Oleh: Muhamad Satya Abdul Aziz, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Tanggal 20 Mei 1908, 117 tahun silam, menandai tonggak penting dalam sejarah Indonesia: lahirnya Boedi Oetomo, organisasi modern pertama yang menjadi simbol kebangkitan nasional. Gerakan ini, yang diprakarsai oleh para pelajar STOVIA seperti dr. Soetomo dan terinspirasi oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo, menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan, kebudayaan, dan persatuan bangsa dalam meraih kemandirian bangsa. Namun, di balik cita-cita luhur ini, terdapat fondasi tak kasatmata yang memungkinkan perjuangan itu berlangsung: peran negara dan pembiayaan publik — termasuk melalui pajak.

Boedi Oetomo lahir dari semangat memperjuangkan kemajuan bangsa melalui jalur damai, dengan fokus pada pendidikan, kebudayaan, dan kesejahteraan rakyat. Mereka mendirikan sekolah, memberikan beasiswa, dan menyuarakan pentingnya kemajuan moral dan intelektual bangsa Indonesia.

Namun, tak dapat dimungkiri, pendidikan bukan sesuatu yang bisa tumbuh tanpa dukungan sistemik. Bahkan pada masa kolonial, terbukanya akses bagi bumiputra ke sekolah kedokteran STOVIA adalah hasil dari Kebijakan Etis (Politik Etis) Belanda, yang berangkat dari kesadaran bahwa kemajuan pribumi harus didukung melalui pendidikan, irigasi, dan transmigrasi — semua program yang dibiayai dari penerimaan negara, termasuk hasil pungutan pajak rakyat Hindia Belanda.

Cita-cita yang diusung Boedi Oetomo menunjukkan satu hal: kemajuan bangsa adalah tanggung jawab bersama. Di masa kini, semangat itu diterjemahkan melalui partisipasi aktif warga negara, salah satunya dengan membayar pajak. Seperti halnya anggota Boedi Oetomo yang berkontribusi membangun pendidikan lewat yayasan beasiswa (studiefonds), masyarakat kini ikut membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur melalui pajak yang mereka bayarkan.

Pajak bukan sekadar kewajiban administratif. Ia adalah perwujudan solidaritas sosial: yang mampu membantu yang belum mampu; yang saat ini berhasil, ikut mendorong masa depan yang lebih baik bagi generasi berikutnya. Seperti Boedi Oetomo menggalang dana untuk pelajar miskin, negara kini menggunakan dana pajak untuk program Kartu Indonesia Pintar (KIP), beasiswa, layanan kesehatan, hingga pembangunan desa.

Baca juga:
Hari Kebangkitan Nasional: Membangun Indonesia Lewat Pajak

Boedi Oetomo memang tidak langsung menuntut kemerdekaan, namun semangatnya membuka jalan bagi tumbuhnya organisasi-organisasi yang lebih tegas menolak kolonialisme. Mereka menyadarkan rakyat bahwa kita adalah satu bangsa, satu nasib, satu tujuan. Kesadaran ini adalah dasar terbentuknya negara Indonesia — dan membangun negara memerlukan institusi yang kuat, pelayanan publik yang adil, dan pembangunan yang merata.

Semua itu membutuhkan sumber daya. Dan di sinilah pajak berperan vital. Pajak menjadi tulang punggung pembangunan nasional. Melalui pajak, negara bisa melanjutkan cita-cita Boedi Oetomo: memajukan pendidikan, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menjaga kebudayaan, dan membangun masa depan yang berdaulat.

Jika dulu nasionalisme diwujudkan lewat pendirian organisasi, perjuangan gagasan, dan pengorbanan fisik, kini nasionalisme bisa diwujudkan melalui kepatuhan pajak, partisipasi aktif dalam pembangunan, dan menjaga integritas dalam kehidupan berbangsa.

Semangat yang digaungkan Boedi Oetomo — kemajuan tanpa harus menunggu negara asing, kemandirian melalui pendidikan, dan solidaritas melalui kontribusi bersama — sejatinya hidup kembali dalam sistem pajak modern. Ketika masyarakat membayar pajak, mereka tidak sekadar memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga meneruskan api perjuangan kebangsaan yang dinyalakan lebih dari seabad lalu.

Boedi Oetomo mengajarkan bahwa bangsa besar tumbuh dari rakyat yang sadar akan jati diri dan tanggung jawabnya. Dalam konteks Indonesia modern, pajak adalah sarana konkret meneruskan semangat kebangkitan nasional: membangun negeri, menyatukan kekuatan, dan menciptakan masa depan yang lebih adil dan sejahtera.

Mari bangkit bersama, melalui peran aktif sebagai warga negara — dimulai dari kesadaran membayar pajak.

 

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.