Makna Lima Ratus Juta Rupiah

Oleh: Shaiful Agung, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Krisis ekonomi yang melanda Indonesa pada 1998, sebagai dampak gejolak nilai mata uang Rupiah (krisis moneter), menggerek inflasi tak terkendali, menurunkan daya beli, dan ketidakberdayaan produksi. Ketidakpercayaan investor menyebabkan terganggunya aliran modal Indonesia, kebangkrutan berbagai perusahaan kian nyata saat itu.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kian marak dan tak terkendali. Fenomena PHK, membuat jumlah pengangguran di Indonesia semakin bertambah dan memperburuk tingkat kemiskinan di Indonesia. Diperlukan waktu hingga dua tahun untuk Indonesia kembali pulih dari krisis ekonomi tersebut.
Krisis finansial global yang terjadi di tahun 2008, kemudian berdampak secara makro di Indonesia. Kekhawatiran pemerintah akan terjadi hal yang sama seperti tahun 1998. Mengantisipasi hal tersebut, kemudian pemerintah mengambil langkah melalui penyelamatan beberapa bank di Indonesia.
Ekonomi Indonesia dapat lekas pulih berkat sektor ekonomi mikro masyarakat yang tetap aktif. Aktivitas ekonomi masyarakat Indonesia yang sebagian besar berada di sektor riil diindikasi sebagai penyelamat Indonesia dari dampak krisis global tahun 2008.
Belajar dari berbagai krisis di Indonesia tersebut, pemerintah kemudian menyadari perlunya mendorong masyarakat Indonesia untuk aktif berwirausaha. Melalui kewirausahaan, selain dapat menekan angka pengangguran juga dapat turut menyerap tenaga kerja produktif. Efek domino melalui kewirausahaan padat karya diharapkan menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih produktif.
Kementerian Koperasi dan UKM merilis kondisi kewirausahaan Indonesia berdasarkan data Global Entepreneurship Index 2019. Posisi Indonesia berada pada peringkat 74 dari 137 negara di dunia. Peranan sektor UMKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2009 berdasarkan harga berlaku mencapai Rp9.580 triliun terhadap total PDB Rp15.833 triliun (60,5%).
Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,7% dibandingkan tahun 2018. Akan tetapi, rasio wirausahawan baru mencapai 3,47% dari jumlah penduduk Indonesia. Rasio tersebut berada jauh dari rata-rata negara maju yang mencapai 12%. Jumlah penduduk produktif di Indonesia yang tergolong tinggi menjadi modal penting pemerintah dalam upaya peningkatan wirausaha.
Pemerintah kemudian menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk pengembangan kewirausahaan di Indonesia dengan tujuan mencapai rasio 4% di tahun 2024. Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam meningkatkan wirausaha di Indonesia antara lain melalui pelaksanaan pelatihan, kerja sama dengan perguruan tinggi untuk menciptakan lulusan yang tidak hanya berorientasi pada mencari kerja namun menciptakan lapangan kerja, pengucuran Kredit Usaha Rakyat dengan tingkat suku bunga yang rendah (7%), serta pelaksanaan pameran untuk membantu pemasaran produk UMKM.
Pajak sebagai salah satu instrumen fiskal, difungsikan oleh pemerintah dalam upaya peningkatan kewirausahaan di Indonesia. Pemerintah memberikan kemudahan bagi UMKM dari sisi perpajakan, pertama kali dilakukan pada tahun 2013 dengan mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak dengan Peredaran Bruto Tertentu. UMKM yang memiliki peredaran usaha tidak lebih dari Rp4,8 miliar setahun dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final 1% dari peredaran bruto.
Selanjutnya, pada tahun 2018 pemerintah mengubah Peraturan Pemerintah tersebut dengan menerbitkan aturan pengganti yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 23, dengan menurunkan tarif PPh Final menjadi 0,5% dari peredaran bruto. Selain itu, di tengah krisis ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19, pemerintah membantu UMKM untuk dapat bertahan dengan pemberian insentif PPh Final ditanggung pemerintah (DTP) yang dimulai sejak Masa Pajak April 2020 sampai dengan Desember 2021.
Terkini, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah semakin memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi UMKM dalam upaya percepatan pemulihan ekonomi Indonesia. Hal tersebut dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah usahawan serta membantu UMKM dapat tetap bertahan di tengah krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19.
Pemerintah memberikan insentif dengan mengatur batasan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) terhadap orang pribadi usahawan yang memiliki peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta rupiah. Sebelumnya, pemerintah belum mengatur batasan peredaran bruto yang tidak dikenakan PPh.
Sebagian masyarakat mungkin memandang bahwa akan ada penerimaan negara yang hilang dari adanya batasan tersebut. Akan tetapi, dari sudut pandang lainnya akan tercipta sebuah keadilan bagi masyarakat yang tergolong usahawan mikro. Semisal, Q seorang usahawan dengan peredaran bruto setahun sebanyak Rp400 juta, sebelumnya Q akan membayarkan PPh Final sebesar Rp2 juta. Namun, setelah berlakunya UU HPP, Q tidak perlu membayar pajak dan uang Rp2 juta itu dapat digunakan sebagai tambahan modal usahanya sehingga kegiatan usahanya akan semakin berkembang.
Perkembangan kegiatan usaha tersebut salah satu pemicunya adalah insentif yang diberikan oleh pemerintah. Nantinya ketika usaha mikro naik kelas menjadi usaha kecil dengan jumlah peredaran bruto melebihi Rp500 juta dalam satu tahun, diharapkan tidak melupakan kewajibannya untuk membayar PPh yang terutang sesuai dengan ketentuan.
Dapat dikatakan penerimaan negara berkurang dengan adanya kebijakan tersebut. Akan tetapi, efek bola salju dari insentif tersebut akan berdampak pada terciptanya rasa keadilan, pemulihan ekonomi, pertumbuhan usahawan, dan pengurangan pengangguran. Sebuah makna Rp500 juta yang tak hanya sebatas nominal Rupiah.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 268 kali dilihat