Pajak, Hari Anak Indonesia, dan Kehadiran Negara pada Si Miskin
Oleh: Ahmad Dahlan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sepanjang jalan dari kantor menuju tempat kos masih sepi. Hanya ada satu dua orang yang sudah mulai beraktivitas. Pun demikian di sepanjang trotoar sekitaran Kalibata City, yang kalau malam hari penuh oleh pedagang, kini teramat lengang. Maklum, waktu masih menunjukkan pukul 5 kurang sekian belas menit. Tak lama, terdengar sayup-sayup suara azan, entah dari masjid mana.
Pagi ini, jalanan dari Bandung menuju Jakarta lumayan lancar. Kurang lebih dua jam saja perjalanan ini kami tempuh. Sekira pukul setengah lima kami sampai di halaman parkir kantor. Seperti biasa, saya pulang dulu ke kos, di apartemen Kalcit yang terletak di seberang kantor. Saya berjalan kaki hingga melewati jalanan dan trotoar yang masih sepi itu.
Pintu masuk khusus pejalan kaki menuju apartemen masih terkunci. Tapi bukan berarti pejalan kaki seperti saya tidak bisa masuk. Saya masuk lewat pintu keluar buat sepeda motor, sedikit menerobos. Sebelum masuk, saya melihat seorang anak kecil yang sedang tertidur pulas. Ia meringkuk tanpa alas dengan berbantal sebelah lengannya, persis di depan pintu keluar tadi. Di sampingnya, tampak barang dagangan: sekantong tisue.
Sekilas saya berniat membeli barang itu, tapi urung saya lakukan karena kasian harus membangunkan. "Ah.. Nanti saja. Nanti kan lewat sini lagi, kalau perlu saya borong semua dan saya bagi-bagikan kepada teman-teman kantor." Saya menggumam dalam hati.
Setelah istirahat sejenak, jam tujuh lewat sekian menit saya berangkat ke kantor. Saya melewati jalan yang tadi. Saya lihat anak penjual tisu sudah bangun dengan barang dangangan di depannya. Saya buka dompet, bermaksud mengeksekusi niat tadi: memborong semua tisu. Apa daya, uang di dompet hanya tiga helai, lima ribuan rupiah.
Saya tanya berapaan sebungkusnya, "Enam ribuan, Pak" jawabnya. Bahkan untuk membeli tiga bungkus saja uangku tak cukup. Maka, saya beli dua saja, "Kembaliannya ambil saja..!"
"Terima kasih banyak Pak, terima kasih... " jawab si anak sumringah.
Anak kecil penjual tisu itu adalah gambaran sebagian anak Indonesia. Mereka terpaksa harus mengubur keinginannya untuk sekolah demi membantu orang tuanya mencari nafkah, bahkan pada hari yang diperingati sebagai Hari Anak Indonesia, hari ini. Kemiskinan orang tuanyalah penyebabnya.
Apa yang saya lakukan dengan memberi sumbangan alakadarnya adalah hal yang remeh temeh. Hanya mampu membuat senyum sumringah sesaat pada segelintir anak saja. Sementara berdasarkan data terakhir Badan Pusat Statistik hingga Maret 2017, jumlah penduduk miskin mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen dari total penduduk Indonesia. Maka, negara perlu hadir untuk mengurangi kemiskinan ini.
Kehadiran negara terhadap pengentasan kemisikinan adalah dalam bentuk alokasi uang pajak. Dalam APBN 2018 yang 85%-nya berasal dari pajak, sebesar 283,3 triliun rupiah dialokasikan untuk perlindungan sosial. Bentuk programnya, melalui dana desa, bidik misi, bantuan pangan, JKN bagi warga miskin, program Indonesia Pintar dan Program Keluarga Harapan.
Mengingat Indonesia merupakan negara yang jumlah penduduknya besar dan wilayahnya luas serta penerimaan pajak yang masih belum optimal, alokasi perlindungan sosial yang berasal dari uang pajak itu belum bisa menjangkau seluruh masyarakat kurang mampu. Untuk itu diperlukan juga kepedulian masyarakat yang kemampuan ekonomi lebih, termasuk juga perusahaan-perusahaan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR).
Bentuk kepedulian pajak terhadap masalah sosial yang lain adalah diberikannya fasilitas kepada perusahaan yang melaksanakan kegiatan CSR. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010, pengeluaran biaya perusahaan berupa sumbangan, di antaranya sumbangan untuk fasilitas pendidikan dan infra setruktur sosial, diperlakukan sebagai biaya. Tentu saja dengan syarat-syarat tertentu.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa pada umumnya pajak penghasilan dikenakan dari laba netto. Dengan diperlakukannya sumbangan sebagai biaya, berarti memperkecil laba netto, yang berarti memperkecil juga pajaknya. Kebijakan itu dimaksudkan untuk mendorong perusahaan melakukan kegiatan yang bersifat sosial.
Maka, pajak yang Anda bayar, akan memberi kesempatan buat anak-anak miskin untuk sekolah. Selamat Hari Anak Indonesia.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 82 kali dilihat