Agar Sumbangan Gempa Lombok dapat Kurangi Beban Pajak

Oleh: Ahmad Dahlan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sebelum ini, saya menulis tentang sumbangan gempa Lombok agar dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, maka statusnya harus dinaikkan sebgai bencana nasional. Pada saat tulisan itu dibuat, yaitu tanggal 9 Agustus 2018, belum ada berita tentang penetapan status tersebut. Sehari setelahnya (tanggal 10 Agustus 2018) saya mendapat berita bahwa pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tidak akan menetapkan musibah gempa Lombok sebagai bencana nasional.
Alasan pemerintah tidak menetapkan gempa Lombok sebagai bencana nasional karena pemerintah daerah yang terkena musibah masih bisa berfungsi, tidak lumpuh total. Namun demikian, masih menurut BNPB, penanganan gempa Lombok berskala nasional. Personil yang dikerahkan ke sana kebanyakan orang pusat, TNI, Polri, Basarnas, BNPB, kementerian, dan lembaga terkait. Di samping itu, logistik dan bantuan peralatan sebagian besar dari pusat. Menurut BNPB, Menteri Keuangan Sri Mulyani siap mengucurkan anggaran penanganan gempa di Lombok dan wilayah lain di Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai 4 triliun rupiah.
Dengan tidak ditetapkannya status gempa Lombok sebagai bencana nasional, maka sumbangan yang diberikan oleh perusahaan (wajib pajak) kepada korban gempa itu tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Lalu bagaimana caranya agar sumbangan tersebut dapat dikurangkan sebagai penghasilan bruto sehingga mengurangi beban pajak?
Mari kita cermati isi aturan yang memuat pemberian sumbangan ini, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010. Menurut pasal 1 huruf e peraturan pemerintah tersebut, bahwa selain sumbangan kepada korban bencana nasional, Sumbangan dan/atau biaya yang dapat dikurangkan sampai jumlah tertentu dari penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak adalah juga biaya pembangunan infrastruktur sosial, yaitu biaya yang dikeluarkan untuk keperluan membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan bersifat nirlaba.
Bahwa akibat gempa Lombok tidak hanya menghancurkan rumah-rumah penduduk, tapi juga rumah-rumah ibadah, bangunan sekolah, dan sarana dan prasarana sosial lainnya. Maka agar perusahaan, melalui program CSR-nya, sumbangan yang diberikan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, sumbangan tersebut dikhususkan untuk pembangunan sarana dan prasaran sosial.
Lebih lanjut, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2011 mengatur tata cara pencatatan dan pelaporan sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Bahwa Besarnya nilai sumbangan dan/atau biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto untuk 1 (satu) tahun dibatasi tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto fiskal Tahun Pajak sebelumnya. Di samping itu, biaya pembangunan infrastruktur sosial diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.
Pasal selanjutnya dalam peraturan menteri keuangan di atas mengatur, biaya pembangunan infrastruktur sosial dikurangkan dari penghasilan bruto pada tahun pajak infrastruktur sosial tersebut dapat dimanfaatkan. Dalam hal pembangunan infrastruktur sosial dilaksanakan lebih dari 1 (satu) Tahun Pajak, biaya pembangunan infrastruktur sosial dibebankan sekaligus sebagai pengurang penghasilan bruto pada Tahun Pajak infrastruktur sosial dapat dimanfaatkan. Dalam hal pembangunan infrastruktur sosial dibiayai oleh lebih dari 1 (satu) wajib pajak, biaya pembangunan infrastruktur sosial yang dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto adalah biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh masing-masing wajib pajak.
Saya masih berharap pemerintah akan mengeluarkan aturan khusus mengenai perlakuan sumbangan kepada korban bencana gempa Lombok. Seperti pada saat bencana stunami Aceh, gempa Tasikmalaya, dan gempa Yogyakarta, pemerintah melalui peraturan presiden dan peraturan menteri keuangan, memperlakukan sumbangan atas penanggulangan bencana dimaksud sebagai biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Selama belum ada aturan lebih lanjut, penjelasan di atas bisa diterapkan bagi wajib pajak penyumbang pembangunan infrastruktur sosial akibat bencana gempa Lombok.(*)
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
- 625 kali dilihat