Oleh: Sandra Puspita, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

E-book atau buku digital mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan ini bahkan digadang-gadang dapat menggeser keberadaan buku fisik. Secara harfiah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ­e-book atau buku digital adalah tulisan yang dikumpulkan dalam suatu alat yang dibuat dan bekerja berdasarkan prinsip dasar elektronika.

E-book pertama kali popular sejak tahun 1998 dan mendorong para penulis dan penerbit buku untuk ikut serta melahirkan dan menjual karyanya dalam versi digital. Buku digital kemudian makin disenangi di kalangan pecinta buku karena dianggap lebih praktis, lebih terjangkau dan lebih ramah lingkungan.

Dari sisi penulis, buku digital ini juga dianggap sebagai pilihan yang menggiurkan karena mereka dapat memotong dana yang cukup banyak untuk kebutuhan pencetakan dan pengiriman buku ke seluruh daerah. Maraknya buku digital di pasaran kemudian dikatakan sebagai pembaharuan teknologi yang lebih ramah lingkungan karena mendukung gerakan pengurangan penggunaan kertas dalam proses publikasi buku. Tapi, apa benar bahwa buku digital lebih ramah lingkungan seperti yang digaungkan sebagian masyarakat? Mari kita bahas.

Buku Fisik vs Buku Digital

Pada dasarnya, buku fisik maupun buku digital tentu memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Dari segi kemudahan, tentu buku digital menjuarai hati para pembaca. Pembaca tidak perlu repot-repot membawa buku-buku bacaan favorit yang kadang tebal dan beratnya hampir memenuhi isi tas. Selain itu, dari segi penyimpanan, pembaca juga tidak perlu repot-repot membeli lemari atau rak khusus dengan harga yang beragam untuk menyimpan buku-buku favorit.

Namun, ditinjau dari segi kesehatan, para pecinta buku digital sepertinya harus mengalah pada aspek ini. Gawai yang digunakan sebagai sarana buku digital memancarkan radiasi yang dapat melelahkan mata jika digunakan pada waktu yang lama. Tidak hanya itu, pecinta buku digital juga harus mempertimbangkan performa gawai sebagai penunjang buku digital untuk memberikan kenyamanan dan pengalaman yang baik dalam membaca.

Melihat dari sisi plus dan minus yang telah sedikit dijabarkan, tentu sulit bagi kita untuk menentukan mana yang lebih baik di antaranya keduanya. Keduanya dianggap seimbang dan mampu memberikan pengalaman membaca yang berbeda bagi penikmatnya. Namun, jika ditelisik dari sisi keramahan lingkungan, tentu #KawanPajak berpikir bahwa buku digital jauh lebih ramah lingkungan daripada buku fisik.

Sekarang, mari kita kupas fakta buku digital dan buku fisik lewat aspek emisi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jean-Robert Wells yang berjudul Carbon Footprint Assessment of a Paperback Book (2012), sumber emisi atas publikasi sebuah buku fisik berasal dari:

  1. penebangan kayu/deforestasi sebagai bahan baku kertas;
  2. teknologi dan limbah dalam proses pembuatan kertas;
  3. proses pabrikasi atas pencetakaan hingga penjilidan buku; dan
  4. polusi dari transportasi pengiriman buku fisik.

Dalam studinya, Jean juga mengambil contoh atas penerbitan 400.000 buku fisik di Amerika Utara. Jean menyatakan bahwa jejak karbon yang dihasilkan dari proses pembuatan buku fisik sampai ke tangan konsumen kurang lebih 1.048 ton CO2-eq (carbon dioxide equivalent) atau sekitar 2,71 kilogram CO2-eq untuk setiap buku yang dihasilkan atau setara dengan mengendarai mobil berbahan bakar bensin sejauh 10 kilometer. Jean juga menambahkan, angka ini dapat bervariasi tergantung dari jenis hutan yang ditebang, apakah hutan tersebut merupakan hutan alami ataupun hutan buatan; jenis kertas yang digunakan; dan lokasi dari produksi buku tersebut, jenis energi yang digunakan dan biaya transsportasi yang digunakan dapat berbeda.

Lantas bagaimana dengan emisi yang dihasilkan dari buku digital? Apakah dapat lebih kecil atau justru lebih besar? Jean menyatakan bahwa untuk menentukan sumber emisi atas buku digital jauh lebih sulit dibandingkan buku fisik. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan perangkat atau gawai yang digunakan oleh pembaca serta jangka waktu yang dihabiskan untuk membaca satu buah buku digital.

Dalam studi lain bertajuk The Environmental Impact of Amazon’s Kindle oleh Emma Ritch (2012), satu juta unit buku digital terjual pada akhir tahun 2008 di Amerika Serikat. Nilai ini ternyata terus meningkat hingga pada tahun 2012, penjualan salah satu perusahaan buku digital, iSuppli, meyakini bahwa mereka dapat meningkatkan penjualan hingga 18,3 juta buku digital pada tahun 2012.

Emma menjelaskan bahwa sumber emisi atas buku digital paling besar berasal dari:

  1. tambang mineral;
  2. penggunaan energi listrik untuk mengisi ulang baterai;
  3. penggunaan internet;
  4. distribusi; dan
  5. produksi buku digital yang menggunakan perangkat listrik.

Emma juga menjabarkan estimasi jejak karbon yang dikeluarkan untuk menghasilkan buku digital hingga sampai ke tangan pembaca adalah sekitar 167,85 kg CO2-eq /Kindle selama tiga hingga lima tahun. Nilai ini setara dengan mengendarai mobil berbahan bakar bensin sejauh 261 km.

Penerapan Pajak Karbon

Pajak karbon sudah bukan hal yang asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pajak karbon mulai digaungkan ke seluruh masyarakat Indonesia, terutama kepada orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau menghasilkan emisi karbon sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 13 UU HPP.

Pemerintah mengesahkan bahwa pengenaan tarif pajak karbon yang dikenakan ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon per CO2-eq. Mekanisme tarif pajak yang diterapkan pemerintah didasarkan pada batas emisi (cap and tax). Batasan tarif paling rendah adalah sebesar Rp30,00 per CO2-eq dan saat ini diterapkan secara terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara. Tetapi, bukan berarti tidak mungkin pajak karbon ini kemudian diperluas pada beberapa sektor industri lainnya.

Besarnya potensi pajak karbon atas buku digital selama satu tahun dapat diestimasikan dengan skema pengenaan pajak karbon dengan tarif terendah yaitu Rp30 per CO2-eq dan mengacu pada data yang telah dibahas sebelumnya. Jumlah emisi karbon yang dihasilkan untuk penerbitan 400.000 buku fisik setara dengan 1.048 ton CO2-eq atau setara dengan 1.048.000 kg CO2-eq. Maka, potensi pajak karbon yang dihasilkan adalah sebesar Rp31.440.000/tahun atau sekitar Rp2.620.000/bulan.

Selanjutnya, potensi pajak karbon atas penerbitan buku digital hingga sampai ke tangan konsumen dapat kita tentukan dengan mengonversi nilai emisi karbon per tahun. Asumsikan bahwa Kindle digunakan sesuai masa manfaat selama lima tahun. Maka emisi karbon yang dihasilkan sebesar 167,85 kg CO2-eq : 5 tahun = 33,57 kg CO2-eq. Potensi pajak karbon untuk sebuah buku digital hanya akan senilai Rp1.007/tahun. Namun, menurut hemat penulis, nilai ini tidak dapat semata-mata dijadikan acuan yang pasti dalam menentukan potensi pajak karbon, karena perbedaan nilai yang terpaut jauh ini ditentukan oleh banyak faktor, seperti jumlah waktu yang digunakan hingga kuantitas yang digunakan.

Nah, setelah membahas potensi pajak karbon atas buku digital dan buku fisik, #KawanPajak ada yang berubah haluan atau justru tetap pada pendirian, nih, soal preferensi buku?

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.