Oleh: Reyhan Yunus, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Setelah diberlakukannya peraturan baru mengenai penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, banyak pemahaman yang muncul terkait peraturan tersebut. Aturan baru dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 tentang Tarif Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Wajib Pajak Orang Pribadi (PP 58/2023). Aturan turunannya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, atau Kegiatan Pribadi (PMK 168/2023).

Salah satu isu yang menghangat, dan berlanjut hingga kini, adalah bahwa peraturan tersebut mengakibatkan pengenaan pajak yang lebih tinggi sehingga mengurangi penghasilan karyawan, baik untuk penghasilan yang diperoleh di periode Januari sampai dengan November (yang menggunakan Tarif Efektif Rata-rata atau disingkat TER) maupun yang diperoleh di periode Desember ketika perhitungan PPh Pasal 21 menggunakan rumus/formula yang berlaku sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Ciptaker).

Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tentu saja telah mengoreksi pemahaman ini dengan penjelasan-penjelasan melalui media sosial, media berita termasuk televisi dan sosialisasi-sosialisasi melalui unit vertikal DJP, di mana pada dasarnya pengenaan PPh Pasal 21 berdasarkan ketentuan anyar ihwal TER, bukan merupakan pajak baru ataupun tarif baru dan tidak mengakibatkan kenaikan potongan pajak atas penghasilan yang diperoleh karyawan.

Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa nyatanya bagi sebagian karyawan terdapat perubahan nilai PPh Pasal 21 yang dipotong dari penghasilan mereka, jika dibandingkan dengan nilai PPh Pasal 21 yang dipotong di periode/tahun sebelumnya, ketika tidak ada perubahan variabel terkait penghasilan mereka seperti status tanggungan dan besarnya penghasilan yang diperoleh.

Pertanyaan terkait perbedaan nilai PPh Pasal 21 di atas juga timbul setelah sekarang karyawan baru memperoleh informasi atau bahkan menyadari bahwa nilai PPh Pasal 21 yang akan dipotong dari penghasilan mereka di periode Desember akan berbeda dengan nilai PPh Pasal 21 yang dipotong di periode Januari sampai dengan November.

Para karyawan, pegawai, pemberi kerja dan masyarakat pada umumnya, perlu memahami bahwa pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh seorang Wajib Pajak pada dasarnya dihitung secara tahunan, dan pajak yang dipotong dari penghasilan yang diterima atau diperoleh tahun ini, merupakan angsuran atau cicilan yang nantinya akan diperhitungkan sebagai pengurang (kredit pajak) ketika Wajib Pajak yang bersangkutan menghitung pajak yang terutang atas penghasilannya melalui pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU PPh jo. UU Ciptaker yang menyatakan bahwa pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh wajib pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh wajib pajak sendiri.

Pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain (dalam hal ini oleh perusahaan, instansi, atau pemberi kerja) salah satunya dimaksudkan untuk memudahkan karyawan dan pegawai dalam aspek administrasi pelunasan pajak atas penghasilan mereka, dimana karyawan tidak perlu menghitung, menyetorkan dan melaporkan sendiri pajak atas penghasilan yang diperoleh di setiap bulan, namun dilakukan oleh bagian administrasi perusahaan.

Dalam Pasal 20 ayat (2) UU PPh jo. UU Ciptaker, diatur bahwa pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Ditinjau dari aspek saat diterima atau diperolehnya penghasilan oleh karyawan, hal ini tentu saja dimaksudkan untuk memastikan bahwa pelunasan pajak yang terutang dilaksanakan ketika dana masih tersedia dan belum dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran lain yang dapat mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan kewajiban pembayaran pajak.

Kembali ke pertanyaan mengenai pengenaan PPh Pasal 21 berdasarkan PP 58/2023, dan setelah kita mengetahui ketentuan dalam Pasal 20 UU PPh jo. UU Ciptaker, maka kita dapat memahami bahwa besar-kecilnya PPh Pasal 21 yang dipotong dari penghasilan karyawan di periode Januari sampai dengan November, tidak mempengaruhi nilai pajak penghasilan dalam setahun. Hal ini karena kekurangan dan kelebihan pemotongan pada periode Januari sampai dengan November akan diperhitungkan pada saat penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima di periode Desember.

"Apakah kalau nilai PPh Pasal 21 periode Januari sampai dengan November 2024 lebih kecil daripada nilai PPh Pasal 21 periode Januari sampai dengan November 2023, maka potongan PPh Pasal 21 di periode Desember 2024 akan lebih besar?"

Pertanyaan ini hanya bisa dijawab setelah kita memperoleh data penghasilan yang lengkap selama satu tahun pada 2024.

Pada dasarnya nilai PPh Pasal 21 yang dipotong setiap bulan merupakan rata-rata nilai PPh Pasal 21 yang terutang dalam tahun yang bersangkutan, dan berbanding lurus dengan nilai penghasilan yang diperoleh di tahun tersebut. Jika terdapat perubahan nilai penghasilan bruto di suatu periode (misalnya karena ada tunjangan hari raya, bonus, kenaikan gaji, denda, ganti rugi, pemotongan upah), nilai PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk penghasilan di periode tersebut tentunya akan berbeda dari periode-periode sebelumnya.

Penghitungan PPh Pasal 21 yang lebih mudah, tidak hanya membantu perusahaan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan terkait penghasilan yang dibayarkan kepada karyawannya, tetapi juga membantu karyawan untuk mengevaluasi kebenaran perhitungan pajak yang dipotong dari penghasilannya, dimana pada akhirnya merupakan tindakan konkret para karyawan dalam penerapan pilar akuntabilitas governansi perusahaan yang baik (Good Corporate Governance).

 

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.