Ngopi Jampang-KSK: Pajak, Sastra, dan Kemerdekaan

Oleh: Edmalia Rohmani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“Saya selalu bilang ke cowok gendut agar kuruskan perutnya, kenapa? Sebab kalau mati pintu surga tak muat. Kalau Mongol gimana? Tenang, saya kenal orang dalam...,” seloroh komika yang sedang naik daun ini. Diakuinya, sistem pajak sekarang sudah canggih, dia tak bisa berkelit dan menyembunyikan penghasilan dari petugas Account Representative-nya.
“Pasti ketahuan kalau tak dipotong pajaknya, sebab pemberi penghasilan pasti melaporkan (pajak) yang sudah dipotong ke kantor pajak. Salah-salah tak lapor, kita bisa kena (denda) lebih besar,” demikian curahan hatinya yang menyulut tawa seisi ruangan. Cerdas menghibur audiens. Itu yang menurutnya membedakan lawakan biasa dengan Stand Up Comedy.
Kelucuannya menjadi pembuka yang mencairkan suasana Ngobrol Pintar (NGOPI) KPP Pratama Jakarta Mampang Prapatan bekerja sama dengan Komunitas Sastra Kemenkeu (KSK) bertajuk “Pajak, Sastra, dan Kemerdekaan”.
Pajak dan Seni
Direktur Eksekutif CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis) Yustinus Prastowo mengisi sesi pertama. Di awal materi, Yustinus menyajikan data kinerja penerimaan pajak dalam jangka panjang. Tak tanggung-tanggung: tiga puluh tahun! Ini untuk memberikan gambaran utuh bahwa meski secara tren pertumbuhan penerimaan pajak terus menurun, namun secara nominal kontribusinya terhadap APBN terus meningkat. Ini adalah indikasi makin vitalnya peran pajak dan betapa pentingnya membangun visi misi perpajakan yang terarah dan menyeluruh dalam jangka panjang, tanpa melihat siapa pun yang berkuasa.
Ia pun memberikan grafik yang menyigi betapa penerimaan pajak kita secara umum masih dipengaruhi harga komoditas. Ini adalah salah satu tantangan yang harus ditaklukkan otoritas pajak. Bahkan, dalam satu salindia, ia memberikan histografis program pajak selama 35 tahun terakhir. Yang menarik, tiap kali ada program baru, masyarakat selalu antusias mengikuti sehingga berefek melonjaknya penerimaan pajak. Ini adalah teka-teki lain terkait tax gap yang harus dipecahkan dan dapat menjadi modal untuk mencari formulasi yang tepat tentang sejauh mana pemerintah mampu memajaki warganya dengan proporsional tanpa menimbulkan kegaduhan.
Yustinus lalu mengajak audiens melanglang buana ke sejarah pajak dari masa ke masa. Pun lintas negara. Referensi bacaannya jangan lagi ditanya. Ia membuka mata peserta acara tentang jatuh-bangunnya sebuah negara karena kesalahan fatal dalam merumuskan kebijakan pajak. Mesir kuno mengalami kemunduran peradaban karena perilaku birokrasi pajaknya yang memungut pajak terlalu tinggi sehingga membuka peluang besar penghindaran pajak. Di Babilonia, Raja Urkagina mengumumkan peniadaan pemungut pajak dan sejak itulah negeri itu jatuh ke tangan musuh.
Kemudian ia mengisahkan tentang sisi lain dari budaya "Liturgi" di Yunani yang memiliki kemiripan dengan sistem "Subak" di Bali. Pajak yang bersifat memaksa seakan kehilangan karakteristik tersebut sebab skema pengumpulan pajak dan besarannya disepakati melalui sebuah konsensus. Bisa jadi itulah penyebab Aristides yang hidup di zaman itu berpandangan bahwa memungut pajak tidak sekadar harus berintegritas dan proporsional tetapi juga dirancang sedemikian rupa sehingga semua warga merasa dipajaki dengan adil dan mau membayar pajak dengan gembira.
Pada akhirnya, dapat diambil sebuah benang merah bahwa memungut pajak memang sebuah seni yang menurut Jean-Baptiste Colbert laksana mencabuti bulu angsa sebanyak mungkin tanpa si angsa merasa kesakitan. Diperlukan modal sosial berupa birokrasi yang baik, aparat yang profesional dan berintegritas, serta kesadaran sukarela para pembayar pajak untuk membentuk kepatuhan pajak.
Seni sastra hadir di tengah-tengah proses pemupukan modal sosial itu. Seni sastra, sebagaimana pada umumnya seni memang menjadi wadah yang menyatukan banyak perbedaan. Maka, peran sastra di lingkungan DJP sekiranya mampu menjadi penyeimbang dalam alam fiskus yang penuh rutinitas dan mencetuskan ide-ide segar. Lebih jauh, Yustinus melontarkan buah pikirannya bahwa seni adalah antitesis dari korupsi. Seni sastra yang indah bicara tentang nilai-nilai universal yang bertolak belakang dengan sifat korupsi yang egosentris dan penuh kebusukan.
Korelasi yang Terkuak
Pembicara kedua tak kalah menarik. Dhimas Wisnu Mahendra adalah salah satu penulis berbakat yang dimiliki DJP. Lulusan S2 University of Wollongong Australia ini juga pegiat di KSK. Tak kurang dua ratus sajak dihasilkannya dalam waktu kurang lebih enam bulan dan sedang menunggu untuk diterbitkan. Selain novel berjudul “Geger Satrio Piningit” dan antologi “Soul Travellers” yang laris manis di pasaran, ia juga salah satu kontributor buku “Jejak Pajak Indonesia” yang dirilis pada peringatan Hari Pajak yang pertama lalu.
Sedikit demi sedikit para peserta diskusi tercerahkan dengan fakta bahwa para pejuang bangsa dan pendirinya mempunyai keterkaitan yang erat dengan sastra. Kenyataan bahwa isi Sumpah Pemuda yang begitu liris dan tunduk pada kaidah estetis sangat dipengaruhi oleh salah satu tokohnya Muhammad Yamin. Memang, selain sebagai aktivis pergerakan kemerdekaan, Yamin juga seorang penyair ulung. Tiga karyanya berjudul "Tanah Air", “Bahasa Bangsa”, dan antologi "Indonesia Tumpah Darahku" menjadi bukti bahwa daya imajinasinya menjangkau masa depan, bahkan jauh sebelum negara kesatuan yang diimpikannya menjadi kenyataan.
Hubungan sastra dan pajak yang bagai minyak dan air secara perlahan dielaborasinya menjadi sebuah perenungan yang dalam tentang makna pajak sebagai jalan hidup seorang fiskus. Sastrawan pajak seringkali terjebak pada sebuah dikotomi antara pekerjaan dan hobi. Padahal seharusnya kedua hal itu bisa berjalan selaras dan beriringan, bahkan saling menguatkan. Dhimas mengajak peserta untuk menganalisis dan membuka ruang dialektika. Sastra sebagai pilihan hidup akan menambah warna insan perpajakan. Pada akhirnya senyawa itu akan menuntun pada makna kemerdekaan yang hakiki, yaitu kebebasan berpikir dan berkarya.
Pada titik itulah seorang fiskus akan mampu mengoptimalkan potensinya menjadi insan yang utuh, merasa penuh, dan berbahagia. Ia pun mengajak seluruh audiens untuk berani memulai memvisualkan mimpi dan bekerja keras mewujudkan impian tersebut. Terutama bagi anggota KSK ia berpesan untuk mengoptimalkan potensi dan terus-menerus berkarya, sebab tulisan adalah sebuah media untuk menemukan diri kembali. Ketika sebuah karya sastra lahir, maka sesungguhnya yang lahir adalah pujangga itu sendiri dalam sebuah proses redefinisi. Setiap karya membawa serta identitas diri si pembuatnya.
Tak lupa ia mengutip sepenggal baris puisi Chairil Anwar, "Sekali berarti sudah itu mati!" Ya, sastra memang salah satu instrumen untuk menjejak lama dalam ingatan seseorang. Sebuah ladang penuh humus yang menyuburkan kreativitas dan kontemplasi. Tak berlebihan kiranya kala Pramoedya berpendapat, "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa mencintai sastra, kalian hanyalah hewan yang pandai." (*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
- 118 kali dilihat