Menata Pajak Era Digital: PMK 37/2025 dalam Bingkai Pembangunan Hukum

Oleh: Eko Priyono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam beberapa tahun terakhir, ekonomi digital tumbuh pesat dan mengubah lanskap perdagangan di Indonesia. Perdagangan yang dahulu mengandalkan toko fisik kini bertransformasi menjadi transaksi daring yang bersifat lintas batas dan berlangsung seketika. Dalam situasi seperti ini, negara menghadapi tantangan besar untuk menjaga keberlanjutan penerimaan pajak tanpa menghambat laju inovasi ekonomi. Di sinilah regulasi hadir sebagai jembatan antara dinamika baru di sektor usaha dan kebutuhan hukum yang tertib dan adil.
Kementerian Keuangan merespons tantangan tersebut dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK 37/2025). Regulasi ini mengatur penunjukan pihak lain—utamanya platform digital—sebagai pemungut pajak penghasilan (PPh) dari pelaku usaha dalam negeri melalui mekanisme perdagangan berbasis sistem elektronik (PMSE). Aturan ini bukan sekadar perluasan prosedur perpajakan, tetapi mencerminkan arah baru pembangunan hukum yang lebih adaptif dan proaktif.
Teori Pembangunan Hukum
Dalam perspektif teoretis, kita dapat memahami langkah ini melalui lensa teori pembangunan hukum yang dirumuskan oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja. Hukum, menurut beliau, bukan hanya alat untuk menciptakan keteraturan sosial, tetapi juga sarana rekayasa sosial yang dapat membentuk arah dan struktur masyarakat menuju cita-cita pembangunan. Hukum harus mampu menjawab kebutuhan zaman, termasuk perubahan akibat disrupsi teknologi.
Tiga prinsip utama dalam teori pembangunan hukum menjadi tolok ukur yang relevan untuk menilai kebijakan ini: kepastian hukum, keadilan, dan kebermanfaatan. Ketiganya bukan hanya idealisme normatif, melainkan dasar dalam menilai apakah sebuah regulasi berpihak pada pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif.
Pertama, dari aspek kepastian hukum, PMK 37/2025 menegaskan peran hukum dalam merespons kesenjangan pemungutan pajak di sektor digital. Selama ini, banyak transaksi daring yang luput dari mekanisme pemajakan tradisional. Penunjukan pihak ketiga seperti marketplace sebagai pemungut PPh Pasal 22 menjadi inovasi penting. Melalui pendekatan ini, pemungutan tidak lagi terbatas pada pelaku usaha sebagai pemotong atau pemungut, tetapi melibatkan simpul digital tempat transaksi berlangsung. Regulasi ini memberi kerangka hukum yang lebih jelas dan terukur atas transaksi yang sebelumnya sulit disentuh otoritas pajak.
Kedua, dari sisi keadilan, kebijakan ini menunjukkan keberpihakan pada pelaku usaha mikro dan kecil. Dalam Pasal 6 dan Pasal 10, PMK ini secara eksplisit memberikan pembebasan dari pungutan otomatis PPh Pasal 22 bagi wajib pajak orang pribadi dengan peredaran bruto sampai Rp500 juta per tahun. Pendekatan ini mencerminkan prinsip keadilan substantif: perlakuan berbeda untuk kondisi yang memang berbeda. Dengan demikian, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang baru merintis atau memiliki omzet kecil tidak langsung dibebani pungutan pajak yang berpotensi mengganggu keberlangsungan usahanya.
Selain itu, langkah ini juga memperlihatkan bahwa hukum bisa hadir sebagai alat perlindungan, bukan semata-mata alat pemaksa. Regulasi yang melindungi pelaku usaha kecil dari beban yang tidak proporsional adalah bagian penting dari hukum yang membangun, bukan menghukum.
Ketiga, dari aspek kebermanfaatan, PMK ini mendorong efisiensi dan transparansi dalam administrasi perpajakan. Melalui pemanfaatan sistem digital—seperti penggunaan faktur elektronik, escrow account, serta pelaporan dan pembayaran otomatis melalui platform digital—negara tidak hanya meningkatkan akurasi data, tetapi juga mengurangi potensi kebocoran dan penghindaran pajak. Hal ini penting dalam membangun kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan nasional.
Langkah ini juga membuka peluang bagi administrasi perpajakan yang lebih modern dan berkelanjutan. Digitalisasi menjadikan proses pemungutan dan pelaporan lebih ringkas, akuntabel, dan mudah ditelusuri, baik oleh wajib pajak maupun otoritas. Dalam jangka panjang, manfaatnya akan dirasakan tidak hanya dalam bentuk peningkatan penerimaan negara, tetapi juga perbaikan kualitas pelayanan publik yang berbasis data.
Tantangan
Meski demikian, keberhasilan regulasi ini tentu tidak tanpa tantangan. Salah satu persoalan utama adalah kesiapan platform digital asing untuk menyesuaikan diri dengan regulasi Indonesia. Tidak semua pelaku usaha lintas negara memiliki infrastruktur atau komitmen untuk patuh terhadap ketentuan perpajakan lokal, apalagi bila belum memiliki kehadiran fisik di Indonesia. Dalam konteks ini, kemampuan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pelacakan dan negosiasi menjadi kunci penting.
Tantangan lainnya adalah potensi resistensi dari pelaku usaha dalam negeri yang merasa belum siap secara sistem dan mental untuk menerima model pemungutan baru ini. Terutama bagi mereka yang belum familiar dengan pelaporan digital atau belum memiliki sistem pencatatan yang baik, penunjukan platform sebagai pemungut pajak bisa dirasa sebagai beban tambahan. Maka, edukasi dan sosialisasi menjadi bagian integral dari implementasi regulasi ini, bukan sekadar pelengkap.
Isu yang tidak kalah penting adalah terkait perlindungan data konsumen. Ketika transaksi dicatat dan dilaporkan melalui sistem elektronik, aspek keamanan dan kerahasiaan data menjadi perhatian serius. Negara harus memastikan bahwa platform digital yang ditunjuk memiliki sistem keamanan informasi yang memadai agar tidak terjadi kebocoran data atau penyalahgunaan informasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dalam konteks ini, langkah pemberian kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menunjuk pihak lain secara selektif juga mencerminkan fleksibilitas hukum yang dinamis. Kewenangan ini memungkinkan adaptasi terhadap perkembangan model bisnis baru yang terus bermunculan dalam ekonomi digital. Hukum menjadi alat yang responsif, bukan kaku dan tertinggal.
Asa ke Depan
Menilik keseluruhan kebijakan, PMK 37/2025 dapat dipandang sebagai manifestasi nyata dari prinsip-prinsip teori pembangunan hukum. Regulasi ini tidak hanya menjawab kebutuhan fiskal negara, tetapi juga mencerminkan upaya membangun sistem hukum yang adaptif terhadap zaman, adil bagi semua pelaku usaha, serta memberi manfaat nyata dalam bentuk tata kelola pajak yang lebih baik.
Ke depan, regulasi serupa tentunya terus dikembangkan dengan pendekatan kolaboratif, melibatkan berbagai pemangku kepentingan secara aktif—mulai dari pelaku usaha, platform digital, hingga masyarakat sipil. Dengan demikian, pembangunan hukum bukan menjadi proyek elitis yang jauh dari publik, melainkan menjadi gerakan bersama untuk menciptakan tata kehidupan yang lebih tertib, adil, dan sejahtera.
PMK ini adalah permulaan penting. Namun, keberhasilan sejati akan sangat ditentukan oleh konsistensi pelaksanaan, kecepatan adaptasi sistem, dan keterbukaan negara untuk terus mengevaluasi dan menyempurnakan instrumen hukum sesuai kebutuhan zaman.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 23 kali dilihat