Oleh: Darmono, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Lembaga Perkreditan Desa (LPD) pertama kali diprakarsai oleh Gubernur Bali saat itu, Prof. Ida Bagus Mantra, setelah pada tahun 1985 ia berkunjung ke Sumatra Barat. Di sana ada Lembaga Keuangan milik adat yang berkembang dengan baik yang diberi nama ”Lumbung Pitih Nagari”. Lumbung Pitih Nagari (LPN) merupakan lembaga keuangan formal pedesaan yang tersebar di wilayah Sumatera Barat dan terbentuk secara bottom up dari sistem sosial setempat. Lembaga  itu dimulai dengan terbentuknya Kelompok Simpan Pinjam (KSP) kemudian berubah menjadi Pra Lumbung Pitih Nagari (Pra LPN) hingga menjadi Lumbung Pitih Nagari (LPN). Setelah adanya kebijaksanaan deregulasi perbankan (Pakto 27) maka lembaga keuangan tersebut berubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan nama BPR-LPN.

Selama tahun 2020, LPD di Bali masih mampu menyalurkan pembiayaan senilai Rp15,98 triliun ke 401.158 debitur atau nilainya tumbuh 0,8 persen YoY. Penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) LPD mengalami kontraksi sebesar 4,1 persen YoY menjadi Rp19,6 triliun. Perolehan laba LPD di Bali tercatat anjlok cukup dalam sebesar 27,3 persen YoY menjadi 398,63 miliar. Meskipun demikian, modal LPD tercatat mampu tumbuh 7 persen YoY selama 2020 menjadi Rp4,47 triliun. Menurut data per 30 Juni 2021 jumlah LPD yang tersebar di seluruh Bali mencapai 1.436.

 

Aspek hukum LPD

Berdasarkan pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro menyebutkan bahwa:

Lembaga Perkreditan Desa dan Lumbung Pitih Nagari serta lembaga sejenis yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, dinyatakan diakui keberadaannya berdasarkan hukum adat dan tidak tunduk pada Undang-Undang ini.”.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 12 ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 tentang Lembaga Perkreditan Desa menyebutkan bahwa LPD mempunyai kewajiban menjalankan operasional sesuai awig-awig, Pararem Desa, dan Peraturan Daerah ini.

Dengan demikian, hingga kini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, tidak dapat memberi sanksi terhadap keberadaan LPD, melakukan pengawasan dan menjalankan fungsi-fungsinya terhadap LPD.

Melihat perkembangan LPD di Bali yang sangat pesat, perlu dicermati segala aspek pendukung dan kendala yang dihadapinya. Sebagai sebuah institusi yang didirikan dan dikelola berdasarkan adat di Bali, yaitu yang dipengaruhi oleh agama Hindu, maka sistem manajemen pengelolaannya terasa sangat sederhana. Hal ini bahkan menjadi keunikan LPD sebagai salah satu bentuk Lembaga Keuangan Mikro, yaitu :

1. Patuh kepada awig-awig (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis),

2. Dikelola berdasarkan asas kekeluargaan dan pembinaan.

Kedua hal tersebut merupakan manifestasi LPD terhadap adat di Bali yang mengacu pada ajaran agama leluhurnya, yaitu agama Hindu. Bahkan karena kepatuhannya pada awig-awig dan asas kekeluargaan dan pembinaan sebagai dasar pengelolaannya, LPD dinilai tidak membutuhkan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) seperti Lembaga Keuangan lainnya. Awig-awig yang ada dipandang sebagai penjamin atas dana nasabah yang disimpan di LPD.

 

Aspek Pajak LPD       

Dari sisi hukum Pajak, LPD bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk Badan, mengingat definisi badan dalam undang undang pajak adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha. Walaupun penggunaan laba banyak digunakan untuk kegiatan sosial berupa pembangunan dan pemeliharaan pura, membiayai kegiatan upacara adat seperti ngaben, namun LPD juga menjalankan kegiatan komersil yang kurang lebih sama dengan Bank Perkreditan Rakyat. Dalam operasionalnya LPD menerima simpanan dari masyarakat dan menyalurkan kredit kepada pihak yang membutuhkan, sehingga telah memperoleh penghasilan atau memenuhi syarat subjektif dan objektif sebagai wajib pajak.

Berdasarkan uraian singkat di atas dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. LPD merupakan kearifan lokal di Bali yang tidak/belum berbadan hukum yang sepenuhnya dijalankan berdasarkan adat istiadat Desa Adat setempat (awig-awig dan pararem desa) serta berpedoman pada Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2017 tentang Lembaga Perkreditan Desa dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro.

Kegiatan operasional LPD antara lain menerima dan menyalurkan dana ke masyarakat utamanya di lingkungan Desa Adat masing masing. LPD memberikan bunga simpanan kepada para nasabah dan mengenakan biaya bunga kepada para debitur layaknya operasional Bank Perkreditan Rakyat. Pengeluaran (biaya) oleh LPD yang paling utama yaitu untuk kegiatan pembangunan dan pemeliharaan Pura serta upacara adat seperti ngaben.

Berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku, LPD memenuhi definisi sebagai Badan dan dalam kegiatan usahanya memperoleh penghasilan sehingga telah memenuhi syarat subjektif dan objektif untuk dapat diberikan NPWP dan terdaftar sebagai wajib pajak.

*)*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.