Mengukur Manfaat Program Pengungkapan Sukarela

Oleh: Edi Purwanto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Beberapa kali mudik ke Pemalang, saya menggunakan Bus Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) jurusan Pemalang-Jakarta. Penumpang belum penuh saja bus biasanya tetap berangkat sesuai jadwal. Mereka tidak ngetem, namun di tengah perjalanan para agen bus grupnya kerap menaikkan penumpang yang searah.
Saya pernah bertanya ke sopir, mengapa begitu. Jawabannya sederhana, masih ada tempat duduk yang kosong, menjaga hubungan baik dengan masyarakat dan pengelola agen, dan penumpang sukarela ikut, serta kasihan karena jika gonta-ganti kendaraan akan lebih mahal biayanya. Intinya sopir dan penumpang sama-sama diuntungkan.
Itulah bayangan awal ketika saya mendengar Program Pengungkapan Sukarela (PPS) yang diluncurkan pemerintah karena wajib pajak dan pemerintah sama-sama diuntungkan. Seperti halnya Bus AKAP di atas, pemilik dan penumpang sama-sama senang. Apakah pada PPS, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan wajib pajak sama-sama senang karena diuntungkan? Penulis mencoba menganalisis untung rugi PPS guna menjawab pertanyaan tersebut.
Perlu APBN yang Berkelanjutan
Jika kita memperhatikan APBN tahun 2022, defisit direncanakan sebesar Rp868 triliun atau sekitar 4,85% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hal ini merujuk pada anggaran penerimaan yang ditarget sebesar Rp1.846 triliun, sementara pengeluaran sebesar Rp2.714 triliun. Skenario dari Kementerian Keuangan yaitu defisit anggaran tahun 2022 lebih kecil dari tahun 2021, dan pada tahun 2023 turun hingga kembali di bawah 3% dari PDB.
Guna menurunkan defisit APBN di masa mendatang, hingga di bawah 3% dari PDB, diperlukan kebijakan fiskal yang menjamin APBN yang lebih berkelanjutan (sustainable) dan kemampuan pengeluaran pemerintah semakin baik. Salah satunya adalah PPS atau Voluntary Disclosure Program (VDP).
PPS diharapkan akan mendatangkan dana segar guna mengurangi defisit APBN tahun 2022. Selain itu, dengan PPS diharapkan akan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam pengungkapan harta dan penghasilannya, memperbaiki basis data wajib pajak, dan berharap adanya repatriasi aset dari luar negeri. Masuknya investasi dari repatriasi aset diharapkan memperkuat program pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi.
Selain itu, seperti halnya Tax Amnesty tahun 2016, PPS tahun 2022 juga menyasar kepatuhan pengungkapan kewajiban dan harta selama lima tahun, yakni 2016 sampai 2020. Kepada wajib pajak diberi kesempatan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya pada tahun-tahun tersebut. Adapun DJP dapat fokus pada pengawasan dan pengujian kepatuhan wajib pajak untuk tahun pajak 2021 dan 2022, dan wajib pajak yang tidak ikut PPS.
Menimbang Tingkat Realistisitas PPS
PPS berbeda dengan Tax Amnesty, tetapi Tax Amnesty 2016 dapat menjadi perbandingan. PPS merupakan fasilitas kepada wajib pajak untuk memperbaiki pemenuhan kewajiban perpajakannya dengan persyaratan tertentu. Di beberapa negara, PPS terbukti berhasil meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Begitu pun di Indonesia, yaitu Tax Amnesty tahun 2016 yang dapat dikatakan berhasil.
Tahun 2016, sebanyak 956.000 wajib pajak mengikuti program Tax Amnesty. Jumlah tersebut memang relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah wajib pajak terdaftar yang wajib lapor Surat Pemberitahuan (SPT), yakni 20 juta. Namun, signifikan jika dibandingkan dengan jumlah pegawai pajak yang berkisar 33.000 orang saat itu, yakni sekitar 29 kali dari jumlah pegawai.
Adapun dari sisi penerimaan pajak, pada Tax Amnesty tahun 2016, pemerintah berhasil mengumpulkan uang tebusan sebesar Rp135 triliun. Sementara untuk deklarasi harta tercatat sebesar Rp3.687 triliun di dalam negeri dan Rp1.033 triliun di luar negeri. Lebih lanjut, dari sisi komitmen repatriasi aset mencapai Rp17 triliun.
Merujuk keberhasilan Tax Amnesty tahun 2016 dan keberhasilan di beberapa negara, maka target PPS tahun 2022 yakni mendatangkan penerimaan pajak dan lain-lain, dapat dikatakan realistis.
Apakah Wajib Pajak Diuntungkan?
Kemudian, apakah wajib pajak diuntungkan dengan PPS? Menurut saya, minimal ada tiga keuntungan yang akan diperoleh wajib pajak. Pertama, PPS memberikan kesederhanaan, baik dalam proses memperbaiki pemenuhan kewajiban perpajakan maupun dalam perhitungan pajak terutangnya.
Pajak yang terutang sebagai akibat dari pengungkapan sukarela bersifat final. Adapun besaran Pajak Penghasilan (PPh) Final yang terutang dihitung dengan mengalikan harta bersih yang belum diungkap dalam SPT Tahunan dengan tarif PPS.
Kedua, kepastian hukum berupa tidak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan dikenakan sanksi administrasi. Sesuai Bab V Pasal 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan bahwa kepada wajib pajak yang mengikuti PPS tidak diterbitkan SKP untuk lima tahun pajak dari tahun 2016 sampai 2020, tetapi ada catatan pengecualian.
Peserta PPS juga tidak dikenakan sanksi administrasi baik berupa kenaikan maupun bunga, termasuk sanksi adminstrasi berupa kenaikan sebesar 200% sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Ketiga, PPS menawarkan tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan tarif jika harta tidak diungkapkan. Adapun tarif atas harta yang belum atau kurang diungkap adalah 30%.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka PPS merupakan kebijakan yang sama-sama menguntungkan antara pemerintah dan wajib pajak. PPS dapat menjamin APBN sustainable dan meningkatkan kemampuan pengeluaran pemerintah.
Adapun bagi wajib pajak, PPS memberikan keuntungan mulai proses PPS yang sederhana, jaminan tidak diterbitkan SKP dan dikenakan sanksi administrasi, serta fasilitas tarif pajak yang lebih kecil dibandingkan jika tidak diungkapkannya harta dalam surat pemberitahuan pengungkapan sukarela.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 460 kali dilihat