Oleh: Rifky Bagas Nugrahanto, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah terkadang memberikan insentif fiskal untuk periode tertentu berdasarkan skala prioritas. Insentif yang termasuk dalam pengeluaran pajak tersebut antara lain pengecualian pajak, pengurangan pajak, kredit pajak, penangguhan pajak, dan bahkan penurunan tarif pajak. Yang menarik, pengeluaran pajak tidak diletakkan pada pengawasan yang sama dalam proses penganggaran sebagaimana belanja. Pada kenyataannya, pengeluaran pajak tidak pernah dilakukan analisis atas untung rugi. Bahkan, beberapa negara tidak mampu memperkirakan pendapatan yang hilang setelah diberlakukannya suatu kebijakan. 

Keberadaan pengeluaran pajak dapat berakibat pada pengurangan penerimaan publik global yang signifikan. Amerika Serikat memperkirakan kerugian sebesar  1,5 juta USD. Nilai ini setara dengan 37% anggaran pengeluaran dan sekitar 8% dari PDB (US Treasury, 2017).

Di Inggris, kelonggaran pajak mengurangi penerimaan negara lebih dari 400 GBP juta setiap tahun. Nilai ini sangat signifikan dibandingkan dengan total pengeluaran pemerintah dengan nilai sekitar 800 GBP (Miller, 2018). 

Oleh karena itu, tax expenditure menjadi mahal dan tidak efektif dalam pencapaian tujuan negara. Sebagai contoh kebijaka yang tidak efektif tersebut adalah kebijakan yang diterapkan di Belanda, Swis, Amerika, dengan pengurangan bunga hipotek (MID), keringanan pajak untuk pemilik rumah dengan pengurangan hipotek terhadap pajak penghasilan individu.  

Pada kasus yang lebih spesifik, laporan pengeluaran pajak harus menerangkan alasan di balik kesenjangan antara jumlah pengeluran pajak yang teregister dan yang diestimasi. Sebagai contoh, Argentina, Austria, dan India yang mengkalkulasi biaya ekonomi melalui pengeluaran pajak akan terlihat lebih besar. Sebaliknya, di Irlandia, jumlah pengeluaran pajak direview secara tahunan untuk memastikan bahwa hal tersebut sejalan dengan tujuan awal dan diperkirakan apakah kebijakan akan diganti. Di Belanda, setiap skema harus dinilai setiap 7 tahun. Laporan harus dilakukan secara periodik, dalam bentuk rangkuman evaluasi tahunan dan perencanaan untuk evaluasi tahun berikutnya. 

Tendensi pengelakan pajak dapat terjadi dan mempengaruhi pola pembelian rumah serta pengambilan kredit yang lebih besar untuk kebutuhan perencanaan pajak, namun tidak berkomitmen untuk memiliki rumah (Hilber dan Turner, 2014). 

Lebih jauh, pemerintah telah menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan penerimaan dan pengeluaran. Kebijakan pengeluaran dapat dilakuakn dalam bentuk pengeluaran langsung (transfer kas) atau tidak langsung (transfer non kas). Salah satu bentuk pengeluaran tidak langsung adalah melalui pengurangan pada kewajiban pajak yang muncul dari keberadaan atas perbedaan perlakuan dengan ketentuan umum. 

Menurut Asessment of Tax Expenditure Reporting di G20 dan OECD Economic 2018, negara yang maju dalam pelaporan pengeluaran pajak adalah Australia, Austria, Kanada, Prancis, Jerman, dan Itali. Sebagai tambahan, ada pula Belanda, Korea, Swedia yang dianggap sebagai negara dengan tata kelola yang baik dari segi administrasi fiskal. Namun, masih banyak yang perlu dikembangkan pada aspek-aspek spesifik laporan. Sebagai contoh, Austria dan Jerman harus meningkatkan pembahasan terkait benchmark. Begitu pula negara lain harus memperluas kerangka waktu pelaporan dengan memasukkan perbandingan data ke belakang (Italia) atau perencanaan ke depan (Belgia dan Prancis). Laporan pengeluaran pajak Korea yang dilaporkan dianggap sangat detail dan komprehensif, namun masih harus memasukkan informasi tentang evaluasi. 

Pemerintah Indonesia harus berjuang untuk mengeluarkan beberapa fasilitas yang mendukung perekonomian, mendorong kemudahan bisnis, meningkatkan investasi, memotivasi industri domestik dan ekspor, serta mengurangi kemiskinan. Kebijakan pengeluaran pajak atau sering disebut dengan pengurangan kewajiban pajak yang diberikan kepada dunia bisnis, setara dengan pengeluaran negara yang digunakan untuk mendorong ekonomi. 

Sejak tahun 2018. pemerintah telah menerbitkan laporan pengeluaran pajak untuk periode 2016 hingga 2018. Laporan pengeluaran pajak adalah prioritas, sejalan dengan permintaan atas transparansi fiskal. Di Indonesia, laporan pengeluaran pajak termasuk jenis pajak yang diatur oleh pemerintah pusat seperti PPN, PPnBM, PPh, dan Bea Masuk serta Cukai. Metode untuk mengestimasi jumlah pengeluaran pajak adalah metode penerimaan yang hilang, dihitung melalui perbedaan antara potensi penerimaan pajak yang diperoleh tanpa pengeluaran pajak disandingkan dengan penerimaan pajak dengan adanya pengeluaran pajak (fiskal.kemenkeu.go.id,2019).

Terlebih, kontribusi terbesar dari pengeluaran pajak (sekitar 80%) berasal dari PPN dan PPnBM. Sementara itu, sektor yang memperoleh fasilitas terbesar adalah sektor finansial, diikuti oleh pertanian dan perikanan, jasa transportasi serta industri manufaktur. Dalam kaitannya dengan komitmen pemerintah untuk tranparansi fiskal, laporan pengeluaran pajak akan dipublikasi secara periodik setiap tahun. 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.