Oleh: Trio Nofriadi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sesuai dengan amanat Undang Undang No 7 Tahun 2021 tentang  Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) harus melaksanakan Pasal 2 ayat (1a), yakni “Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) .. bagi wajib pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan (NIK)”. Untuk dapat merealisasikan amanat Undang-Undang tersebut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan program pemadanan NIK menjadi NPWP yang telah dimulai sejak bulan Juli 2022. Berbagai macam upaya telah dilakukan oleh DJP. Kegiatan ini berupa pemberitahuan melalui media masa, sosial media, pemberi kerja, asosiasi profesi, korespondensi ke Kementerian dan Lembaga, pemerintah provinsi/daerah, market place, dan lain-lain. Kegiatan mandiri juga telah dilakukan oleh DJP dalam bentuk pemadanan secara sistem, terutama dalam hal ini bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan (WP OPK).

Dasar hukum untuk pemadanan NIK menjadi NPWP adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah (selanjutnya disebut PMK-112).  Sampai dengan 22 November 2023, secara nasional dari 72 juta wajib pajak orang pribadi terdaftar, telah dipadankan sejumlah 58,28 wajib pajak (80.94%). Wajib pajak perlu melakukan update data kependudukan berdasarkan dokumen pendukung ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) di masing-masing kabupaten/kota tempat NIK wajib pajak terdaftar.

Agar pemadanan ini dapat dipercepat sehingga tuntas, berbagai pihak perlu merumuskan langkah strategis. DJP dapat berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini Disdukcapil. Disdukcapil melalui Pasal 1 ayat 8 UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan:  “dokumen kependudukan adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Instansi Pelaksana yang mempunyai kekuatan hukum sebagai alat bukti autentik yang dihasilkan dari pelayanan Dafduk dan Capil”

Selanjutnya,  Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 2022  tentang Standar dan Spesifikasi Perangkat Keras, Perangkat Lunak, Blangko KTP-el dan Penyelenggaraan Identitas Kependudukan Digital (selanjutnya disebut Permendagri 72/2022) menyatakan bahwa “Identitas Kependudukan Digital adalah informasi elektronik yang digunakan untuk merepresentasikan Dokumen Kependudukan dan data balikan dalam aplikasi digital melalui gawai yang menampilkan Data Pribadi sebagai identitas yang bersangkutan”. Produk atau output dari Permendagri 72/2022 adalah Identitas Kependudukan Digital (IKD).  IKD ini dapat diakses melalui smartphone dan diunduh melalui baik Playstore maupun Appstore.

Disdukcapil Perlu IKD, DJP Butuh Pemadanan

Fungi IKD adalah untuk pembuktian identitas, autentikasi identitas dan otorisasi identitas. IKD dapat diakses pada hape atau smartphone dengan Operating System minimal Android versi 8 dan iOS minimal versi 11 di masing-masing pengguna. Setelah mengunduh aplikasi ini, pengguna aplikasi dapat melakukan scan barcode autentifikasi ke kecamatan atau bagian Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) di Disdukcapil. Sehingga dapat disimpulkan, IKD ini dapat mempermudah dan mempercepat transaksi pelayanan publik atau privat dalam bentuk digital dan mengamankan kepemilikan identitas kependudukan digital.

Sebagai contoh, apabila kita perkecil ruang sampel pembicaraan untuk sebuah kota, sebutlah Kota Pulang-Pergi, menurut data Disdukcapil,  dari sejumlah 657.000 warga kota tersebut yang memiliki KTP, Disdukcapil memiliki target untuk dapat merealisasikan IKD ke sejumlah 164.250 NIK. Sementara di sisi DJP, untuk data NIK yang perlu dimutakhirkan untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pulang-Pergi Satu dan KPP Pratama Pulang-Pergi Dua adalah 116.263 NIK. Sebagai informasi, Kota Pulang-Pergi menyisakan 20.31% NIK lagi yang masih belum padan.

Mengingat angka yang tidak berselisih relatif besar ini, penulis mengajukan solusi kolaborasi antara DJP dengan Disdukcapil yang secara garis besar memiliki tugas yang sama, yakni tentang upaya pemadanan data kependudukan dengan NPWP serta upaya untuk mendigitalkan data kependudukan. Langkah konkretnya bisa dengan win-win solution bagi DJP dan Disdukcapil, misalnya:

  1. Petugas pajak mengarahkan wajib pajak dengan status perlu pemutakhiran ke Disdukcapil, untuk selanjutnya mengunggah aplikasi IKD di Disdukcapil. Mengunggah aplikasi ini dengan pendampingan rekan-rekan di Disdukcapil, otomatis data kependudukan wajib pajak tersebut telah terkonfirmasi valid di Disdukcapil, sehingga dengan sistem kependudukan yang realtime, WP dapat langsung melakukan pemadanan NIK menjadi NWP melalui gawai mereka. Dalam hal ini Didukcapil juga terbantu dengan kenaikan user IKD mereka.
  2. DJP bersama Disdukcapil dapat membuka stand bersama untuk kegiatan-kegiatan akbar terpilih untuk melayani layanan IKD dan pemadanan NIK menjadi NPWP.
  3. Mempertimbangkan kerahasiaan data kependudukan yang juga dimiliki oleh Disdukcapil, KPP Pratama  dapat menyampaikan nama-nama wajib pajak yang belum dimutakhirkan untuk dapat ditindaklanjuti oleh Disdukcapil dalam bentuk surat atau naskah dinas antarinstansi, sesuai dengan ketentuan.

Memang, sinergi antara DJP dan Disdukcapil telah terjalin dengan cukup baik. Namun demikian, tawaran solusi di atas patut dieksplorasi. Bukankah multiplier effect yang diberikan oleh sinergi dan kolaborasi bisa menjadikan satu ditambah satu menjadi tiga atau bahkan lebih?

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.