Oleh: Oji Saeroji, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Ekonomi Indonesia di tahun 2018 bukanlah tahun yang mudah tantangannya dimulai dari ancaman harga komoditas yang tidak menentu, arus modal yang tidak pasti, nilai tukar yang bergejolak, suku bunga yang naik dan perdagangan global yang masih terus mengancam diperparah dengan berlangsungnya perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok yang sewaktu-waktu dapat menyebabkan ketidakpastian ekonomi global. Belum lagi bencana alam yang menimpa sejumlah daerah di Indonesia membuat tekanan kian berat namun demikian Indonesia bisa melalui hal tersebut dengan baik bahkan gelaran pesta olah raga bangsa Asia yaitu Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang seolah menjadi menjadi bukti bahwa Indonesia dalam keadaan baik-baik saja.

Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2018 sudah tutup buku, kementerian keuangan menyebut bahan realisasi APBN tersebut menjadi yang terbaik sebagaimana penjelasan Menteri Keuangan dalam rilis di akun facebooknya salah satu indikatornya adalah target penerimaan Negara sebesar Rp1.894,72 triliun bisa tercapai di atas 100 persen, serapan belanja Negara terealisasi 97 persen dengan defisit primer di bawah 2 persen dari Produk Domestic Bruto (PDB) juga adanya suplus kesimbangan primer tercatat Rp4,1 triliun.

Pencapaian penerimaan negara yang memenuhi target pada tahun 2018 lalu merupakan suatu hal yang layak diapresiasi karena hal ini merupakan salah stau wujud APBN yang lebih kredibel. Kredibilitas APBN itu sendiri amat penting bagi keberlanjutan fiskal, terlebih anggaran negara selama ini masih menjadi pengungkit utama bagi perekonomian nasional walaupun secara ukuran tidak terlalu dominan nyatanya APBN terbukti ampuh bisa menjadi penyetir dan navigator pelaku bisnis.

Volume APBN yang meningkat setiap tahunnya yang juga didongkrak oleh utang yang prudent patut di syukuri sebagai upaya pemerintah dan DPR mendorong ekonomi lebih kencang berlari. Dan ketika laju ekonomi didorong lebih kencang dengan cara pemerintah menggelontorkan uang ke system ekonomi dengan efektif dan tepat sasaran negara bisa mendaptakan penerimaan pajak yang lebih besar karena dengan penerimaan penerimaan pajak yang lebih besar bisa membuat belanja pemerintah lebih besar pula begitu seterusnya membentuk siklus keberlanjutan ekonomi yang solid.

Realisasi penerimaan pajak tahun 2018 lebih baik dibandingkan tahun lalu, bahkan hingga mendekati 100% dari target. Optimisme tersebut ditopang oleh peningkatan penerimaan aneka jenis pajak, Adapun, outlook penerimaan pajak sendiri sampai akhir tahun 2018 sebesar 95% atau jika dihitung sebesar Rp1.350 triliun.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pertumbuhan penerimaan pajak pada tahun 2018 cukup bagus dan stabil pada kisaran 15% - 16% atau jauh di atas realisasi pertumbuhan 2017 sekitar 2%. Selain target lebih realistis, kinerja perpajakan juga didukung kenaikan harga komoditas, seperti minyak bumi dan batu bara, meskipun terus fluktuatif.

Kepatuhan untuk masing-masing jenis pajak juga meningkat terutama pascaprogram pengampunan atau amnesti. Kondisi ini mengindikasikan bahwa wajib pajak peserta amnesti memilih tetap patuh. Meskipun tak ada kebijakan serupa amnesti pajak sepanjang 2018, CITA mengakui terjadi perbaikan secara administrasi, prosedur, dan proses bisnis. Perbaikan ini terutama terkait dengan penyederhanaan dan integrasi dokumen layanan di Dirketorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), percepatan restitusi, kemudahan pendaftaran wajib pajak dan Pengusaha Kena Pajak (PKP), serta ketentuan kebijakan audit berbasis risiko sesuai surat nomor SE-15/2018.

Pemerintah juga menerapkan kebijakan pajak responsif terhadap kondisi makroekonomi. Contohnya, pembatasan impor melalui kenaikan Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 22. Kebijakan ini bukan untuk meningkatkan penerimaan melainkan memberi dampak psikologis kepada pasar uang untuk menyelamatkan rupiah. Beleid pajak juga dinilai lebih berpihak kepada kelompok usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2018 menyatakan, tarif PPh Final bagi pelaku UMKM menjadi 0,5%. Penurunan tarif PPh final diharapkan sejalan dengan peningkatan kesadaran membayar pajak bagi pelaku UMKM mengingat sektor ini termasuk bisnis yang tak mudah dipajaki.

Dalam asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019, pemerintah dan DPR mematok pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan bisa lebih tinggi dari yang dipatok APBN. Sedangkan tahun ini, dia memprediksi hanya akan tumbuh 5,2%, lebih rendah dari target APBN 2018 sebesar 5,4%.

Sentimen tahun politik akan mengerek pertumbuhan ekonomi 2019. Konsumsi masih menjadi motor penggerak utama perekonomian. Tahun politik akan meningkatkan aktifitas ekonomi, terutama dari konsumsi pemerintah dan rumah tangga. Sebenarnya pemerintah sadar ada sejumlah tantangan yang akan terjadi. Pemerintah akan menghadapinya dengan berbagai kebijakan agar pertumbuhan ekonomi tetap positif.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah akan tetap menjaga agar pertumbuhan ekonomi tahun depan di kisaran 5,4%. Dia yakin tahun politik membuat konsumsi dan investasi tetap terjaga. Pemerintah akan berupaya menggenjot ekspor, meski banyak tantangan global yang harus dihadapi yang pada akhirnya akan mendorong tumbuhnya capaian penerimaan negara dari sektor pajak.

Mengelola APBN yang bertumpu pada sumber pendapatan negara yang utama di mana sistem perpajakan terus menerus disempurnakan sepanjang tahun 2018 lalu harapannya akan tetap mendapatkan kepercayaan masyarakat terlebih memasuki tahun politik memang membuat banyak kalangan pebisnis lebih berhati-hati, namun biasanya setelah hasil pemilu diumumkan roda ekonomi bisa berputar lebih lancar karena lebih banyak mendapatkan kepastian tentu saja dengan catatan bahwa pemilu 2019 terselenggara dengan damai dan pesta lima tahunan yang menyenangkan dalam kehidupan berbangsa.

Dengan demikian keberhasilan pemerintah mewujudkan APBN yang lebih kredibel di tahun 2018 diharapkan bisa berlanjut di tahun APBN 2019 yang adil, sehat, dan mandiri. Sehat artinya APBN memiliki defisit yang semakin rendah dan keseimbangan primer menuju positif. Adil karena APBN digunakan sebagai instrumen kebijakan meraih keadilan, menurunkan tingkat kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, dan mengatasi disparitas antarkelompok pendapatan dan antarwilayah.

Dari sisi kemandirian APBN Tahun Anggaran 2019 dapat dilihat dari penerimaan perpajakan yang tumbuh signifikan sehingga memberikan kontribusi dominan terhadap pendapatan negara serta mengurangi kebutuhan pembiayaan yang bersumber dari utang. Dengan APBN yang sehat, adil, dan mandiri diharapkan kebijakan fiskal akan mampu merespon dinamika volatilitas global, menjawab tantangan dan mendukung pencapaian target-target pembangunan secara optimal. Semoga. (*)

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis bekerja.