*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
Sketsa Bangsa di Satu Abad Sumpah Pemuda

Oleh: Edmalia Rohmani, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Satu dekade lagi, tepat pada tanggal 28 Oktober, Indonesia akan merayakan satu abad Sumpah Pemuda. Bagaimanakah gambaran negara kita di masa itu?
Bonus Demografi dan Revolusi Industri 4.0
Menurut data perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), akan terjadi lonjakan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) hingga mencapai 70% dari penduduk Indonesia pada tahun 2025-2035. Hal ini tercermin dari rasio ketergantungan yang diprediksi akan mencapai angka terendah yaitu 44%. Artinya, pada masa tersebut, 44 orang berusia nonproduktif (anak-anak di bawah 15 tahun dan lansia 65 tahun ke atas) akan ditopang kehidupannya oleh 100 orang berusia produktif. Sederhananya, dalam satu rumah berisi empat orang, akan ada tiga orang yang bekerja menanggung satu orang yang tidak bekerja.
Kondisi ini tidak terjadi terus-menerus dan hanya terjadi sekali dalam perjalanan sebuah bangsa. Ini tentu saja sebuah kesempatan emas apabila kita mampu meraih momentum tersebut. Tingginya jumlah usia produktif akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB). Apabila kualitas sumber daya manusia Indonesia mampu memenuhi ekspektasi pasar, pendapatan per kapita akan turut meningkat dan angka pengangguran akan menurun.
Di samping Bank Dunia, banyak lembaga riset internasional memperkirakan perekonomian Indonesia tahun 2030 tumbuh tinggi, misalnya Mckenzie, Pricewaterhouse Coopers, dan Boston Consulting Group. PricewaterhouseCoopers bahkan memprediksi Indonesia akan menempati peringkat kelima negara terkuat di dunia dengan nilai PDB (Produk Domestik Bruto) yang diukur berdasarkan paritas daya beli (GDP at PPP) mencapai US$ 5,4 triliun.
Pada masa itu, Indonesia diprediksi memerlukan sekitar 17 juta tenaga kerja yang menguasaii keahlian di bidang teknologi digital. Hal ini adalah efek dari dimasukinya era revolusi industri 4.0 yang ditopang oleh lima teknologi utama yaitu Internet of Things (IoT), Artificial Intelligence (AI), Human–Machine Interface, teknologi robotik dan sensor, serta teknologi 3D Printing.
Siapakah pemegang kendali pada saat itu? Jawabannya adalah generasi muda yang saat ini masih berstatus sebagai pelajar dan mahasiswa. Agar mereka dapat menjadi pemenang dalam kompetisi sengit tersebut, perlu adanya kesesuaian antara pendidikan dan keahlian yang dimiliki dengan kebutuhan industri berbasis teknologi digital.
Dalam hal ini kita boleh merasa optimis sebab berdasarkan Global Competitiveness Report 2017, posisi daya saing Indonesia berada di peringkat ke-36 dari 100 negara. Pemerintah juga telah merancang Making Indonesia 4.0 sebagai sebuah peta jalan yang terintegrasi untuk mengimplementasikan sejumlah strategi dalam memasuki era baru ini. Langkah dasar yang sudah diawali oleh Indonesia yakni meningkatkan kompetensi sumber daya manusia melalui program link and match antara pendidikan dengan industri (siaran pers Kementerian Perindustrian, 2018).
Tantangan Perpajakan
Dari gambaran bonus demografi, optimisme, dan peluang tersebut, ada satu hal yang masih menjadi tantangan yaitu rasio pajak yang cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir. Padahal, dengan potensi ekonomi yang begitu besar, Dana Moneter Internasional (IMF) merekomendasikan seharusnya Indonesia memiliki level rasio pajak 15%.
Selain rasio pajak yang rendah, saat ini terdapat anomali kondisi perpajakan di mana kontribusi Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) sangat rendah bila dibandingkan dengan PPh Badan. Dalam sebuah wawancara dengan merdeka.com, Darussalam, pengamat perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center menyebutkan bahwa penerimaan PPh OP di luar PPh Pasal 21 hanya 0,7% dari total penerimaan pajak tahun 2017. Hal ini berbeda dengan kondisi Italia dan Belgia yang persentase PPh OP-nya berkali lipat melampaui persentase PPh Badan.
Artinya, penanaman kesadaran pajak kepada individu calon pelaku ekonomi Indonesia di masa depan menjadi sangat penting. Jangan sampai terjadi kondisi di mana kelak negara kita memiliki PDB yang besar dengan perekonomian terkuat di dunia, tetapi tidak juga mampu mengumpulkan pajak dengan optimal. Padahal, penerimaan pajak di saat itu mempunyai potensi menjadi satu-satunya penopang pembangunan negara.
Generasi muda Indonesia di masa depan selain dituntut untuk melek teknologi juga seharusnya memiliki kesadaran pajak yang tinggi. Hal ini ditandai dengan pemahaman bahwa membayar pajak merupakan bentuk rela berkorban dan kemauan untuk bersama-sama membangun negeri. Tumbuhnya kesadaran pajak akan memberikan pandangan bahwa penghindaran pajak secara ilegal adalah sebuah tindakan tercela dan merupakan bentuk lain dari korupsi. Dengan kesadaran pajak sejak dini, warganegara yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif akan mendaftarkan diri untuk ber-NPWP dan memenuhi kewajiban perpajakannya secara sukarela.
Proses reformasi perpajakan yang bergulir sejak tahun 2017 hingga 2020 nanti, hendaknya mampu membenahi wajah otoritas pajak negara kita di masa depan dan turut mendongkrak kepatuhan wajib pajak. Program inklusi pajak di dunia pendidikan yang dirintis sejak 2014, kiranya dapat memberikan hasil nyata dalam menumbuhkan kesadaran pajak pada generasi muda. Sehingga tepat satu abad perayaan Sumpah Pemuda nanti, rasa cinta tanah air itu benar-benar teresapi maknanya dan bukan sekadar seremoni.(*)
- 237 kali dilihat