Industri Indonesia Mirip Tukang Jahit
Pemerintah akan terus mendorong dan memprioritaskan investasi industri hulu. Selain bisa mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku, pengembangan investasi hulu juga bisa memenuhi kebutuhan industri di sektor lain. Jika 30 tahun lalu kita fokus membangun industri pertanian dan sektor pendukungnya, kini saatnya kita tinjau cetak biru perindustrian. Ke depan, penguatan dan investasi industri hulu menjadi fokus utama.
Selama ini industri di Indonesia mirip tukang jahit. Barang-barang mentah Indonesia dijual ke luar negeri. Sebaliknya, Industri lebih banyak mengimpor barang setengah jadi. Sebagai contoh, setiap tahun Indonesia mengekspor 1,3 juta ton nafta (bahan baku industri petrokimia untuk pembuatan olefin dan pelarut). Padahal, salah satu perusahaan di bidang petrokimia mengimpor 1,6 juta ton nafta yang sudah diolah per tahun. Ini kan ironis.
Dalam lima tahun ke depan, mayoritas ekspor diupayakan berbentuk barang setengah jadi. Jadi, ada added value (nilai tambah). Tidak dengan sistem ijon yang menyebabkan harga menjadi sangat rendah.
Kita mengakui manfaat pengembangan industri hulu sangat besar. Salah satunya adalah mengurangi ketergantungan industri domestik pada bahan baku impor. Apalagi mayoritas impor kita adalah untuk keperluan bahan baku industri dalam negeri. Banyak risiko dan konsekuensi negatif yang harus ditanggung, seperti saat rupiah melemah.
Jika dibangun industri hulu petrokimia dengan kapasitas produksi 330 ribu barel per hari, kebutuhan industri di 42 sektor lain akan bisa dipenuhi. Juga, banyak tenaga kerja yang terserap. Mulai dari industri berat sampai marketing di tingkat UKM (usaha kecil dan menengah). Jumlahnya bisa 930 ribu orang.
Tapi, harus diakui investasi industri hulu sektor petrokimia sangat besar. Dana yang diperlukan bisa mencapai 4,45 miliar dolar AS. Saya sudah bicara pada Dirut Pertamina dan Menteri ESDM. Kami targetkan segera memulai pembanguan dua industri refinery di Bojanegara, Banten dan Tuban, Jatim.
Bila terwujud, proyek itu terobosan bagi Pertamina untuk memiliki refinery kelas dunia. Sebab, pabrik di Balongan saat ini hanya berkapasitas produksi 12S ribu barel per hari. Kita memperkirakan pengerjaan konstruksi proyek tersebut makan waktu 4-5 tahun. Memang butuh waktu cukup lama. Pembangunan proyek power plant juga butuh waktu 42 bulan.
Paket insentif pajak penghasilan yang telah diumumkan pemerintah diharapkan dapat mendongkrak daya saing industri sekaligus merangsang investasi baru.
Oleh M Lutfi
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
Sumber : Rakyat Merdeka
- 91 kali dilihat