Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan telah resmi diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2021. Undang-Undang yang sering disebut dengan UU HPP ini mengatur hal-hal dalam ruang lingkup Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Pajak Karbon, serta cukai dengan pemberlakuan kebijakan yang berbeda-beda.

Salah satu hal yang cukup banyak mendapat sorotan adalah kenaikan tarif PPN menjadi 11% (dari tarif 10% pada saat ini) mulai 1 April 2022 dan secara bertahap akan meningkat lagi menjadi 12% paling lambat mulai berlaku di Januari 2025. Belum lagi bergulir, sudah banyak pihak termasuk pengamat ekonomi yang mengeluarkan respona negatif atas kenaikan tarif PPN ini. Kebanyakan dari mereka beralasan bahwa kenaikan ini akan membebani masyarakat apalagi di tengah situasi pandemi yang masih melanda Indonesia. Kenaikan tarif PPN ini bahkan dikhawatirkan akan memacu inflasi menjadi semakin tinggi.

Nada positif justru datang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Harian YLKI Tulus Abadi (Merdeka.com) menyampaikan bahwa secara empirik, kenaikan tarif PPN tidak akan memengaruhi masyarakat untuk mengurangi konsumsi. Adanya jeda waktu pemberlakuan tarif baru PPN ini sejak berlakunya UU HPP juga cukup baik karena sudah cukup waktu untuk pemerintah menyosialisasikan hal ini. Enam bulan jeda tersebut bisa digunakan pemerintah untuk menyosialisasikan tarif baru PPN ini sekaligus meyakinkan masyarakat bahwa kenaikan tarif ini tidak akan berdampak buruk pada kondisi ekonomi Indonesia.

Kementerian Keuangan dalam berbagai kesempatan menyampaikan bahwa kenaikan tarif PPN ini tidak akan mengganggu proses pemulihan ekonomi. Justru peningkatan tarif PPN ini berpotensi meningkatkan penerimaan negara. Peningkatan penerimaan negara ini difokuskan untuk pemulihan ekonomi dan distribusi program sosial, bantuan sosial pemerintah, program vaksinasi, dan program lainnya untuk memulihkan perekonomian Indonesia yang terdampak pandemi Covid-19.

Tidak dapat dimungkiri bahwa Indonesia masih memerlukan banyak dana untuk pemulihan ekonomi akibat pandemi. Sempat ada secercah harapan ketika perlahan pandemi sepertinya akan pergi di penghujung tahun 2021 yang lalu. Namun, kenyataannya sekarang kasus baru Covid-19 semakin banyak ditemukan seiring dengan adanya varian baru Omicron. Pandemi yang sepertinya masih belum rela pergi dari Indonesia ini menjadi salah satu alasan pemerintah untuk memperkuat sumber penerimaan negara yang nantinya akan difokuskan untuk pemulihan ekonomi dan untuk memberikan subsidi kepada mayarakat yang terdampak pandemi.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang selama ini merumuskan kebijakan fiskal dan sektor keuangan meyakini bahwa dampak  kenaikan tarif PPN menjadi 11% terhadap inflasi akan terbatas atau minimal. Hal ini disampaikan langsung oleh Ketua BKF Febrio Kacaribu. Menurutnya, sejauh ini laju inflasi masih sangat terkendali.

Tarif PPN di Indonesia sendiri saat ini dinilai masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Rata-rata tarif PPN global adalah 15%. Rata-rata tarif PPN negara-negara yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)  adalah 19%. Rata-rata tarif PPN negara-negara BRICS (Brazil, Russia, India, China dan South Africa) adalah 17%. Namun, jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, tarif PPN Indonesia boleh dibilang cukup tinggi. Tercatat hanya Filipina yang tarif PPN-nya di atas Indonesia, yaitu 12%.

Hal yang perlu dicermati adalah bahwa saat ini Indonesia masih berjuang untuk bisa meningkatkan rasio pajak (tax ratio). Rasio pajak merupakan salah satu cara yang digunakan untuk mengukur kinerja pengumpulan penerimaan pajak di suatu negara, yaitu melalui perbandingan penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB). Pada tahun 2019, sebelum pandemi, rasio pajak Indonesia  ada di angka 11,9%. Angka ini mengalami penurunan cukup signifikan di tahun 2020 menjadi 8,33%. Pada tahun 2021, rasio pajak sedikit mengalami kenaikan menjadi 9,11%. Angka ini masih jauh jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Negara-negara tetangga bahkan memiliki rasio pajak di atas 12% (Malaysia 12,5%, Singapura 13,2%, Filipina 18,2%).

Kondisi rendahnya rasio pajak ini semakin diperparah dengan kondisi defisit anggaran serta rasio utang negara terhadap PDB yang mencapai lebih dari 41% pada tahun 2021. Kondisi ini yang mendapat perhatian serius pemerintah untuk merespons defisit anggaran dan mengembalikan rasio utang paling tidak ke angka 30%. Untuk melakukan ini, Indonesia memerlukan peningkatan penerimaan negara dan pajak menjadi harapan terbesar karena lebih dari 70% penerimaan negara bersumber dari pajak.

Saat ini jenis pajak yang menjadi penyumbang penerimaan terbesar adalah PPN dan diikuti PPh Badan. Dari hasil penelitian BKF pada negara berpendapatan menengah, pajak langsung seperti PPh Badan memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Di lain sisi, pajak tidak langsung seperti PPN memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini yang menjadi salah satu pertimbangan perlunya menaikkan tarif PPN.

Kenaikan tarif PPN ini dilakukan setelah sebelumnya (dan masih berlangsung sampai sekarang) pemerintah telah memberikan dukungan untuk rakyat berupa subsidi dan bantuan sosial. Sebut saja subsidi bahan bakar minyak, subsidi elpiji, bantuan sosial, bantuan operasional sekolah, kartu sembako, program prakerja, bantuan produktif usaha mikro, jaminan kesahatan nasional, dan lain-lain.

Selama pandemi Covid-19, insentif pajak juga digelontorkan, seperti insentif pajak untuk tenaga kesehatan, pembebasan pajak untuk vaksin dan alat-alat kesehatan, PPN ditanggung pemerintah sektor perumahan, dan diskon pajak pembelian mobil. Yang terbaru adalah penetapan batas omzet tidak dikenai PPh untuk penghasilan sampai dengan Rp500 juta setahun, bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menghitung tarif PPh menggunakan tarif 0,5% sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018.

Jika diselisik lebih mendalam, menaikkan tarif PPN sudah mencerminkan keadilan, terlebih setelah banyaknya kebijakan bantuan sosial dan insentif pajak yang telah diberlakukan seperti dijelaskan sebelumnya. Negara tentunya perlu untuk meningkatkan penerimaan yang hasilnya kembali akan dinikmati oleh masyarakat luas. Perlu dicatat juga bahwa barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa pendidikan, dan beberapa jenis jasa lainnya dibebaskan dari pengenan PPN, sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tidak akan terdampak kenaikan tarif PPN ini.

Akhirnya, sebuah kalimat legendaris dari John Fitzgerald Kennedy bisa menjadi penyemangat bangsa untuk memberikan sumbangsih kepada negeri ini, khususnya dalam mendukung negeri ini pulih dari pandemi, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tetapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu.”

Semoga Indonesia dapat segera pulih dari pandemi ini dan seluruh warga negaranya diberikan kesehatan untuk bersama-sama saling bahu membahu mewujudkan pemulihan ekonomi negara menuju masyarakat yang makmur dan sejahtera.

 

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.