Memulihkan Luka Reformasi Pajak
Oleh Richard Burton
Kasus pajak yang melibatkan seorang pegawai bernama Gayus Tambunan kembali menjadi perhatian setelah proses penyidikan oleh kepolisian selesai dilakukan. Walaupun gaung persoalan tidak seramai saat kasus ini pertama kali mencuat, kasus pajak ini akan menjadi sejarah kelam sekaligus ujian berat berjalannya proses reformasi pajak yang sedang dilakukan.
Sambil menunggu proses persidangan yang pastinya menyerap waktu cukup panjang, alangkah bijaknya bila kita tetap menjunjung tinggi asas hukum praduga tak bersalah (presumption of innocence). Artinya, biarlah proses persidangan berjalan sesuai dengan aturan undang-undang sampai pada proses putusan hakim berkekuatan hukum tetap (in krach van gewijsde).
Ketika gaung reformasi terus disuarakan, persidangan kasus pajak di atas pastinya membuat luka cukup perih bagi pemerintah, khususnya institusi Direktorat Jenderal Pajak. Sorotan berbagai pihak mengamati kasus pajak paling tidak menimbulkan dua pertanyaan besar. Pertama, bagaimana cara memulihkan luka reformasi pajak agar program yang dicanangkan tetap berjalan. Dan kedua, apakah reformasi pajak atau reformasi di Kementerian Keuangan telah gagal.
Luka atas kasus pajak yang dirasakan masyarakat pastinya cukup perih. Bahkan masyarakat merasa kecewa hingga timbul gerakan sejuta facebooker yang memboikot bayar pajak. Luka reformasi pajak itu pun sangat menusuk perasaan berbagai pihak, termasuk Presiden, Menteri Keuangan, dan Mochammad Tjiptardjo selaku Direktur Jenderal Pajak. Luka reformasi itu pun dikemukakan Tjiptardjo saat wawancara dengan salah satu stasiun televisi di Jakarta.
Luka reformasi
Reformasi pajak yang digagas pemerintah, yang sudah memasuki masa satu windu, membawa dampak serius bagi keberlangsungan pembangunan yang dananya bersumber dari pajak. Siapa pun sejatinya mengakui bahwa pajak merupakan sumber pembiayaan utama negara. Jika bukan pajak, sampai saat ini tidak ada instrumen yang bisa menggantikan peran pajak. APBN setiap tahun masih mengakuinya.
Kalau begitu, luka reformasi pajak harus segera dipulihkan. Semua stakeholder pajak wajib bergandengan tangan menyatukan langkah menuju terciptanya peran pajak yang benar. Luka reformasi tidak boleh lama didiamkan. Luka itu pun tidak boleh menjalar dan menimbulkan luka-luka lain.
Racikan obat memulihkan luka reformasi perlu segera diciptakan. Obat paling ampuh untuk menyembuhkan luka reformasi, dalam pandangan penulis, ada tiga hal. Pertama, komitmen teguh seluruh pegawai Pajak melakukan tugas mengamankan penerimaan pajak agar agenda pembangunan tidak tersendat. Kedua, kesadaran dan kepedulian wajib pajak memenuhi kewajiban pajaknya. Dan ketiga, dukungan berbagai pihak (seluruh instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat luas) agar reformasi terus dijalankan.
Luka reformasi pajak pun akan cepat sembuh bila pandangan tidak lagi melihat kasus yang ada, melainkan berfokus pada program inti yang lebih penting, yakni program mengentaskan masyarakat miskin sebagai amanah konstitusi. Agenda pemerintah Presiden SBY hendaknya berfokus pada hal tersebut. Jika itu betul, lagi-lagi pembiayaannya hanya bisa dilakukan melalui pajak.
Dalam kesempatan memberikan arahan pada rapat gabungan Pajak dan Bea-Cukai beberapa waktu lalu, Presiden SBY menekankan pentingnya aspek keadilan dalam menjalankan kebijakan perpajakan. Sekalipun SBY kecewa adanya kasus, Presiden memandang bahwa pajak adalah instrumen paling penting dalam melanjutkan kemaslahatan umat.
Penekanan aspek keadilan yang disampaikan Presiden sejatinya adalah ingin sesegera mungkin mengentaskan masyarakat miskin. Sebab, filosofi Pajak sejak dulu dimaksudkan menjadikan seluruh masyarakat sejahtera. Keadilan pajak menjadi sasaran tepat untuk dilakukan pembahasan bersama. Jika aspek keadilan pajak sudah tercipta, baik dalam kebijakan maupun aplikasi pelayanannya, hal tersebut diyakini akan segera memulihkan luka yang ada.
Reformasi gagal?
Ketika kasus pajak merebak, sebagian pengamat dan anggota Dewan menilai reformasi birokrasi yang dijalankan pemerintah gagal. Kegagalan dinilai karena pemerintah hanya condong pada peningkatan penghasilan atau remunerasi yang diberikan dan bukan pada peningkatan proses pengawasannya. Apakah benar demikian?
Dalam analisis penulis, tampaknya pendapat tersebut kurang tepat. Sebab, tidak ada sangkut-paut antara remunerasi dan kasus yang terjadi. Kasus terjadi hanya disebabkan oleh dua faktor, pertama, ada kemauan dari oknum, dan kedua, ada kesempatan melakukannya.
Faktor kesempatan dan kemauan menjadi amat dominan dalam terjadinya kasus. Jika ada kesempatan melakukan kecurangan namun yang bersangkutan tidak punya kemauan, tidak akan terjadi kasus. Begitupun, jika ada kemauan namun tidak ada kesempatan, tidak akan terjadi kasus. Kemauan lebih dipengaruhi oleh faktor dalam diri seseorang (faktor iman atau rohani). Sedangkan faktor kesempatan merupakan aspek pengawasan yang dibuat oleh sistem.
Persoalannya sekarang, apakah diciptakannya sistem pengawasan yang canggih, akan menjamin tidak terjadi kasus? Satu asumsi menyebutkan, sehebat-hebatnya atau secanggih-canggihnya sistem tidak menjamin tidak terjadinya masalah. Jadi, seperti kata Sri Mulyani saat menjadi Menteri Keuangan, korupsi merupakan penyakit mental yang tidak ada sangkut-pautnya dengan masalah remunerasi. Korupsi lebih karena adanya kesempatan yang muncul.
Diyakini pula, remunerasi hanyalah bagian kecil proses reformasi pajak. Perubahan Undang-Undang Pajak, struktur organisasi, perbaikan teknologi informasi, penyempurnaan proses bisnis, penyederhanaan pelayanan, dan pembentukan karakter sumber daya manusia merupakan keseluruhan proses reformasi yang harus dijalankan.
Menjadi keliru memandang remunerasi sebagai patokan gagalnya reformasi pajak. Apalagi dikaitkan dengan kasus yang terjadi. Pepatah mengatakan, kalau ada satu, dua, atau lima tikus dalam lumbung, tidak berarti lumbungnya disalahkan, tapi tikusnya ditangkap agar lumbung tidak rusak.
Perbaikan remunerasi dalam jumlah berapa pun memang tidak menjamin akan menekan jumlah kasus. Namun perbaikan remunerasi sebagai bagian dari reformasi merupakan hal wajar yang harus diperhatikan. Karena itu, kasus tetap menjadi kasus yang harus diselesaikan secara bijak dan adil. Penyelesaian kasus melalui proses hukum merupakan jalan tepat memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum, sehingga masyarakat menjadi lebih percaya kepada pemerintah.
Menyadari pentingnya pajak dalam melanjutkan pembangunan, kasus pajak yang terjadi diharapkan menjadi renungan bersama menuju perbaikan di segala lini. Diharapkan seluruh masyarakat menjadi bagian yang melakukan kontrol kepada pemerintah guna melanjutkan reformasi pajak. Dengan pulihnya reformasi pajak, pembangunan menuju kesejahteraan kiranya dapat segera dilanjutkan. (Sumber: Koran Tempo, 21 Agustus 2010)
- 182 kali dilihat