Indonesia menandatangani The Hague Convention 1961, Pentingkah?

Oleh: Kadek Rama Maheswara Putra, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Pada era pemerintahan Jokowi saat ini, pemerintah sedang bergiat menawarkan paket yang menarik untuk investor agar dapat mempermudah melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Sebagai negara yang merdeka dan telah kokoh berdiri di antara pergaulan dunia yang semakin dinamis, menjalin kerja sama internasional dalam berbagai bidang mutlak harus dijalani. Dengan menjadi bagian di berbagai konvensi-konvensi level internasional, maka Indonesia akan dipandang sebagai sebuah negara yang modern dan siap menghadapi iklim pembangunan saat ini yang memang diarahkan juga untuk penanaman modal asing.
The Hague Convention merupakan serangkaian konferensi yang menghasilkan unifikasi hukum perdata internasional, yang diadakan di Belanda tepatnya di kota Den Haag. Berbicara mengenai hukum perdata internasional, ternyata selama ini memiliki penerapan yang beranekaragam di setiap negara, sehingga menyebabkan kesulitan dalam memberlakukan hukum mana yang akan berlaku atas suatu peristiwa hukum yang bersifat perdata. Jadi ketika negara-negara berkomitmen untuk menandatangani The Hague convention ini maka kaidah-kaidah hukum perdata internasional dalam hukum intern dari negara-negara anggota harus diubah menjadi sama dengan aturan hukum negara peserta konvensi lainnya. Hal ini yang dinamakan unifikasi melalui penciptaan “droit uniforme” (uniform law).
Salah satu rangkaian konvensi internasional mungkin bisa dipertimbangkan Indonesia untuk dapat ditandatangani kemudian diratifikasi adalah The Hague Convention 1961 abolishing the requirement of legalization for foreign public documents. Sampai saat ini tidak ada tindak lanjut atas partisipasi Indonesia dalam rangkaian penciptaan unifikasi hukum perdata internasional tersebut, padahal Indonesia telah turut serta menjadi observer sejak tahun 1968 yang saat itu dipimpin oleh para Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan bahkan merupakan negara Asia kedua yang turut serta setelah negara Jepang.
The Hague Convention 1961
Konvensi ini menghapuskan syarat legalisasi untuk dokumen-dokumen yang dibuat di luar negeri untuk dipergunakan dalam suatu perkara yang sedang berlangsung dimuka pengadilan negara lain. Syarat legalisasi ini dalam praktek memang ternyata menyulitkan dan menambahkan ongkos-ongkos yang tidak perlu. Seperti keadaan sekarang ini, jika seorang yang berada di luar negeri hendak membuat suatu dokumen atau akta yang hendak dipakai dalam suatu perkara di Indonesia (misalnya suatu Surat Kuasa), maka haruslah ditandatangani surat ini di muka seorang notaris (legalisasi). Kemudian dilegalisasi lagi tanda tangan notaris ini oleh Departemen Kehakiman negara tersebut. Lalu disampaikan kepada Departemen Luar Negerinya yang meneruskannya pula kepada Kedutaan Republik Indonesia (KBRI) / Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) negara bersangkutan. Semua ini untuk legalisasi dan counter-legalisasi yang memakan waktu dan biaya. Dengan diterimanya konvensi ini maka cukup dengan ditempelkan suatu “modal certificate” pada dokumen yang bersangkutan yang sangat sederhana untuk memenuhi syarat sertified pada dokumen tersebut.
Apostilles itu merupakan sebuah dokumen tambahan yang dikenal dalam The Hague Convention 1961 sebagai satu-satunya legalisasi yang dibutuhkan dengan cara disandingkan dengan dokumen utama yang berfungsi untuk dapat digunakan secara otomatis di seluruh negara anggota The Hague Convention 1961 tanpa perlu melakukan formalitas berupa legalisasi ke Kedutaan/Konsulat Jenderal negara yang bersangkutan. Dengan kata lain ketika menandatangani The Hague Convention ini, negara anggota memiliki kewajiban untuk menghapuskan segala bentuk legalisasi dokumen publik, sehingga mempermudah setiap individu di negara anggota tersebut, terutama yang memerlukan pengakuan legalitas dokumen lintas negara, dalam memenuhi syarat formil yang telah diatur. Dokumen publik yang dimaksud dalam convention ini dapat ditemukan dalam Outline Hague Apostille Convention yaitu sebagai berikut:
“…….. These are documents emanating from an
authority or official connected with a court or tribunal of the State (including documents issued
by an administrative, constitutional or ecclesiastical court or tribunal, a public prosecutor, a
clerk or a process-server); administrative documents; notarial acts; and official certificates
which are placed on documents signed by persons in their private capacity, such as official
certificates recording the registration of a document or the fact that it was in existence on a
certain date and official and notarial authentications of signatures. The main examples of public
documents for which Apostilles are issued in practice include birth, marriage and death
certificates; extracts from commercial registers and other registers; patents; court rulings;
notarial acts and notarial attestations of signatures; academic diplomas issued by public
institutions; 2 etc.”
Dampak Apostille ini bukan menilai kebenaran isi dari dokumen namun hanya melihat keaslian tanda tangan dalam sebuah dokumen atau kebenaran atas stempel dari suatu institusi publik di luar negeri.
The only effect of an Apostille is to certify the authenticity of the signature, the capacity in which the person signing the document has acted, and where appropriate, the identity of the seal or stamp which the document bears. The Apostille does not relate to the content of the underlying document itself (i.e., the apostillised public document)
Ketika setiap wajib pajak tidak memiliki kemampuan untuk dapat hadir memenuhi segala kewajiban perpajakannya atau berhadapan di Pengadilan Pajak, mereka dapat memberikan kuasa kepada pihak lain. Surat Kuasa yang dibuat dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban perpajakan maupun dalam menempuh upaya hukum di bidang perpajakan misalnya dalam proses beracara khususnya di Pengadilan Pajak. Aturan mengenai pemberian kuasa khusus di bidang perpajakan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK/229/PMK.03/2014 tentang hak dan kewajiban seorang kuasa. Jika pemberian kuasa dilangsungkan di dalam wilayah negara Indonesia maka aturan ini tidak akan bermasalah, namun bagaimana jika ternyata pemberi kuasa merupakan orang asing yang tinggal di negara lain namun memiliki bisnis di Indonesia sedangkan seluruh tanggungjawab perpajakannya diserahkan kepada kuasanya di Indonesia?
Terkait dengan Surat Kuasa yang dibuat di luar negeri ternyata bukanlah suatu hal yang mudah untuk dapat digunakan di Indonesia. Bahkan sudah ada beberapa putusan hakim yang mempermasalahkan keabsahan Surat Kuasa, akhirnya keberadaan Surat Kuasa tersebut tidak dapat digunakan di Indonesia sehingga upaya hukum yang ada tidak bisa berjalan. Terhadap beberapa putusan hakim yang mempermasalahkan Surat Kuasa dibuat di luar negeri dalam proses beracara dirasa perlu suatu terobosan tersendiri untuk mempermudah wajib pajak dan fiskus dalam membuat sistem yang kemudian mempermudah wajib pajak agar Surat Kuasa dapat digunakan dengan mudah kapanpun dan dimanapun.
Putusan Peninjauan Kembali nomor 506/B/PK/PJK/2013 merupakan satu putusan yang menggambarkan adanya permasalahan terkait Surat Kuasa yang dibuat di luar negeri dan kemudian digunakan di lingkungan Pengadilan Pajak. Berikut merupakan kronologis dari sengketa tersebut:
Kronologis Sengketa
1. Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP- 973/WPJ.06/20 diterbitkan pada tanggal 15 Nopember 2010.
2. Surat Permohonan Banding tanpa nomor tanggal 27 Januari 2011 ditandatangani oleh Nuryadi Mulyodiwarno yang memperoleh kuasa dari Arthur Edward Morgan Jones (tertulis Direktur BUT Gearbulk AG), dalam surat Permohonan Banding tersebut diterima di Pengadilan Pajak pajak tanggal 9 Februari 2011 dengan cara diantar.
3. Pada persidangan tanggal 15 Nopember 2011, Pemohon PK (semula Pemohon Banding) menunjukkan Surat Kuasa khusus nomor 05/BD2007/2011 dan Arthur Edward Morgan Jones (tertulis Direktur BU Gearbulk AG) kepada Nuryadi Mulyodiwarno, untuk mewakili (termasuk menandatangani) dan/atau mengurus proses banding Pajak Pertambah Nilai atas Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP 97 WPJ.06/2010 tertanggal 15 November 2010 tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Tahun Pajak 20 No. 00026/207/07/022/09 tanggal 21 Agustus 2009 Masa Januari Desember 2007. Dalam Surat Kuasa khusus tersebut, tertulis ditandatangani di Jakarta, 19 Januari 2011. Berdasarkan penelitian diketahui bahwa Arthur Edwa Morgan Jones adalah pemegang paspor British dengan nomor 09458964. Oleh karena itu Terbanding meminta bukti bahwa pada saat tanggal ditandatangani Surat Kuasa tersebut, Arthur Edward Morgan Jones benar berada di Jakarta.
4. Dalam persidangan tanggal 10 Januari 2012, Pemohon PK (semula Pemohon Banding) menyatakan bahwa terdapat kesalahan pencantuman tempat penandatanganan dalam Surat Kuasa khusus nomor 05/BD2007/2011 tanggal 19 Januari 2011, di mana dalam Surat Kuasa khusus tersebut tertuang ditandatangani di Jakarta, seharusnya ditandatangani di London. Oleh karena itu, Surat Kuasa tersebut diperbaiki, dengan cara kata Jakarta dalam Surat Kuasa tersebut dicoret, diparaf dan dinotariskan melalui notaris Pauline A Rivers (Mole Cottage, 23 Creek Road, Hampton Court, E Molesey) pada tanggal 21 November 2011. Surat Kuasa khusus tersebut yang telah diperbaiki tersebut dilegalisasi di Kedutaan Besar Republik Indonesia pada tanggal 2 Desember 2011.
Singkat pembahasan dalam permohonan Peninjauan Kembali ini pun wajib pajak tidak dapat menempuh lebih dalam membahas material yang seharusnya menjadi fokus utama, karena syarat formil tersebut tidak terpenuhi. Mahkamah Agung berpendapat bahwa Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sudah tepat menolak permohonan banding karena Surat Kuasa saat pengajuan banding belum diketahui oleh KBRI/KJRI setempat. Hal tersebut telah melanggar Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Selain itu alasan hakim untuk menolak permohonan banding tersebut adalah karena hakim telah memiliki yurisprudensi yang bersifat stare decisis atau yurisprudensi tetap, mengenai cara koreksi agar putusan tersebut berlaku secara formal.
Wajib pajak kemudian melakukan revisi atas Surat Kuasa tersebut dari yang sebelumnya ditandatangani di Jakarta ternyata sesungguhnya pemberi kuasa berada di London.
Pada saat surat banding ditanda tangani oleh kuasa hukum belum diketahui oleh Kedutaan Besar Republik Indonesia Swiss (tempat ditandatanganinya kuasa waktu itu) dan baru dilegalisasi pada tanggal 2 Desember 2011, berarti Surat Kuasa dibuat dan dilampirkan lewat batas waktu pengajuan banding yaitu 3 (tiga) bulan.
Analisis Sengketa
Jika dihubungkan dengan contoh sengketa diatas maka Surat Kuasa tersebut dapat dikategorikan ke dalam notarial attestations of signatures di mana Surat Kuasa tersebut telah ditandatangani dan disahkan oleh notaris Pauline A Rivers (Mole Cottage, 23 Creek Road, Hampton Court, E Molesey). Setelah memperoleh tanda tangan notaris, kemudian harus menuju ke KBRI/KJRI Indonesia di negara setempat. Oleh karena Indonesia bukan merupakan merupakan anggota The Hague Convention 1961 maka proses legalisasi ke KBRI/KJRI di mana dokumen dibuat arus dijalani.
Sedangkan melihat fakta bahwa KBRI/KJRI tidak ada di seluruh kota di luar negeri maka tentu untuk memenuhi ini bukan merupakan suatu hal yang sulit untuk dipenuhi dan menimbulkan biaya yang tidak sedikit dan banyak membuang waktu. Sedangkan jika Indonesia menandatangani konvensi ini maka dapat dipastikan bahwa orang asing yang ingin memberikan kuasa kepada orang Indonesia akan jauh lebih mudah dan murah, karena Indonesia harus mengubah kaidah-kaidah hukum perdata internasional yang ada dalam hukum internnya menjadi sesuai dengan apa yang telah diatur dalam The Hague Convention 1961 abolishing the requirement of legalization for foreign public documents.
Kesimpulan
Atas segala kejadian di atas, penulis berpendapat bahwa negara Indonesia sudah waktunya untuk lebih memberikan perhatian lebih dalam mempermudah legalisasi dokumen yang dibuat atau berasal dari luar negeri. Dengan menandatangani The Hague Convention 1961 abolishing the requirement of legalization for foreign public documents ini maka sudah dipastikan akan ada perubahan yang signifikan dari formalitas yang biasanya dilalui dalam melegalisasi dokumen. Seperti yang dikeluhkan oleh wajib pajak dalam sengketa tersebut bahwa memang seharusnya hal ini dipertimbangkan untuk menciptakan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan sesuai dengan yang tertuang dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
SUMBER :
1. Swartawa, I Nyoman Rina. Perlukah Legalisasi atas Surat Kuasa yang dibuat di luar negeri?. diakses di www.pajak.go.id pada tanggal 1 Agustus 2018.
2. Gautama, Sudargo. 1983. Capita Selekta Hukum Perdata Internasional. Bandung: Penerbit Alumni.
- 2177 kali dilihat