Oleh: Suparnyo, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Cari, pilih, bayar. Habis itu kita tinggal menunggu barang sampai. Begitulah ketika kita belanja via online. Prosesnya sangat mudah. Cukup unduh aplikasi dan isi data yang dibutuhkan. Tidak perlu kita belajar bahasa pemrograman dan membuat sendiri aplikasi untuk memudahkan hidup kita. Semua karena adanya inovasi. Betapa pembaruan tak bisa lepas dari mimpi dan khayalan. Tak kan ada hal baru, temuan, tanpa imajinasi. Lantas, siapa mereka? Mengapa mereka bisa sehebat itu? Dalam bentuk apa inovasinya? Pertanyaan-pertanyaan ini kalau dilanjut tidak ada habisnya.

Orang-orang hebat ini datang dari mana saja. Poin pentingnya adalah, hal ini menyadarkan kita akan hakikat keharusan untuk menerima "perbedaan" dan "kelemahan". Agama, ras, asal asul, kuliah atau bukan, fisik terbatas atau tidak, dan seterusnya. Makanya, sangat mengerikan jikalau sampai detik ini masih saja ada perundungan (bullying). Jony Ive, salah satunya. Dilahirkan dengan disleksia; sulit menulis, mengeja, berbicara, dan membaca. Dengan keterbatasan itu, dia menjadi pentolan desainer Apple sampai sekarang. Tiap Apple hendak meluncurkan produk baru, keputusan menggunakan software dan hardware Apple yang mana keduanya tidak bisa dipisahkan, ada di tangannya.

Imajinasi tidak ada batasnya. Bentuk maupun medianya. Bisa berupa barang maupun teknologi. Bisa dengan buku, film, ataupun lagu. Apa yang dulu seperti khayalan, sekarang sudah menjadi hal biasa. Seperti duluan mana antara telur dan ayam. Antara penelitian, imajinasi, dan temuan juga sama. Sulit ditentukan mana yang pertama. Kehidupan kita, semuanya tak lepas dari fase-fase dalam Revolusi Industri. Dari Revolusi Industri 1.0, era mesin uap, yang dimulai di Inggris pada abad ke-18. Revolusi Industri 2.0, era produksi massal, pada abad ke-19. Revolusi Industri 3.0, era teknologi informasi dan automasi, dimulai pada tahun 1970-an. Hingga sekarang, Revolusi Industri 4.0, era digitalisasi dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI). Bahkan Revolusi Industri 5.0, era kebangkitan society, yang akan lebih fokus terhadap kombinasi antara pendayagunaan antara berbagai aspek, seperti manusia, data, serta teknologi.

Film Dune: Part Two yang saat ini masih tayang di beberapa bioskop adalah adaptasi dari novel ilmiah karya Frank Herbert. Ia dibuat dengan "teknik seabrek detail" sehingga muatan dalam tulisan sangat padat. Novel ini dipersiapkan sepanjang tahun 1957 sampai 1965. Hampir semua kalimat pada tiap paragraf bagus. Salah satunya, “Ada kecenderungan bahwa proses memesinkan dunia ini berlangsung secara otomatis, entah kita menginginkannya atau tidak. Sebabnya karena di dalam diri manusia Barat modern, potensi untuk menciptakan mesin telah ditanamkan dan distimulasi sehingga nyaris menjadi suatu naluri.”

Kalimat ini merupakan salah satu bukti, bahwa imajinasi Frank Herbert terwujud pada era sekarang dan di sinilah kita semua sekarang berada. “Fiksi membawa kita masuk ke dunia yang mungkin, yang tidak ada di sini.” Begitu kata filsuf serta astronom Karlina Supelli, dan fiksi tetap amat penting. Inovasi ada tiap era dan sifatnya sangat dinamis.

Semua organsiasi maupun individu harus tunduk pada setiap era yang ada dalam tiap fase Revolusi Industri. Ketika eranya otomatisasi dan AI seperti sekarang maka semua harus menggunakannya. Kalau kita tidak ikut maka kita akan sulit sendiri. Contoh sederhananya adalah saat parkir. Di tempat tertentu, kita dipaksa harus memindai barcode untuk bayar dengan QRIS, serta meminimalisasi proses pembayaran manual.

Apalagi untuk perusahaan maupun institusi. Proses manual akan ketinggalan zaman, boros dan sulit. Semua berlomba memanfaatkannya karena banyak peluang di situ. Tentu kita ingat kontroversi aplikasi jejaring sosial TikTok yang juga sebagai platform jualan. Sangat besar hasilnya dibandingkan dengan yang hanya platform lokapasar. Lantaran awalnya dilarang pemerintah, TikTok menjalin kerja sama dengan Tokopedia untuk jualannya.

Adaptasi DJP

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyadari bahwa masa depan Indonesia adalah digital. Kondisi kemajuan digital di Indonesia saat ini dan hilangnya kendala digital di masa depan akan menempa wajib pajak digital Indonesia. DJP tentunya siap menghadapi perubahan ekspektasi masyarakat dan ini adalah peluang untuk meningkatkan persepsi wajib pajak atas pelayanan publik.

Core Tax Administration System (CTAS, atau lebih populer disebut Coretax), atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) adalah jawaban, mengintregasikan 21 proses bisnis dalam satu sistem informasi. Setelah lebih dari 14 tahun, sistem informasi DJP kini membutuhkan inovasi yang cukup besar karena platform dan proses yang ada saat ini menimbulkan lima tantangan signifikan.

Pertama, ada risiko kegagalan operasional yang dapat sangat mempengaruhi kemampuan DJP untuk mengadministrasikan penerimaan pajak. Kedua, DJP perlu secara cepat dan ekonomis mengimplementasikan perubahan kebijakan atau prioritas lain bagi pemerintah. Ketiga, DJP butuh untuk membuatnya lebih mudah dan lebih murah bagi pelanggan untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban. Keempat, DJP dipandang perlu sepenuhnya memanfaatkan informasi dan keahlian yang dimiliki di seluruh sektor. Dan kelima, integritas sistem pendapatan akan terancam jika DJP tidak dapat mempertahankan atau meningkatkan kinerja organisasi. Lima tantangan ini tanggung jawab bersama antara DJP, pemangku kepentingan, dan wajib pajak.

Sudah ada beberapa contoh kemudahan atas hasil dari integrasi data perpajakan ini. Misalnya pemindahbukuan, dulu jika terjadi kesalahan setor pajak harus bersurat ke kantor pajak, dengan e-PBK maka bisa dilakukan secara daring. Kemudian e-PHTB untuk validasi Pajak Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan juga onlineAngan-angan layanan perpajakan yang semakin mudah diakses, sangat mungkin terwujud. 

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.