Kalimat tersebut adalah satu dari ribuan komentar yang ada saat warganet mengomentari cuitan akun @DitjenPajakRI.

Seperti diketahui, beberapa waktu lalu akun Twitter @DitjenPajakRI menyebut akun Ghozali. Akun @DitjenPajakRI meminta Ghozali untuk mendaftarkan dirinya sebagai wajib pajak setelah mendapatkan penghasilan dari aset digital NFT (Non-Fungible Token).

Ghozali memperoleh penghasilan miiaran rupiah dari hasil penjualan swafoto dirinya di internet dalam platform OpenSea.

Dalam sistem self assessment, wajib pajak diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, melaporkan, dan mempertanggungjawabkan pajaknya. Dengan sistem perpajakan seperti itu maka salah satu tugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang sangat penting adalah memberikan edukasi kepada wajib pajak terkait hak dan kewajiban perpajakannya melalui berbagai metode dan kanal. Salah satunya melalui media sosial.

Adalah hal yang wajar DJP melakukan itu, mengingatkan kesadaran masyarakat untuk melaporkan pajaknya ketika mendapatkan penghasilan yang mestinya dikenakan pajak. Dan yang patut dicatat adalah lebih banyak masyarakat Indonesia yang mestinya "dikasihani" karena ada haknya yang terabaikan jika ada sebagian masyarakat tidak membayar pajak.

Ya, dengan pajak itu pemerintah menjalankan roda pemerintahannya agar tercapai cita-cita bersama, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Semua itu butuh dana.

Pajak menjadi tulang punggung pembiayaan negara. Dalam APBN 2022, lebih dari 70% penerimaan negara berasal dari pajak. Tepatnya sebesar Rp1.262,9 triliun. Ini berarti sederhananya, pajak yang dibayarkan Ghozali beberapa di antaranya digunakan untuk meneruskan Program Pemulihan Ekonomi Nasional.  

Yakinlah, pajak yang kita bayarkan sangat menolong dan membantu tegaknya negara ini. Terutama di tahun 2021 yang telah lewat. Pajak benar-benar menyokong APBN 2021 dalam pengendalian pandemi Covid-19 terutama dalam penyediaan vaksin, obat-obatan, tenaga kesehatan, sistem pengendalian wabah. Sehingga dengan itu ekonomi masih bisa terus berputar dan penerimaan negara terjaga.

Pajak juga menyokong APBN 2021 dalam penyelenggaraan pendidikan, utamanya untuk menjaga kualitas sumber daya manusia. Misalnya, Rp66,4 triliun untuk ketersediaan dana pengembangan pendidikan nasional, dana abadi penelitian, dana abadi kebudayaan, dan dana abadi perguruan tinggi atau Rp1,4 triliun untuk mendukung digitalisasi pendidikan. Ini baru sebagian saja.

Utamanya lagi, pajak menyokong APBN 2021 dalam soal pembangunan infrastruktur terutama infrastruktur prioritas agar daya saing nasional meningkat, dan lain sebagainya. Seperti ada ribuan rumah susun, puluhan bendungan, ratusan km pembangunan saluran irigasi dan ribuan km rehabilitasinya, ribuan km pembangunan jalan, puluhan km jembatan, atau jaringan gas bumi untuk ratusan ribu rumah tangga.

Belum lagi dalam pembangunan bidang teknologi informasi dan komunikasi yang difokuskan untuk mendukung dan meningkatkan kualitas komunikasi masyarakat. Kecepatan akses internet yang kita nikmati sekarang adalah hasil pencapaian di bidang ini.

Terpenting lagi adalah pajak yang menyokong pencapaian di bidang perlindungan nasional dalam bentuk bantuan sosial, subsidi listrik, bantuan biaya pendidikan untuk mahasiswa, atau kartu sembako.

Jadi, pajak bukan sebagai momok yang mesti ditakutkan, sehingga pembayar pajak harus merasa dikasihani. Pajak sejatinya menjadi sarana pendistribusian kesejahteraan secara merata kepada masyarakat luas.

Soal masyarakat yang mendapatkan penghasilan atau rezeki nomplok hendak menyebarluaskannya kepada warganet adalah hak masing-masing, namun tetap dengan sebuah kesadaran bahwa sekalipun penerimaan penghasilan itu tidak diberitahukan kepada khalayak ramai ada sebuah kewajiban yang senantiasa menempel kepada penerima penghasilan: membayar dan melaporkan pajaknya dengan benar. Ada sistem yang mengawasi pembayaran dan pelaporan pajak tersebut.

Terang-terangan atau diam-diam tetap ada konsekuensinya masing-masing sebagai penerapan sistem perpajakan self assessment sejak 1983.