Oleh: Mochammad Bayu TjahonoPegawai Direktorat Jenderal Pajak

Melihat backdrop acara, “Ngopi Bareng” aku jadi teringat akan istilah cinta itu tak ubahnya secangkir kopi, sebuah kalimat yang manis namun tidak jelas maknanya. Kopi itu sendiri pahit rasanya namun dicari orang, seperti halnya cinta yang terasa pahit namun banyak dibicarakan, apa yang dibicarakan kenikmatan kopi itu dari rasa yang pahit, bukan manis seperti coklat.

Siang yang cerah, di tengah terik matahari, kehangatan suasana ruangan membuat aku jadi ingat akan rumahku. Kehangatan yang membuat air mata terngenang di pipiku, bayangan akan wajah ayahku melintas dalam benakku, tiga bulan lamanya setelah ditinggal bapak menghadap Sang Pencipta belum ada yang mampu menghapus kenangan itu. Aku masih ingat ketika setiap pagi kau bangunkan aku dengan mata yang tegas, supaya aku menjalankan kewajibanku untuk salat.

Saat itu aku belum merasa sebagai seorang anak yang paling beruntung karena mempunyai ayah yang keras dan tegas. Dengan wajah malas, aku pun bangun dengan tidak melihat ke wajah itu, kurasakan tarikan nafas yang berat dan wajah yang berusaha tegar melihat kelakuanku. Setelah selesai mandi dan salat, ibuku menyajikan secangkir kopi di meja makan, secangkir kopi yang tak pernah berhenti menemani pagiku.

Tak terasa air mata menetes, aku teringat peristiwa yang paling memilukan, waktu itu ulang tahunku yang ke-17, bapak berusaha memberikan hadiah yang istimewa berupa sepeda motor. Bukannya ucapan terima kasih yang hadir di mulutku, namun katanya yang tidak pantas, "Kenapa bukan motor GL?" Tangan halus ibuku mengusap rambutku tapi tak aku acuhkan, kusibak tangan itu dan aku langsung berjalan keluar rumah. Aku melihat wajahmu bergetar, nafasmu terlihat menyakitkan ketika ditarik, dan airmatamu terjun seketika membasahi wajah tua itu. Aku hanya terdiam, berusaha mengartikan hati yang tertanam di dalam tubuhku, kenapa aku melakukan hal seperti ini, kenapa aku sebegitu kejamnya pada orangtuaku sendiri.

Malam tadi aku terbangun dari tidurku, tidak ada sosok bapak di sampingku, aku kembali tersadar bahwa bapak sudah tiada dan ibuku terbaring sakit di tempat tidur. Aku memandang wajah ibuku, sedikit pucat di kerutan wajah yang menua. Aku mengusap wajah itu sambil aku nyanyikan lagu senandung rindu, lagu kerinduan ibuku pada sosok ayahku. “Kunyanyikan lagu untukmu, lagu kenang-kenangan. Lagu kenangan masa lalunya, saat kau ada di sampingku," demikian sepenggal lagu yang selalu dinyanyikan oleh ibuku. Air mata tak terasa menetes, terasa rindu akan secangkir kopi, secangkir kopi sayang.

Bapakku pernah berkata “Nak, pajak itu seperti kopi, pahit rasanya tapi manis hasilnya." Pajak memang kadang dirasa pahit oleh orang yang membayar, jarang sekali muncul keikhlasan dalam membayarnya, namun hasil pembayaran pajak dibutuhkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Terbayangkah apabila tidak ada pajak? Bagaimana kita membiayai pergerakan roda pemerintahan, membiayai pembangunan, membantu orang miskin berobat dan bersekolah. Aku tidak sanggup membayangkannya, karena tidak tahu akan jadi apa negaraku.

KPP Pratama Jakarta Mampang Prapatan rutin mengadakan “Ngopi” atau ngobrol pintar dengan berbagai kalangan untuk membicarakan tentang pajak. Konsep ini dilakukan untuk membuat suasana yang penuh kekeluargaan dan terjadi diskusi yang menarik dari dua sisi, bukan dialog satu sisi atau ceramah. Dialog dua sisi dibarengi dengan minum kopi, oleh KPP Pratama Jakarta Mampang Prapatan dianggap sebagai solusi untuk membuka wawasan wajib pajak.

Tema yang diangkat setiap bulan berbeda tergantung wajib pajak yang diundang. Dampak dari dialog saat ini terasa dari pertumbuhan penerimaan, KPP Pratama Jakarta Mampang Prapatan tumbuh mencapai 165%, suatu pertumbuhan penerimaan yang fantastis. Adanya perubahan perilaku dari wajib pajak yang diundang menandakan bahwa “Ngopi Bareng” cukup sukses untuk dianggap sebagai agenda rutin.

Sebagai program untuk meningkatkan pemahaman tentang pajak, KPP Pratama Jakarta Mampang Prapatan konsisten membuat tema-tema yang menarik untuk dibawakan dalam acara “Ngopi Bareng”. Hal ini dibuktikan dengan ngobrol pintar bareng tentang pajak dan sastra yang mengundang Mongol dan salah satu pengamat pajak, Yustinus Prastowo. Program ini merupakan cerminan gaya baru dalam melakukan sosialisasi dan masalah yang dibahas juga berbagai persoalan terkini, dikemas dengan suasana santai, cerdas, dan penuh ide yang baru.

Kepala kantor Pratama Jakarta Mampang Prapatan yang mewadahi acara tersebut mengatakan, “Berdebat cerdas, tanpa harus berbicara keras. Berbincang dengan narasumber yang pas di bidangnya masing-masing, ngobrol pintar bareng akan membawa para pegawai pajak dan wajib pajak pada cara pandang yang berbeda dalam sebuah persoalan tentang kehidupan dan pajak. Ngobrol pintar atau kita sebut NGOPI akan membahas setiap persoalan dengan pintar dan sarat akan makna." Memang tidak harus dengan suasana formal dalam memberikan penyuluhan, mungkin dengan suasana yang santai tapi serius materi pajak lebih gampang dicerna.

Suasana santai memang dibuat untuk memberikan warna yang berbeda dan diharapkan wajib pajak juga lebih mudah untuk datang dan memahami. Bagi aku yang hadir saat itu, suasana diskusi sangatlah menarik, namun ingatanku akan kopi membawa aku pada masa tertentu dalam hidupku, mengenang nurani, mengenang orangtuaku yang setiap hari menunjukkan cintanya dalam secangkir kopi. Dalam secangkir kopi itu, kuteguk cinta sedalam-dalamnya, kuteguk kenangan pahit itu sampai habis, sampai kelak aku bertemu dengan mereka. Kopi juga sebagai pelambang pajak, pahit namun manis, manis untuk seluruh bangsa ini. Banyak cinta dalam secangkir kopi.(*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.