Marketplace dan Wajah Baru Kepatuhan Pajak
Oleh: (Nur Fajar), pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Scroll layar ponsel, lalu muncul notifikasi siaran langsung dari penjual favorit. Ada yang menawarkan pakaian, peralatan dapur, hingga gawai dengan potongan harga dalam hitungan menit. Suasana ramai, interaktif, dan serba cepat menjadi ciri khas live marketplace yang kini akrab dalam keseharian masyarakat Indonesia. Tanpa terasa, dari rumah masing-masing, jutaan transaksi terjadi lintas kota dan lintas pulau setiap harinya.
Di balik ramainya aktivitas belanja digital itu, sesungguhnya sedang berlangsung perputaran ekonomi dalam skala besar. Nilainya terus meningkat dari tahun ke tahun, melibatkan jutaan pelaku usaha, terutama dari sektor usaha mikro dan kecil. Perubahan pola perdagangan inilah yang mendorong negara untuk hadir menata agar pertumbuhan ekonomi digital tetap berjalan tertib, adil, dan berkelanjutan.
Sebagai respons atas dinamika tersebut, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 tentang Penunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak Lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PMK 37/2025).
Beleid ini menetapkan penyelenggara marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi pedagang dalam negeri. Melalui kebijakan ini, pemungutan pajak dilakukan langsung di titik transaksi ketika pembayaran diterima, sehingga aktivitas ekonomi digital yang kian masif dapat berjalan seiring dengan prinsip kepastian hukum dan keadilan fiskal.
Menjawab Tantangan Perdagangan Digital
Ekonomi digital memiliki karakter yang berbeda dengan perdagangan konvensional. Transaksi berlangsung cepat, jumlahnya sangat besar, dan pelakunya tersebar di berbagai wilayah. Dalam kondisi seperti ini, pendekatan pemungutan pajak secara tradisional menjadi kurang efektif. Negara membutuhkan mekanisme yang lebih adaptif dengan memanfaatkan sistem yang sudah digunakan masyarakat sehari-hari.
Penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak merupakan bagian dari strategi tersebut. Pajak dipungut secara otomatis dari peredaran bruto penjual dengan tarif 0,5 persen, tidak termasuk pajak pertambahan nilai. Mekanisme ini dirancang sederhana dan terintegrasi dengan sistem transaksi, sehingga tidak menambah beban administratif yang berlebihan bagi pelaku usaha.
Lebih jauh, pajak yang dipungut ini dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pajak dalam tahun berjalan. Artinya, pelaku usaha tidak dikenai pajak baru di luar kewajiban yang sudah ada, melainkan melakukan pembayaran secara bertahap melalui sistem yang lebih praktis.
UMKM Tetap Mendapat Ruang Tumbuh
Perhatian terhadap pelaku usaha kecil tetap menjadi bagian penting dalam kebijakan ini. Pedagang orang pribadi dengan peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak tidak dikenai pemungutan PPh Pasal 22, sepanjang menyampaikan surat pernyataan sesuai ketentuan. Kebijakan ini menunjukkan bahwa negara tetap memberikan ruang bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk tumbuh tanpa dibebani kewajiban pajak tambahan pada fase awal usahanya.
Bagi pelaku usaha yang telah berkembang melampaui batas tersebut, pemungutan pajak dilakukan secara proporsional sebagai bentuk partisipasi dalam pembangunan nasional. Dengan desain seperti ini, keseimbangan antara perlindungan usaha kecil dan perluasan basis pajak dapat terjaga.
Mendorong Tata Kelola Usaha yang Lebih Rapi
Dari sudut pandang dunia usaha, kebijakan ini juga membawa dampak positif dalam jangka panjang. Setiap transaksi yang tercatat melalui marketplace menjadi dasar pencatatan penghasilan yang lebih rapi. Pelaku usaha secara perlahan terdorong untuk membangun tata kelola keuangan yang lebih tertib dan profesional.
Pencatatan yang baik bukan hanya penting untuk kepatuhan pajak, melainkan juga modal penting dalam mengembangkan usaha. Akses pembiayaan dari perbankan, kemitraan bisnis, hingga peluang investasi umumnya mensyaratkan transparansi keuangan. Dalam konteks ini, sistem pemungutan pajak di marketplace justru dapat menjadi jembatan menuju penguatan ekosistem usaha yang lebih sehat.
Kepatuhan pajak pun tidak lagi dipandang sebatas kewajiban administratif, melainkan bagian dari proses pendewasaan usaha di era ekonomi digital.
Dampak bagi Konsumen
Dari sisi konsumen, pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan terhadap penjual, bukan pembeli. Secara langsung, kebijakan ini tidak menambah komponen pajak yang harus dibayar konsumen ketika berbelanja. Memang selalu ada kemungkinan sebagian penjual melakukan penyesuaian harga, namun tingkat persaingan yang tinggi di marketplace membuat ruang untuk menaikkan harga secara sepihak relatif terbatas.
Justru dengan sistem yang lebih tertib, iklim persaingan menjadi lebih sehat karena seluruh pelaku usaha berada dalam kerangka aturan yang sama. Konsumen tetap diuntungkan oleh banyaknya pilihan produk, transparansi harga, serta kemudahan transaksi yang terus berkembang.
Kontribusi Nyata bagi Penerimaan Negara
Dari perspektif fiskal, kebijakan ini memperkuat basis penerimaan negara dari sektor ekonomi digital yang terus tumbuh. Dengan nilai transaksi yang sangat besar, bahkan tarif yang relatif kecil pun berpotensi memberikan kontribusi yang signifikan apabila dipungut secara konsisten dan terintegrasi.
Yang tidak kalah penting, kebijakan ini juga memperkuat ekosistem data perpajakan nasional. Informasi transaksi yang terkumpul melalui sistem marketplace menjadi bagian dari upaya modernisasi administrasi perpajakan yang berbasis teknologi informasi. Dalam jangka panjang, hal ini menjadi fondasi penting bagi pengelolaan pajak yang lebih akurat, adil, dan berkelanjutan.
Peran Edukasi Tetap Menentukan
Sehebat apapun sebuah kebijakan, keberhasilannya tetap sangat ditentukan oleh pemahaman masyarakat. Pelaku usaha perlu mengetahui batasan omzet, kewajiban penyampaian informasi, serta cara memperhitungkan pajak yang telah dipungut. Di sinilah peran edukasi perpajakan menjadi sangat penting.
Semakin baik pemahaman masyarakat, semakin kecil potensi kesalahpahaman dalam pelaksanaan kebijakan. Pajak tidak lagi dipersepsikan sebagai beban, melainkan sebagai bentuk kontribusi warga negara terhadap pembangunan.
Menata Pertumbuhan, Menjaga Keberlanjutan
Ekonomi digital Indonesia sedang bergerak menuju fase yang lebih matang. Pertumbuhan transaksi yang pesat kini diiringi dengan penataan regulasi yang lebih adaptif. Penunjukan marketplace sebagai pemungut pajak merupakan bagian dari upaya membangun keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, perlindungan pelaku usaha, dan kepentingan fiskal negara.
Kebijakan ini menunjukkan bahwa negara hadir tidak untuk menghambat inovasi, tetapi untuk memastikan agar transformasi digital berlangsung dalam kerangka yang tertib dan berkeadilan. Ketika pelaku usaha tumbuh, konsumen memperoleh manfaat, dan negara mendapatkan kontribusi yang wajar. Pada akhirnya, ekonomi digital dapat berkembang secara sehat dan berkelanjutan.
Di tengah riuhnya promosi, diskon kilat, dan transaksi cepat di live marketplace, kini terselip satu pesan penting: di balik setiap klik dan check out, ada kontribusi nyata untuk pembangunan negeri.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 18 kali dilihat