Oleh: Muhammad Rifqi Saifudin, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Era digitalisasi membawa satu entitas naik daun. Ia terus diproduksi dan menjadi komoditas penting bagi banyak pihak. Entitas ini bernama data. Data bagi korporasi dapat menjadi pendongkrak pendapatan. Oleh karena itu, pemerintahan yang baik harus bisa memanfaatkan data dalam meningkatkan layanan prima bagi publik.

Data diberikan secara gratis oleh masyarakat. Padahal, data bagi korporasi bernilai tinggi. Apa yang bisa dilakukan agar masyarakat mendapatkan timbal balik dari data yang mereka berikan? Sebelum ke sana, sebanyak apa data yang dihasilkan?

Kita Penghasil Jutaan Data

Ya, ada jutaan data diproduksi setiap hari. Data keuangan dihasilkan dari tiap tap kartu uang elektronik (KUE) di transportasi umum atau pembayaran yang dilakukan menggunakan quick response code Indonesian standard (QRIS). Atlet (atau joki?) lari menghasilkan beragam data kesehatan, apalagi kalau ditambah penggunaan jam pintar.

Penggemar belanja daring bukan hanya menghasilkan data pembelian, tiap interaksi di aplikasi seperti mencari dan melihat barang termasuk berapa lama waktu berada di suatu laman produk pun adalah data. Tiap suka, simpan, dan konten yang dibagikan di media sosial juga data. Banyak lagi data lain yang dihasilkan, sebutkan saja kegiatan sehari-hari maka sudah pasti ada data di dalamnya.

Bagi toko daring, interaksi pelanggan dapat dijadikan dasar memberikan rekomendasi produk sesuai dengan preferensi. Penyedia jasa transportasi umum dapat menganalisis jumlah penumpang dan menentukan kebijakan terkait layanan yang lebih sesuai kebutuhan.

Pentingnya data diejawantahkan dalam lumrahnya transaksi pertukaran data. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bekerjasama dengan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) untuk memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Korporasi lazim melakukan pertukaran data pelanggan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelanggan.

Valuasi Data

Data dari segi ekonomi memiliki nilai atau valuasi tertentu. Nilai ini tentunya tidak pasti angkanya karena keuntungan bisa saja tidak langsung didapat dari data tersebut. Nilai dilihat dari peningkatan keuntungan yang didapatkan dari pemanfaatan data tersebut. Walaupun ada korporasi yang langsung bertransaksi dan mendapatkan uang dari penjualan data, bahkan hal ekstrim dapat dilihat dari hacker yang menjual data pribadi secara ilegal.

Data tidak hanya bernilai ketika terjadi transaksi, penyimpanan data pun mengindikasikan bahwa ada nilai ekonomi yang dimiliki. Korporasi yang peduli akan keamanan data pasti melakukan penilaian ekonomi terhadap data yang disimpan. Nilai ini akan dijadikan dasar terhadap penganggaran pengamanan data tersebut.

Pemerintah sudah memberlakukan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Adakah peluang untuk meningkatkan penerimaan negara melalui pajak atas data?

Masyarakat kadang tidak sadar “menyumbangkan” data secara sukarela kepada korporasi. Data tersebut memang tidak merugikan secara material karena masyarakat tidak perlu mengeluarkan uang untuk menyumbang, tetapi bagi korporasi data itu bernilai ekonomi.

Nilai ekonomi tersebut harusnya bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pemerintah dapat memberikan manfaat itu melalui pemajakan atas data kepada korporasi. Hasil pajak yang dipungut dapat digunakan untuk anggaran melindungi data dari berbagai serangan yang ada melalui pencegahan dengan penyewaan infrastruktur yang aman dan dukungan operasional.

Di sisi lain, pemajakan atas data dapat dipandang sebagai pajak Pigouvian agar korporasi lebih memikirkan kebijakan data pelanggan. Pajak Pigouvian merupakan pengenaan pajak untuk mengurangi dampak negatif terhadap suatu transaksi. Contoh pajak Pigouvian lain adalah pajak tembakau, gula, dan karbon.

Apakah ada alternatif dasar pengenaan pajak atas data selain dari nilai ekonomi suatu data? Ada, yaitu bit tax.

Bit Tax

Omri Marian menawarkan wacana yang menarik soal memajaki data. Dalam sebuah artikel ilmiah berjudul “Taxing Data” (2022) ia berpendapat bahwa valuasi data sulit ditetapkan. Marian mengajukan pengenaan pajak atas volume data mentah yang diukur berdasarkan satuan gigabyte bernama bit tax. Bit tax mengenakan pajak atas penggunaan aliran data baik dari sisi pengunggah maupun pengunduh.

Jumlah aliran data dapat diperoleh melalui penyedia layanan internet. Selain dasar pengenaan pajak, aliran data ini dapat menjadi cara pemerintah memantau apakah transaksi data yang dilakukan sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.

Penerapan kebijakan ini harus dibarengi dengan aturan yang jelas mengenai hak pemerintah. Otoritas pajak hanya bisa mengakses jumlah aliran data untuk dasar pengenaan pajak, bukan data yang dialirkan. Ini penting agar masyarakat tidak perlu khawatir bahwa data mereka bisa dilihat oleh pihak yang tidak berkepentingan. Pemerintah juga bisa memetakan jenis data yang dialirkan sebagai evaluasi kebijakan pelindungan data pribadi.

Pajak atas data dapat memberikan dampak positif bagi pihak yang memberikan data. Masyarakat bisa merasakan timbal balik dalam bentuk layanan publik melalui hasil uang pajak dan korporasi akan lebih bijak lagi dalam menentukan kebijakan pengelolaan data. Asas keadilan juga terjadi karena pengenaan pajak tidak semata-mata berdasarkan nilai ekonomi, tetapi “kekayaan” data yang mereka miliki.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.