Oleh: Ricky Winanto, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Terhitung sejak tanggal 2 November 2020, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) efektif mulai berlaku. Hal ini sejalan dengan rencana strategis DJP tahun 2020-2024 yang menjelaskan bahwa kerangka regulasi harus menunjang kemudahan pencapaian visi dan misi presiden, dengan memperhatikan kaidah pembentukan regulasi yang sederhana, mudah dipahami, tertib, dan memberi manfaat konkrit dalam pembangunan nasional.

Klaster kemudahan berusaha di bidang perpajakan, antara lain bertujuan menciptakan iklim usaha yang kondusif, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kepastian hukum dan minat warga negara asing dengan klasifikasi khusus untuk bekerja di Indonesia, serta mendorong kepatuhan sukarela wajib pajak dan menciptakan keadilan berusaha antara para pelaku usaha. Pokok-pokok perubahan terkait Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam Pasal 112 UU Cipta Kerja antara lain terkait penyerahan secara konsinyasi (Pasal 1A), penyerahan hasil pertambangan batu bara (Pasal 4A), pengkreditan Pajak Masukan (Pasal 9), dan faktur pajak (Pasal 13).

Relaksasi pajak masukan yang dapat dikreditkan

Untuk mendorong kepatuhan wajib pajak dan wajib bayar secara sukarela, beberapa hal yang mengalami perubahan adalah terkait dengan pajak masukan (PM) atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang dapat dikreditkan oleh pengusaha kena pajak (PKP) yang antara lain mengatur diperkenankannya pengakuan seluruh PM sebelum melakukan kegiatan komersial atau operasional penyerahan produksi, PPN dalam rangka impor yang telah dibayarkan atas pemanfataan BKP dan JKP dari luar daerah pabean dapat dikreditkan maksimal sebesar 80% (delapan puluh persen), PPN yang belum dilaporkan dalam SPT masa namun tidak dapat dilakukan pembetulan karena telah dilakukan pemeriksaan pajak dapat diperhitungkan sepanjang faktur pajak memenuhi ketentuan formal dan material.

Selain itu, yang tidak kalah penting adalah pajak masukan yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak dapat dikreditkan oleh PKP sebesar jumlah pokok PPN yang tercantum dalam ketetapan pajak dengan ketentuan sepanjang telah dilakukan pelunasan dan tidak dilakukan upaya hukum. Terakhir adalah permasalahan yang sering menjadi keluhan wajib pajak akibat pemungut yang tidak melakukan kewajibannya untuk melakukan penyetoran dan pelaporan namun merugikan hak pelanggan yang telah melakukan pembayaran PPN sesuai faktur yang telah diterbitkan.

Dampak Putusan Mahkamah Konstitusi bagi PKP

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XIV/2016 tanggal 6 Oktober 2016 telah memberikan definisi hukum penjelasan Pasal 2 ayat (4a) Undang undang KUP sehingga memberikan kepastian hukum bagi Direktorat Jenderal Pajak untuk memberlakukan secara retroaktif kewajiban perpajakan yang berlaku surut lima tahun ke belakang sejak dipenuhinya persyaratan subjektif dan objektif tanpa mengindahkan apakah wajib pajak mendaftarkan diri secara sukarela atas kemauan sendiri atau dikukuhkan PKP secara jabatan.

Beberapa permasalahan yang penulis ketahui antara lain pemeriksaan yang dilakukan terhadap beberapa pengusaha yang telah mengajukan permohonan PKP secara sukarela dan setelah dilakukan penelitian telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif beberapa tahun sebelum dikukuhkan sebagai PKP sehingga diterbitkan surat ketetapan pajak. Wajib pajak keberatan dengan alasan tidak pernah melakukan pemungutan PPN sehingga apabila diterbitkan surat ketetapan pajak akan berakibat kepada arus kas karena harus menanggung pajak yang tidak pernah dipungut ditambah sanksi administrasi berupa bunga dan denda yang jumlahnya bisa lebih besar dari pokok pajak. Wajib pajak ini berpendapat bahwa ketentuan yang berlaku surut hanya berlaku bagi wajib pajak yang dikukuhkan PKP secara jabatan oleh DJP.

Permasalahan yang sering dialami oleh beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang importir peralatan kantor, barang kebutuhan rumah tangga, distributor barang elektronik dan perusahaan jasa konstruksi skala kecil misalnya tidak ada skema untuk melaporkan faktur pajak atas transaksi yang dilakukan sebelum dikukuhkan sebagai PKP karena sistem penomoran dibuat secara otomatis, sehingga tanggal faktur tidak dapat dibuat mundur. Hal ini menimbulkan terganggunya likuiditas perusahaan karena faktanya wajib pajak tidak pernah melakukan pemungutan tetapi harus membayar 10% (sepuluh persen) dari total nilai penjualan sebagai akibat tidak ada mekanisme pelaporan PM yang telah dibayar sebelum dikukuhkan sebagai PKP.

Dalam hal wajib pajak telah dilakukan pemeriksaan, berdasarkan ketentuan yang berlaku tidak diperbolehkan untuk menyampaikan SPT dan melakukan pembetulan sehingga PM yang belum dilaporkan dan ditemukan saat pemeriksaan sehingga tidak dapat diperhitungkan. Faktanya PPN atas transaksi tersebut telah dibayarkan sehingga timbul persepsi di kalangan pengusaha tidak terpenuhi asas keadilan karena menimbulkan persaingan yang tidak kompetitif terutama apabila bersaing dengan pengusaha lain tidak memungut PPN.

Kepatuhan sukarela meningkatkan penerimaan pajak

Sesuai dengan tujuan hukum yaitu mencapai keadilan, undang-undang serta pelaksanaan pemungutan pajak harus dilakukan secara adil (Mardiasmo, 2009). Undang-undang Cipta Kerja tentunya memberikan solusi atas permasalahan yang dialami oleh sebagian wajib pajak terutama rasa khawatir apabila sewaktu-waktu dapat dilakukan pemeriksaan karena kelalaian yang mereka lakukan sebelum mendaftarkan diri sebagai PKP namun telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif.

Apabila wajib pajak dengan sukarela ingin mengajukan permohonan untuk dikukuhkan sebagai PKP, DJP dapat memberikan akses untuk melaporkan SPT masa PPN dengan format tertentu dan mengakomodir keinginan wajib pajak sektor tertentu seperti tersebut di atas dengan memperhitungkan PPN yang telah dibayar saat melakukan impor atau pembelian persediaan bahan baku atau barang jadi. Bagi pengusaha pedagang eceran diperbolehkan membuat faktur pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam hal melakukan penyerahan kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir, sehingga pembuatan faktur pajak dapat digabung dalam satu masa.

Penulis berpendapat hal ini merupakan kesempatan baik yang diberikan kepada wajib pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan pajak dengan benar sebelum dilakukan pemeriksaan. Bagi wajib pajak yang telah dilakukan pemeriksaan tetap memperoleh hak atas PPN yang telah dibayarkan walaupun belum dilaporkan dalam SPT PPN. Sanksi administrasi yang dikenakan atas kelalaian membuat faktur pajak dikenakan sebesar 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak, lebih rendah dibandingkan aturan sebelumnya sebesar 2% (dua persen).

Undang-undang Cipta Kerja seyogyanya disambut antusias karena selaras dengan prinsip kepastian hukum dan keadilan dalam berusaha. Wajib pajak diharapkan segera menghitung, menyetor dan melaporkan PPN sesuai prinsip self assessment sejak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sehingga dapat meningkatkan penerimaan Negara.

 *) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.