tax

Oleh: Surya Wulan Dani, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

 

Kata tindak pidana berasal dari istilah strafbaar feit dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan strafbaar feit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai tindak pidana. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan kejahatan. Sebagaimana dikutip dalam dalam buku Asas-asas Hukum Pidana (Moeljatno, 2013), A.G. Van Hammel, seorang cendekiawan dari Belanda, mendefinisikan stafbaar feit sebagai kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam undang-undang, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straafwaardig), dan dilakukan dengan kesalahan. Dari definisi di atas, dapat dilihat bahwa menurut A.G. Van Hammel, tindak pidana memiliki beberapa unsur, yaitu:

  1. perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
  2. sifat melawan hukum,
  3. dilakukan dengan kesalahan, dan
  4. patut dipidana.

Seorang cendekiawan lainnya, Simon, menjelaskan bahwa stafbaar feit adalah segala tindakan yang bersifat melawan hukum, berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab dan diancam pidana (Moeljatno, 2013). Dari definisi ini, dapat dilihat bahwa terdapat lima unsur tindak pidana, yaitu:

  1. perbuatan manusia,
  2. sifat melawan hukum,
  3. dilakukan dengan kesalahan,
  4. diancam dengan pidana, dan
  5. oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

Ahli hukum Indonesia, Prof. Moeljatno, mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang disertai dengan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Dengan demikian, untuk mengetahui adanya suatu tindak pidana, dirumuskanlah suatu peraturan perundang-undangan yang menjabarkan perbuatan-perbuatan yang dilarang beserta sanksi pidananya. Perumusan perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam bidang perpajakan beserta sanksi pidananya dirumuskan dalam beberapa undang-undang, yaitu: Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan (s.t.d.t.d.) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (UU PBB), Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 (UU Bea Meterai), dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (UU PPSP).

Suatu perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana di bidang perpajakan jika terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana dan pembuktian unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa dilakukan pada saat proses pemeriksaan dalam persidangan di pengadilan. Terdapat empat unsur tindak pidana di bidang perpajakan, meliputi:

  1. Unsur Subjek

Unsur subjek yaitu pelaku suatu tindak pidana yang dalam Pasal 39 dan Pasal 39A UU KUP disebutkan dengan “setiap orang” kemudian ditegaskan dalam Pasal 43 UU KUP dengan menyebutkan “termasuk wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Dari rumusan tiga pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa subjek adalah Orang Pribadi (naturaliijk persoon), Badan (recht persoon), dan pihak lain.

  1. Unsur Perbuatan

Unsur perbuatan yaitu perbuatan-perbuatan di bidang perpajakan yang memenuhi rumusan dalam undang-undang dan bersifat melawan hukum. Perbuatan-perbuatan tersebut dirumuskan dalam ketentuan pidana dalam UU KUP, UU PBB, UU Bea Meterai, dan UU PPSP. Pasal-pasal yang merumuskan perbuatan pidana dan saksinya terdapat dalam Pasal 38, 39, 39A, 41A, 41B, 41C, 43 UU KUP; Pasal 24, 25 UU PBB; Pasal 24, 25, 26 UU Bea Meterai; dan Pasal 41A UU PPSP.

  1. Unsur Akibat,

Perbuatan-perbuatan pidana yang dirumuskan dalam pasal-pasal tersebut di atas memiliki unsur akibat dari suatu keadaan yang dilarang. Misalnya, Pasal 38 UU KUP:

Setiap orang yang karena kealpaannya:

  1. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
  2. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Dari bunyi Pasal 38 UU KUP tersebut, dengan jelas disebutkan unsur akibat dari perbuatan yang dilarang berupa timbulnya kerugian pada pendapatan negara.

  1. Unsur Kesalahan

Unsur kesalahan sebagai salah satu syarat penjatuhan pidana bagi terdakwa berupa perhubungan keadaan jiwa pelaku terhadap perbuatannya. Hal ini dikenal dengan “mens rea” berupa niat pelaku, baik berupa kealpaan (culpa) maupun kesengajaan (dolus) dalam melakukan suatu perbuatan yang dilarang. Undang-undang perpajakan mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kealpaan dan kesengajaan. Pasal 38 UU KUP merupakan contoh rumusan pidana bentuk kesalahan karena kealpaan. Pasal 39 ayat (1) UU KUP merupakan contoh pasal pidana yang merumuskan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja beserta sanksi pidananya

Penyidik Direktorat Jenderal Pajak melakukan penyidikan berupa serangkaian tindakan dalam rangka mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. Jika berkas perkara penyidikan telah dinyatakan lengkap oleh Jaksa, maka proses dilanjutkan dengan pelimpahan kewenangan atas berkas perkara, tersangka, dan barang bukti ke pengadilan.

Tags