Hari Pajak, Momen Pengungkit Semangat

Oleh: Dewi Susanti, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Dalam sebuah buku --maaf, redaksi tidak sebutkan judulnya-- Mark Manson (2019) bercerita tentang kisah heroik Witold Pilecki. Pilecki adalah seorang perwira Polandia gagah berani, pahlawan yang menyusupkan harapan ke dalam jiwa-jiwa putus asa yang meringkuk di “neraka” Auschwitz. Kamp konsentrasi misterius yang terletak di kota Oswiecim, wilayah selatan Polandia itu dibangun oleh pemerintah Jerman sebagai tempat pembantaian massal.
Tidak seperti penjara pada umumnya, perlakuan Auschwitz terhadap para tawanan sungguh di luar nalar. Mereka membangun sebuah ruangan khusus genosida dan menggilir tawanan untuk menyerahkan nyawa. Selain kerja paksa dan siksaan yang tanpa henti, di sini yang bisa dilakukan hanyalah menunggu waktu untuk mati. Tak ada satu pun yang berani atau lebih tepatnya nekad menawarkan sebuah ide gila penyelamatan, sampai datangnya Pilecki. Dunia bahkan tidak percaya bagaimana caranya perwira Polandia itu bisa melakukan rekayasa jaringan intelijen di dalam penjara Jerman. Bagaimana Pilecki bisa senekad itu menyelipkan pesan-pesan dalam keranjang cucian, membangun radio transistor dengan memanfaatkan suku cadang dan baterai curian, menciptakan rantai penyelundupan makanan, obat, dan pakaian, hingga mengirimkan taktik penyerangan kepada Secret Polish Army (Tentara Rahasia Polandia) di Warsawa. Tak satu pun dapat membayangkan.
Apa sebenarnya yang diharapkan Witold Pilecki? Apa yang telah dunia berikan hingga ia berbuat seperti itu? Kisah-kisah heroik seperti ini menginspirasi kita. Bahwa dalam keadaan paling buruk sekali pun, kita tak boleh kehilangan asa. Setiap jiwa membutuhkan harapan untuk bisa hidup. Untuk mengubah semua hal menjadi lebih baik.
Harapan inilah yang dirawat oleh sebuah institusi bernama Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Berbuat, mencari jalan, dan terus bergerak menuju situasi yang lebih baik.
Pajak menjadi variabel yang utama untuk mengisi penerimaan negara dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Lebih dari 70% APBN Indonesia dibiayai dengan pajak. Kenyataan ini membutuhkan konsekuensi bahwa ibarat tubuh manusia, pajak adalah tulang punggung. Karena itu ia harus kokoh agar dapat menjadi penopang organ lainnya. Bila kita enggan menjaganya, maka ia akan rapuh, lunglai dan perlahan akan menimbulkan kelumpuhan pada setiap sendi negeri ini. Apa yang akan terjadi apabila pajak tidak terus-menerus kita perkuat? Apa yang akan terjadi dengan upaya distribusi pendapatan yang menyebabkan kesenjangan?
Sebab sedemikian penting itulah, maka kita perlu sebuah momentum untuk menggemuruhkan jiwa patriotisme hingga muncul kesadaran bahwa kelancaran sebuah pembangunan tak lepas dari andil setiap warganya. Dan kebesaran sebuah bangsa, termanifestasi dari sikap peduli dan kegotong-royongan yang dilakukan secara sadar oleh rakyatnya. Hari pajak adalah sebuah pilar penting penyangga untuk dapat memperingati kehadiran pajak di negeri ini. Sekaligus penggugah agar masyarakat peduli dan turut mendukung jalannya pemerintahan. Pajak juga merupakan bukti kegotong-royongan. Dengan membayar pajak, secara tidak langsung kita ikut membantu meringankan beban saudara kita di belahan Indonesia yang lain. Dengan membayar pajak, kita telah membuktikan sikap kesetiaan, sekaligus integritas rakyat kepada negaranya.
Seperti yang diungkapkan oleh sastrawan Pramoedya Ananta Toer, kita perlu untuk menapaktilasi sebuah perjalanan sejarah, agar tidak tersesat dan menjadi orang asing di negeri sendiri. Sejarah perjalanan organisasi perpajakan di Indonesia, berada pada masa awal proses proklamasi kemerdekaan. Istilah pajak dalam peraturan perundang-undangan, muncul saat disebut dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berlangsung pada tanggal 10-17 Juli 1945. Saat pembahasan terkait keuangan dan ekonomi, Ketua BPUPKI Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat mengatakan, harus ada aturan hukum soal pungutan pajak. Kala itu usulan soal pajak disampaikan pada tanggal 14 Juli 1945.
Kemudian kata "pajak" akhirnya muncul dalam Rancangan Kedua UUD pada Pasal 23 butir kedua yang ada di Bab VI. Pasal 23 butir kedua berbunyi "Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-Undang". Sejak itu, pembahasan pajak terus bergulir dan mendapat perhatian khusus hingga akhirnya dimasukkan sebagai sumber penerimaan utama negara pada 16 Juli 1945.
Penetapan 14 Juli sebagai Hari Pajak diputuskan melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-313/PJ/2017 tanggal 22 Desember 2017. Tanggal 14 Juli dipilih atas dasar pada hari itu munculnya pertama kali pembahasan soal pajak dalam rapat BPUPKI. Hari Pajak mulai diperingati mulai tahun 2018 lalu.
Dari jejak sejarah kita bisa melihat. Betapa para bapak pendiri bangsa dahulu, begitu gigihnya mengupayakan berbagai rumusan demi terciptanya sebuah bangsa yang berdaulat, sejahtera, adil, dan makmur. Maka, selaras dengan itu, demi mewujudkan berlaksa cita-cita mulia, DJP terus berupaya melakukan penyempurnaan agar DJP menjadi institusi perpajakan yang kuat, kredibel dan akuntabel untuk menghasilkan penerimaan negara yang optimal. Berbagai perubahan dilakukan secara menyeluruh, termasuk di dalamnya adalah pembenahan administrasi perpajakan, perbaikan regulasi, dan peningkatan basis perpajakan. Salah satu agenda penyempurnaan itu adalah, dilakukannya reformasi birokrasi oleh pemerintah. Dan Reformasi Perpajakan yang dilakukan dalam rentang tahun 2002 sampai dengan saat ini, merupakan manifestasi dari cita-cita reformasi birokrasi tersebut. Perubahan adalah sebuah keniscayaan. Perubahan diri adalah sebuah keharusan. Adanya dinamika perubahan di tengah masyarakat menuntut DJP untuk meningkatkan kapasitasnya dan memperbaiki sistem perpajakan Indonesia.
DJP tetap menggeliat demi pembangunan berkelanjutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Meski kebijakan efisiensi membawa dampak dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan, layanan kesehatan, juga pembangunan infrasturuktur. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus siap dalam menghadapi segala perubahan. DJP terus-menerus melakukan penguatan baik secara internal maupun eksternal. Proses reformasi masih terus bergulir. Bergerak ke arah yang lebih baik. Menjadi jangkar untuk bergerak maju.
DJP sungguh-sungguh meyakini, bahwa keberhasilan reformasi perpajakan tak lepas dari dukungan semua pihak. Perjuangan masihlah panjang. Maka di sela perjalanan itu, sekali lagi, kita butuh sebuah momen sebagai pengungkit semangatnya. Heroisme bukanlah sekedar memiliki nyali untuk melakukan manuver. Tapi ia adalah kemampuan untuk memunculkan harapan. Ia mampu memantik cahaya, memberikan kemungkinan dan menunjukkan kepada kita sebuah dunia yang lebih baik. Keberadaan Hari Pajak, selain merupakan penghormatan terhadap sejarah bangsa, ia juga berfungsi sebagai pengobar agar sumbu perjuangan tak mudah padam. Selalu, gemuruhkan jiwa patriotisme dalam nurani, agar kita tak mudah lelah mencintai negeri ini.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 67 kali dilihat