?” sayup suara dari seberang telepon membuka pembicaraan. Pertanyaan tersebut memang kerapkali dilontarkan oleh wajib pajak seiring dengan pemberlakuan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada awal 2022 ini. Kabar yang beredar, Menteri Keuangan pun memberikan pilihan untuk mengungkapkan harta warisan tersebut dalam PPS. Loh, padahal kan, warisan bukan objek pajak?

 

Warisan dalam UU Pajak Penghasilan

Sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, warisan dikecualikan dari objek pajak. Secara umum, warisan dan pengalihannya tidak dikenai pajak sepanjang terdapat bukti waris. Namun, atas warisan sendiri dianggap sebagai harta kepemilikan yang wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan.

Lalu, apakah warisan wajib diikutkan dalam PPS? Dikutip dari laman resmi pajak.go.id, “PPS adalah pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan/mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) berdasarkan pengungkapan harta.”

Berdasarkan hal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak memberikan pilihan untuk mengungkapkan harta yang belum dicantumkan pada SPT Tahunan 2020 dalam program pengungkapan sukarela. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, tidak diatur secara khusus terkait ketentuan warisan tersebut.

Oleh karena itu, wajib pajak dapat memilih untuk mencantumkan harta warisan tersebut ke dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan harta sesuai dengan kebijakan mana yang diikuti. Alternatif lainnya, wajib pajak dapat menyampaikan pembetulan SPT Tahunan dengan mencantumkan tambahan warisan dalam kolom harta yang disediakan.

Perlu diketahui, apabila memilih opsi kedua, maka jika suatu saat wajib pajak berkeinginan untuk mengikuti PPS, atas pembetulan SPT Tahunan Tahun Pajak 2016 sampai dengan 2020 dianggap tidak disampaikan, sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) PMK Nomor 196/PMK.03/2021.

Bagi wajib pajak yang menghendaki pengungkapan warisan dalam PPS Kebijakan II, dapat menikmati manfaat yang dijamin dengan Undang-Undang:

  1. Tidak diterbitkan ketetapan untuk kewajiban perpajakan tahun 2016 sampai dengan 2020, kecuali ditemukan harta belum atau kurang diungkap. Kewajiban tersebut meliputi PPh Orang Pribadi, PPh Pemotongan atau Pemungutan, dan PPN, kecuali pajak yang telah dipotong atau dipungut tetapi tidak disetorkan.
  2. Manfaat perlindungan data, yaitu data atau informasi yang bersumber dari Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.

 

SPPH

Warisan dikategorikan sebagai harta yang wajib dicantumkan dalam SPT Tahunan. Apabila wajib pajak memilih untuk mengungkapkan warisan tersebut ke dalam PPS, maka hal pertama adalah tentukan saat perolehan warisan tersebut. Jika memang atas perolehan warisan tersebut pada rentang tahun 2016 sampai dengan 2020 dan masih dimiliki pada tahun 2020 namun belum disampaikan pada SPT Tahunan 2020, pilih Kebijakan II dalam program tersebut. Untuk dapat mengikuti PPS, pastikan fitur layanan PPS telah diaktivasi pada akun pribadi laman pajak.go.id.

SPPH dapat diunduh pada menu buat laporan setelah memilih kebijakan yang sesuai. Pastikan perangkat yang digunakan telah terpasang aplikasi Adobe Acrobat Reader versi 32 bit untuk dapat mengisi e-Form SPPH. Dalam pengisian kolom harta, tahun perolehan warisan adalah saat warisan tersebut dimiliki oleh ahli waris, bukan saat harta tersebut diperoleh pewaris. Tentunya bukti waris juga diperlukan dalam pengisian kolom dokumen.

Tarif pajak yang berlaku terkait pengungkapan harta tersebut sesuai Pasal 6 ayat (3) PMK Nomor 196/PMK.03/2021 adalah:

a. 12% (dua belas persen) atas harta bersih repatriasi luar negeri dan deklarasi dalam negeri yang diinvestasikan pada:

  • kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
  • Surat Berharga Negara;

b. 14% (empat belas persen) atas harta bersih repatriasi luar negeri dan deklarasi dalam negeri dan tidak diinvestasikan

c. 18% (delapan belas persen) atas harta bersih yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wajib pajak dapat menyetor pembayaran pajak yang terutang sesuai dengan SPPH dengan terlebih dahulu membuat kode billing secara langsung pada aplikasi PPS atau secara mandiri melalui menu e-Billing pada laman pajak.go.id. Pastikan kode pajak, jenis setoran dan tahun pajak telah sesuai dengan kebijakan PPS yang dipilih. Apabila seluruh langkah telah terlewati, wajib pajak akan menerima Bukti Penerimaan Elektronik melalui surat elektronik (email) sebagai tanda telah mengikuti PPS.

Prinsip dasar perpajakan Indonesia adalah self-assessment system. Wajib pajak menghitung, menyetor, serta melaporkan hak dan kewajiban perpajakannya secara mandiri melalui saluran yang telah ditentukan. PPS ini merupakan salah satu pilihan yang dapat dimanfaatkan bagi wajib pajak untuk memenuhi hal tersebut. Direktorat Jenderal Pajak mendukung serta memberikan kemudahan bagi seluruh penduduk Indonesia untuk dapat berkontribusi dalam membangun negeri.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.