*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.
Sinergi, Sigeret, dan Simalakama
Oleh: Hepi Cahyadi, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Berdasarkan Keputusan Bersama antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) nomor KEP-195/PJ/2018 dan KEP-181/BC/2018 tentang petunjuk pelaksanaan Joint Analysis antara DJP dan DJBC Terhadap Wajib Pajak, meliputi objek ekspor, Impor, cukai dan Penerima fasilitas pajak, kepabeanan dan cukai. Kegiatan sinergi antar eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan ini mulai digagas tahun 2018 ini, dan menjadi Indikator Kerja Utama (IKU) dari Wakil Menteri Keuangan. Tanpa keputusan bersama pun seharusnya kerjasama antar anggota di bawah satu atap kementerian yang sama wajib dilaksanakan. Antara DJP dan DJBC memiliki karakter dan fungsi yang sama sebagai tulang punggung penerimaan negara. Penulis meyakini bahwa sinergi ini akan berdampak positif terhadap terciptanya sumber data yang valid dan kredibel.
KPP Pratama Sidoarjo Selatan, merupakan salah satu unit yang ditunjuk sebagai tempat pelaksanaan joint analysis. Salah satu sektor andalan KPP Pratama Sidoarjo Selatan Industri Hasil Tembakau (IHT)/rokok. Kegiatan joint analysis industri rokok meliputi: Pertama, melakukan analisa dan pencocokan data pesanan pita cukai yang di-crosscheck dengan data faktur pajak dari sisi PPN dan peredaran usaha dari sisi PPh. Penggalian potensi pajak dari penebusan pita cukai termasuk data konkret yang didukung dokumen yang valid. Kedua, melakukan kegiatan gabungan untuk edukasi/penyuluhan kepada pelaku industri rokok. Semua WP dengan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) industri rokok diundang untuk dibimbing pengetahuannya seputar aspek perpajakan IHT. Ketiga, melakukan advisory visit atau kunjugan kerja bersama untuk melihat secara langsung proses bisnis industri rokok yang telah mengekspor produknya ke Malaysia, Singapura, Filipina dan sejumlah kawasan berikat seperti pulau Bintan dan Batam.
Melihat keseriusan aparat DJP-DJBC yang bersinergi, diharapkan memberi motivasi baru kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Ketika dua instansi bersinergi dalam mengelola data cukai dan pajak rokok, maka wajib pajak akan merasa percuma merekayasa data PPN dan PPh jika data pemesanan pita cukai telah dikantongi oleh petugas pajak.
Regulasi rokok ibarat dua mata pisau yang menjebak dalam situasi dilematis. Satu sisi pemerintah diuntungkan dengan adanya penerimaan Negara dari Cukai dan PPN. Membuka lapangan kerja industri rokok mulai dari buruh linting, tenaga pemasaran, devisa dari ekspor serta petani tembakau. Sesuai RAPBN 2018, pemerintah mematok target penerimaan cukai sebesar Rp155,4 triliun, naik 1,5% dari target dalam APBN-P 2017 yang sebesar Rp153,16 triliun. Jumlah itu terdiri dari penerimaan cukai hasil tembakau atau cukai rokok sebesar Rp148,23 triliun yang naik 0,5% dari target dalam APBN-P 2017 sebesar Rp147,49 triliun.
Akan tetapi disisi lain pemerintah juga menanggung dampak negative merokok yang meningkatkan anggaran kesehatan. Sekjen Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr. Bahtiar Husain, Sp.P, MH, Kes, menyatakan cukai rokok yang diterima oleh negara tidak sebanding dengan biaya kesehatan yang harus dibayar oleh negara dan masyarakat akibat rokok. Saat ini negara-negara di dunia sedang berperang mengurangi pengaruh buruk rokok dengan mengurangi iklan di muka umum, contoh kongkrit sekarang tak ada lagi iklan Marlboro di buritan mobil formula 1. Saat ini anda akan sulit menemukan iklan rokok atau bahkan tak akan menjumpainya jika anda benkunjung ke kota mekkah, Saudi Arabia, atau Singapura yang telah ketat memberlakukan regulasi rokok di tempat umum. Bandingkan dengan iklan-iklan rokok negeri ini yang bertebaran dari jalan-jalan pelosok desa hingga terpampang vulgar di bandara-bandara interasional Indonesia.
Faktanya Pendapatan negara dari cukai rokok, ternyata tak sebanding dengan nilai kerugian yang ditimbulkan karena merokok. Pada 2012, pendapatan negara dari cukai, hanya sebesar Rp55 triliun. Namun, kerugiannya mencapai Rp254,41 triliun. Kerugian tersebut, rinciannya adalah uang yang dikeluarkan untuk pembelian rokok Rp138 triliun, biaya perawatan medis rawat inap dan jalan Rp2,11 triliun, kehilangan produktivitas akibat kematian prematur dan morbiditas maupun disabilitas Rp 105,3 triliun.
Kabar terkini Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan pada 17 September 2018. BPJS Kesehatan mencatat, defisit arus kas rencana kerja anggaran tahunan (RKAT) 2018 mencapai Rp16,5 triliun. Rincian tersebut terdiri dari defisit RKAT 2018 sebesar Rp12,1 triliun dan carry over 2017 sebesar Rp4,4 triliun. Presiden Jokowi menerangkan bahwa penggunaan 50% cukai rokok untuk pelayanan kesehatan juga telah mendapatkan persetujuan dari seluruh kepala daerah.
Budayawan Sudjiwo Tedjo, menyebut perokok adalah pahlawan tanpa tanda jasa, karena dengan sukarela nan gembira membeli rokok plus cukai untuk menambal defisit BPJS. Sebuah dilema dan simalakama yang terus akan menjadi polemik sepanjang regulasi tidak dibenahi. Di satu sisi negara mendapat penghasilan dari industri rokok, di sisi lain rakyat juga terdampak dan terpapar sebagai perokok pasif. Jika peringatan di bungkus rokok berbunyi “Merokok Membunuhmu” mungkin saat ini tidak relevan lagi dan dapat dikoreksi menjadi “Merokok Menyehatkanmu”.(*)
- 587 kali dilihat