G20 Sebagai Momentum Indonesia

Oleh: Endra Wijaya Pinatih, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
“With great power come great responsibility” ujar Ben Parker, kakek Peter Parker Sang Manusia Laba-Laba. Frasa tersebut muncul pertama kali dalam komik Spiderman “Amazing Fantasy” tahun 1962. Frasa itu sudah sering dikutip dalam berbagai kesempatan.
Kenyataannya bukan Ben Parker-lah yang mengatakan frasa itu pertama kali, melainkan J. Hector Fezandie tahun 1894 saat kelulusannya di The Steven Institute of Technology. Tepatnya dalam karya tulisnya “The Moral Influence of a Scientific Education”.
Awalnya frasa itu lebih banyak digunakan untuk menggambarkan kekuasaan politik, tetapi tatkala diucapkan dalam sebuah film superhero, mendadak frasa ini punya arti yang lebih membumi.
Indonesia Bagian G20
Sekitar dua minggu yang lalu, Presiden Joko Widodo menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Group of Twenty (KTT G20) di La Nuvola, Roma, Italia. Dalam kesempatan itu, bersama dengan Presiden Dewan Eropa, Charles Michel, Presiden yang akrab disapa Jokowi itu banyak membahas isu dunia.
G20 atau Group of Twenty merupakan sebuah forum utama kerja sama ekonomi internasional yang beranggotakan negara-negara dengan perekonomian besar di dunia terdiri dari 19 negara dan satu lembaga Uni Eropa.
Awalnya G20 dibentuk dengan tujuan merundingkan kebijakan-kebijakan dalam rangka memanifestasikan stabilitas keuangan internasional. Indonesia menjadi anggota G20 sejak forum internasional tersebut berdiri pada tahun 1999.
Kondisi Indonesia saat itu dirasa tepat lantaran sedang berada dalam tahap pemulihan setelah krisis ekonomi 1997-1998 dan dinilai sebagai negara ekonomi berkembang yang memiliki ukuran dan potensi menjanjikan di kawasan Asia. Hal itulah yang menyebabkan Indonesia menjadi representasi kelompok negara berkembang, kawasan Asia Tenggara, dan dunia Islam.
Forum G20 terbagi menjadi dua jalur. Jalur yang pertama disebut Finance Track yang membincangkan isu-isu di bidang ekonomi, keuangan, fiscal, dan moneter. Jalur lainnya disebut Sherpa Track yang mendiskusikan tentang ekonomi keuangan seperti misalnya energi, pembangunan, pariwisata, ekonomi digital, pendidikan, tenaga kerja, pertanian, perdagangan, investasi, industri, kesehatan, anti korupsi, lingkungan, dan perubahan iklim.
Mengupayakan Investasi Rendah Karbon
Selepas negeri pizza, Indonesia akan menjadi tuan rumah sekaligus Presidensi KTT G20 tahun mendatang. Sedikitnya, ada tujuh isu keuangan global terkini yang akan dibahas dalam pertemuan yang mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”. Lewat tema ini, Indonesia ingin mengajak seluruh dunia untuk bahu-membahu, saling memberikan kontribusi untuk pulih bersama serta tumbuh lebih kuat dan berkelanjutan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa perubahan iklim menjadi isu penting yang krusial untuk didiskusikan di dalam KTT G20 perihal bagaimana semua negara dapat menyelenggarakan komitmen sesuai dengan Perjanjian Paris.
Perjanjian Paris merupakan perjanjian dalam konvensi kerangka kerja perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) mengenai mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan.
Selain itu, transisi Indonesia dan negara-negara lain untuk mencapai tujuan rendah karbon (low carbon) wajib memenuhi syarat, yaitu harus terjangkau, adil, dan tersedia. Artinya, penanggulangan dampak perubahan iklim di dunia tidak hanya perlu dilakukan dengan cara yang bisa menurunkan emisi karbon, tetapi juga menggunakan pendanaan yang terjangkau bagi semua negara.
Hal itu fundamental sebab semua negara pada akhirnya bisa saja berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon. Namun, jika negara-negara tersebut tidak dapat membayar atau tidak terjangkau, maka konsekuensinya, komitmen untuk penurunan karbondioksida muskil untuk bisa dieksekusi.
Dukungan di bidang fiskal untuk menciptakan transformasi ekonomi menuju ekonomi hijau menjadi kunci. Perubahan iklim menjadi isu penting yang akan dibahas di KTT G20. Hal ini sejalan dengan upaya pengenaan pajak karbon dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dengan diperkenalkannya pajak karbon, Indonesia akan menjadi negara pertama yang akan mengimplementasikannya terlebih dahulu. Indonesia menjadi penggerak pertama pajak karbon di dunia, utamanya dari negara kekuatan ekonomi baru.
Tujuan diterapkan pajak karbon ini adalah agar perilaku-pelaku ekonomi beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Ihwal ini seirama dengan upaya pemerintah untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.
Pengaplikasian pajak karbon dan pengembangan pasar karbon menjadi tonggak pencapaian yang vital menuju perekonomian Indonesia yang berkelanjutan, serta menjadi bukti keseriusan Indonesia dalam agenda pengendalian global. Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan.
Momentum Indonesia untuk Menggerakkan
Ben Parker wafat tak lama seusai memberikan petuah penting tersebut. Peter Parker menyadari betapa beratnya pesan pamannya itu. Seperti halnya Peter, Indonesia juga terlanjur mendapatkan “kekuatan super” yakni tergabung dalam G20.
Momentum ini menjadi kekuatan sekaligus kesempatan Indonesia memperoleh manfaat sebagai penggerak utama. Makna penunjukan sebagai presidensi G20 membuktikan persepsi yang baik atas ketahanan (resiliensi) ekonomi Indonesia terhadap krisis.
Kekuatan ini mengakibatkan suara Indonesia akan terdengar. Indonesia akan berada dalam posisi strategis untuk mendorong pembahasan isu-isu mendesak yang dihadapi oleh negara berkembang pada forum internasional. Indonesia akan bertransformasi menjadi penentu arah kebijakan global, bukan pengikut dalam menuju transisi menuju pembangunan yang berkelanjutan.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
- 184 kali dilihat