Oleh: Salman Faruqi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Dalam rangka penyambutan bulan suci Ramadan, setiap daerah di Indonesia memiliki caranya masing-masing dalam menyambut bulan yang spesial itu, termasuk di Aceh. Masyarakat Aceh biasanya menyambutnya dengan makmeugang atau meugang, yaitu hari yang dirayakan dengan cara memasak dan menyantap daging bersama-sama dengan keluarga, kerabat, atau tetangga. Meugang ini menjadi ajang silaturahmi dan gotong royong dalam kehidupan sosial di Aceh. Daging meugang biasanya diolah menjadi makanan khas Aceh, di antaranya daging kuah beulangong, sate matang, dan lain sebagainya.

Budaya ini sangat mempengaruhi kondisi ekonomi yang signifikan di beberapa sisi. Alasan lainnya adalah aktivitas berhenti untuk sementara demi kegiatan meugang berjalan dengan lancar. Kantor di Provinsi Aceh menutup layanannya sementara, baik kantor pemerintahan maupun swasta. Bahkan, banyak warung makan yang tutup selama beberapa hari. Kantor Pajak yang berada di Provinsi Aceh tetap membuka layanannya. Walaupun wajib pajak yang berkunjung biasanya relatif sepi saat meugang, upaya antisipasi agar wajib pajak yang butuh bantuan konsultasi tetap bisa dilayani oleh kantor pajak, baik itu Kantor Pelayanan Pajak (KPP) maupun Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP). Ini adalah bentuk komitmen Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memberikan pelayanan prima sesuai nilai-nilai Kementerian Keuangan. Meskipun membuat jeda untuk kegiatan perkantoran, meugang membuat keramaian di rumah warga dan pasar.

Ada beberapa kelompok yang diuntungkan dalam perayaan meugang ini, antara lain:

Peternak Hewan Peternak hewan akan kebanjiran permintaan dari distributor maupun konsumen langsung selama tradisi meugang. Daging kambing, sapi, atau kerbau adalah bahan utama dalam meugang. Sering kali stok hewan ternak di Aceh tidak memenuhi permintaan pasar saat meugang sehingga harus memesan dari luar provinsi Aceh. Ditambah lagi, di sektor pemotongan hewan juga akan meningkat permintaannya. Peternak hewan akan mendapat kenaikan pendapatan karena tradisi meugang ini.

Penjual Daging Menjelang meugang, suasana pasar akan sangat ramai oleh pembeli. Tidak peduli harga sedang mahal apalagi murah, masyarakat Aceh tetap membeli daging untuk merayakan meugang. Selain membeli daging, mereka juga membeli bumbu tambahan agar masakan lebih enak disantap. Ditambah lagi masakan Aceh terkenal akan kaya rempah dalam komposisi masakannya. Beberapa bahan hidangan dan minuman pelengkap juga laku dijual seperti kue, sirup, buah, dan lain sebagainya. Hal ini tentu menimbulkan momentum bagi pedagang di pasar karena mereka akan mendapatkan peningkatan pendapatan.

Masyarakat Kurang Mampu

Masyarakat Aceh juga membagikannya kepada kelompok yang membutuhkan seperti tetangga yang kurang mampu, anak yatim piatu, dan kelompok rentan lainnya. Hal ini adalah salah satu makna dari meugang yaitu membantu orang yang ekonominya lebih lemah dari kita. Dalam ajaran Islam, kita harus ikhlas untuk bersedekah. Sebagai bentuk rasa syukur akan rezeki yang telah dilimpahkan kepada kita karena tidak semua orang memiliki rezeki sebanyak yang kita punyai.

Terlebih lagi dalam kehidupan bermasyarakatnya, Orang Aceh merupakan masyarakat yang sangat menjunjung ajaran agama Islam. Mereka adalah orang yang gemar bersedekah dan ringan tangan. Orang Aceh juga merupakan masyarakat yang sangat menghargai tamu, mereka tidak segan-segan untuk mengeluarkan semua makanan yang mereka miliki untuk menjamu tamu yang datang. Semuanya dilaksanakan secara ikhlas dan hati yang senang.

Hal-hal baik ini sudah berlangsung lama di Aceh, dilansir dari laman Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia, Sejarah Tradisi Meugang sudah dilaksanakan sejak ratusan tahun yang lalu di Aceh. Meugang dimulai sejak masa Kerajaan Aceh. Kala itu (1607-1636 M), Sultan Iskandar Muda memotong hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagikan secara gratis kepada seluruh rakyatnya. Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur atas kemakmuran rakyatnya dan rasa terima kasih kepada rakyatnya. Setelah Kerajaan Aceh ditaklukan oleh Belanda pada tahun 1873, tradisi ini tidak lagi dilaksanakan oleh raja. Namun, karena hal ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, maka meugang tetap dilaksanakan hingga saat ini dalam kondisi apapun. Tradisi meugang juga dimanfaatkan oleh pahlawan Aceh dalam bergerilya, yakni daging sapi dan kambing diawetkan untuk perbekalan. Tradisi meugang sudah dinobatkan menjadi warisan budaya takbenda pada tahun 2016 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Dengan tradisi yang masih lestari ini, diharapkan banyak pelaku usaha yang omzetnya meningkat signifikan sehingga mereka mampu membayar pajak. Tidak semua pelaku usaha wajib membayar pajak, hanya penjual dengan omzet melebihi Rp. 500 juta dalam setahun sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PP 55/2022). Masyarakat Aceh mengajarkan kita bahwa sebuah momen seperti makan bersama tidak hanya berdampak pada segi sosial tetapi juga terhadap segi ekonomi.

Mereka juga memperlihatkan pergerakan ekonomi yang riang gembira serta tidak lupa bersyukur dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Akhir kata, selamat menunaikan ibadah puasa di Bulan Ramadan 1445 Hijriah bagi seluruh umat muslim, semoga dapat memaksimalkan momentum di bulan yang suci ini serta menjadi pribadi yang lebih baik saat dan setelah bulan Ramadan.

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.