Oleh: I Gede Suryantara, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Tanggal 1 Mei diperingati sebagai Hari Buruh Internasional. Peringatan ini telah melewati lini waktu yang begitu panjang. Penetapan tanggal 1 Mei juga berakar pada jejak sejarah sejak zaman penjajahan Belanda di Indonesia. Menentukan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Sedunia, tidak serta-merta mengacu pada kejadian di luar negeri saja, namun juga pergerakan buruh pada zaman kolonial.

Berdasarkan berbagai catatan, munculnya Hari Buruh berawal dari pergolakan para pekerja di Amerika. Pada saat itu, kondisi dunia kerja di Amerika Serikat begitu buruk, khususnya di sektor industri. Para pekerja harus bekerja 16 jam per hari, bahkan lebih, tetapi dengan upah yang sangat rendah. Selain itu, tidak ada jaminan kesehatan yang diberikan dengan durasi kerja yang sangat panjang.

Akumulasi atas ketidakpuasan tersebut maka pada tahun 1886, sebuah gerakan pekerja mulai berkembang di Amerika. Gerakan ini memperjuangkan jam kerja dengan durasi sekitar delapan jam per hari, jaminan kesehatan, dan beberapa jaminan dasar bagi pekerja. Pada 1 Mei 1886, ribuan pekerja di seluruh Amerika secara serentak melakukan mogok kerja untuk memperjuangkan hak-hak mereka.

Pada tahun 1889, diadakan konferensi internasional di Paris sebagai tindak lanjut atas desakan para pekerja dan untuk memperjuangkan hak-hak buruh. Selain mendiskusikan mengenai hak-hak para pekerja, dalam konferensi tersebut juga ditetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh Internasional. Perisitiwa ini pun menyebar ke berbagai negara dan mengadopsi perjuangan dan peringatan Hari Buruh Internasional.

Sejarah di Indonesia

Hari Buruh diperingati di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1918. Penggagas peringatan tersebut adala Serikat Buruh Kung Tang Hwee. Kejadian yang menjadi latar belakangnya adalah kritik terhadap penentuan sewa tanah milik kaum buruh yang sangat murah dari kolonial Belanda. Selain itu, buruh diberi upah yang tidak layak dan tidak sebanding dengan durasi kerja sehingga mengalami penindasan yang parah.

Namun pada tahun 1927, peringatan Hari Buruh sulit digelar lantaran kembali mendapat larangan dari kolonial Belanda. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda pada saat itu melakukan represi kepada semua organisasi politik. Hal ini juga berlangsung hingga saat Jepang masuk Indonesia. Kebijakan pemerintah pendudukan Jepang menangkapi semua aktivis gerakan buruh.

Setelah Indoneisa merdeka, peringatan Hari Buruh kembali diadakan. Pada tahun 1946, Hari Buruh kembali diperingati oleh rakyat Indonesia. Perinagatan ini pun mendapatkan legalitas dari pemerintah Indonesia. Tanggal 1 Mei 1948, pemerintah Soekarno melalui Undang-Undang Kerja Nomor 12 Tahun 1948 menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh.

Peringatan hari Buruh semakin menguat sejak masa Presiden BJ Habibie meratifikasi konvensi dari International Labour Organization (ILO) Nomor 81 tentang kebebasan berserikat buruh. Pada 1 Mei 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi menetapkan Hari Buruh sebagai Hari Libur Nasional melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 tentang Penetapan Tanggal 1 Mei sebagai Hari Libur.

Pajak dan Buruh

Ternyata jejak sejarah mencatat bahwa ada perlakuan istimewa atas pengenaan pajak pada kaum pekerja. Pemerintah pernah menerbitkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1947 tentang Peraturan Istimewa untuk Golongan Buruh terhadap Penetapan Pajak Pendapatan. Terbitnya ketentuan ini menyikapi atas kecilnya penghasilan yang diterima para buruh dibandingkan besarnya biaya hidup saat itu. Aturan istimewa ini dimaksudkan untuk menjaga penghasilan para buruh dapat digunakan secara maksimal untuk kelangsungan hidup. Ketentuan istimewa ini diberlakukan manakala penghasilan yang diterima setidaknya 90% atau lebih benar-benar berasal dari upah buruh. Dan ketentuan ini tidak berlaku bagi pemilik perusahaan dan kelompok masyarakat kelas atas.

Seiring waktu, berbagai kebijakan perpajakan juga menyesuaikan perkembangan zaman. Namun, perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah tetap menjadi perhatian. Pemberian batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak hanya berfokus pada kaum buruh, tetapi siapa saja yang mempunyai penghasilan tidak lebih dari PTKP, tidak lagi dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 101/PMK.010/2016 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, telah mengatur bahwa batasan PTKP adalah sebesar Rp54 juta dalam satu tahun untuk diri wajib pajak orang pribadi. Dan akan ditambah sebanyak Rp4,5 juta setahun, jika memiliki istri. Lalu akan ditambah sebesar Rp4,5 juta setahun, jika ada tanggungan, maksimal sebanyak tiga orang tanggungan.

Selain itu, dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), batasan atas Penghasilan Kena Pajak juga disesuaikan. Pada awalnya tarif PPh Pasal 21 terendah yaitu 5% dikenakan pada Penghasilan Kena Pajak hingga Rp50 juta. Namun dengan ketentuan terbaru, lapisan tarif 5% Penghasilan Kena Pajak dinaikkan menjadi Rp60 juta. Artinya, lapisan Penghasilan Kena Pajak yang dulunya Rp60 juta harus dikenai dua tarif PPh Pasal 21, yaitu 5% untuk lapisan Rp50 juta dan 15% untuk lapisan Rp10 juta atau lebih, kini lapisan Penghasilan Kena Pajak hingga Rp60 juta, cukup menggunakan tarif 5% saja.

Tanpa mengeyampingkan fungsi penerimaan pajak untuk pembangunan, berbagai ketentuan perpajakan tetap memperhatikan perlindungan terhadap masyarakat yang mempunyai penghasilan rendah, termasuk kaum buruh. Kelompok Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juga mendapatkan perlakuan istimewa dalam kebijakan perpajakan. Fungsi pajak tidak sekadar penerimaan negara, namun juga menjaga kestabilan ekonomi, keadilan pengenaan, dan perlindungan terhadap kelompok menengah ke bawah.

Selamat Hari Buruh.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.