Kejujuran dan Upaya Membangun Citra

Oleh: Teddy Ferdian, pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Membangun citra positif bukan hal yang mudah. Terlebih bagi organisasi besar seperti Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Tantangan membangun citra positif semakin besar karena DJP kerap kali menjadi sorotan. Integritas pegawai, kualitas layanan, dan implementasi kebijakan adalah beberapa contoh hal-hal yang dapat mempengaruhi citra DJP di mata masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata citra memiliki beberapa arti, antara lain rupa, gambar, gambaran; gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai sesuatu; kesan mental atau bayangan visual; dan data/informasi dari potret udara. Jika dihubungkan dengan konteks organisasi, citra boleh diartikan sebagai kesan, gambaran, atau pandangan yang dimiliki oleh masyarakat ketika mendengar kata “DJP” atau “pajak”.
Beberapa kali saya pernah melihat publikasi media sosial dari kantor pajak di Jakarta. Publikasi dalam bentuk video menggambarkan testimoni dari seorang artis sekaligus wajib pajak yang terdaftar di kantor pajak tersebut. Testimoni itu menunjukkan kepuasan sang artis sebagai wajib pajak atas pemberian layanan perpajakan di kantor pajak.
Publikasi di media sosial merupakan salah satu bentuk penuturan kantor pajak dalam menunjukkan keseriusan institusi pajak dalam memberikan pelayanan perpajakan yang optimal kepada masyarakat dan wajib pajak. Upaya menuturkan dan menyebarluaskan kegiatan dan sisi positif kantor pajak melalui konten media sosial merupakan salah satu cara membangun citra positif dari institusi perpajakan.
Membangun citra positif tidak cukup hanya dengan menonjolkan sisi positif kantor pajak untuk satu waktu. Namun, citra positif tercipta dari rangkaian aktivitas yang dilakukan oleh kantor pajak. Publik pastinya tidak langsung memberikan pandangan positif kepada institusi perpajakan hanya karena satu pengalaman positif dalam menerima pelayanan.
Ada banyak faktor yang bisa berpengaruh. Pelayanan perpajakan memang yang utama. Namun faktor lain seperti penggunaan uang pajak, integritas pegawai pajak, atau kasus korupsi yang melibatkan oknum pegawai pajak bisa ikut memberikan pengaruh dalam berhasil tidaknya institusi perpajakan membangun citra positif.
Hal yang unik adalah bisa jadi ada faktor eksternal yang ikut berpengaruh dalam upaya membangun citra positif. Misalnya dalam hal penggunaan uang pajak. Pengalokasian penerimaan negara dari sektor perpajakan tentunya melibatkan banyak kementerian dan lembaga. Dan senang atau tidak, penilaian publik atas penggunaan dana pajak ini sedikit banyak turut berdampak pada citra positif institusi perpajakan.
Truth and Trust
Tidak dapat dipungkiri bahwa citra positif merupakan elemen paling penting untuk meningkatkan kepercayaan (trust) publik. Trust dari masyarakat menjadi penting untuk mengoptimalkan kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Dan kepatuhan wajib pajak yang tinggi merupakan salah satu tujuan institusi perpajakan dilihat dari perspektif wajib pajak.
Jika diselisik lebih mendalam, upaya meningkatkan trust untuk kepatuhan pajak tidak cukup hanya menyasar wajib pajak saja. Dalam lingkup kecil mungkin benar, karena seberapa jauh wajib pajak menjalankan kewajiban pajak secara benar akan berpengaruh besar pada peningkatan kepatuhan pajak. Namun, dalam lingkup yang lebih luas, masyarakat ikut memberikan pengaruh pada peningkatan kepatuhan pajak. Dalam hal ini masyarakat juga bukan hanya yang sudah memiliki penghasilan. Remaja atau anak-anak usia sekolah juga dapat menentukan bagaimana kondisi kepatuhan pajak, terutama untuk jangka panjang.
Hal ini disadari oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sehingga tidak mengherankan jika DJP gencar melaksanakan kegiatan yang ditujukan untuk peningkatan kepatuhan pajak. Bukan hanya menyasar wajib pajak, namun juga masyarakat secara umum. Kegiatan yang dilakukan juga dikemas dengan menarik, bukan hanya dengan kegiatan formal seperti sosialisiasi aturan, edukasi, dan penyuluhan. Kegiatan yang dilaksanakan ini juga merupakan upaya membangun citra positif DJP di tengah-tengah masyarakat.
Sebut saja kegiatan-kegiatan seperti Tax Goes to School, Pajak Bertutur, dan Spectaxcular. Kegiatan ini dikemas sedemikian rupa sehingga menarik perhatian publik. Banyak kegitan yang juga menyasar anak-anak usia sekolah. DJP membahasakannya sebagai inklusi kesadaran pajak. Dan masyarakat yang menjadi sasaran kegiatan dimulai sejak usia sekolah. Hal ini sekaligus merupakan bentuk peran DJP dalam mewujudkan generasi emas Indonesia yang sadar pajak
Mewujudkan kesadaran itu memerlukan pemahaman. Sebagai contoh, kesadaran untuk tertib berlalu lintas memerlukan pemahaman sebagai tahap awalnya. Pemahaman aturan lalu lintas, pemahaman berkendara di jalan, pemahaman risiko jika melakukan pelanggaran, dan pemahaman terhadap sanksi pelanggaran harus dimiliki oleh seseorang agar kesadaran dapat terbentuk dalam diri.
Dalam konteks kesadaran pajak, pemahaman pajak perlu dimiliki oleh masyarakat. Akan menjadi lebih mudah ketika pemahaman itu diberikan sejak usia dini. Di usia dini, anak biasanya akan siap sepenuhnya untuk menerima suatu informasi. Beda halnya ketika orang sudah semakin dewasa. Biasanya akan mulai muncul tembok yang membentengi karena semakin dewasa seseorang, akan semakin banyak pemikiran yang menjadi pertimbangan. Pertimbangan ini bahkan sering mengarah pada penyangkalan atas informasi yang diterima.
Melalui kesadaran pajak, generasi muda memberikan arti dan berkontribusi. Bukan hanya untuk karier mereka nanti, namun juga untuk masa depan Indonesia. Apapun profesi yang mereka pilih nantinya, mereka akan menjadi profesional yang sadar dan patuh pajak. Mereka juga dapat menularkan semangat sadar dan patuh pajak kepada orang lain.
Bertutur dengan jujur menjadi kuncinya. Kejujuran (truth) harus disadari dan dilakukan dahulu oleh pegawai pajak sebelum disampaikan kepada masyarakat. Harapannya seluruh aparat pemerintah juga memegang kejujuran ini. Kejujuran yang dituturkan akan menularkan kejujuran lain. Dan ini yang akan mewujudkan citra positif DJP.
Akhirnya, citra positif menjadi hal yang penting untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap DJP. Namun, proses mewujudkan citra positif menjadi lebih utama. Kejujuran menjadi intinya. Kejujuran dalam bertutur, kejujuran dalam edukasi, kejujuran dalam publikasi, dan kejujuran-kejujuran lain yang dilakukan menjadi bagian dari proses membangun citra. Dengan begitu, citra positif terhadap organisasi akan bertahan untuk jangka waktu yang panjang. Dan ini adalah salah satu penentu dalam meningkatkan kepercayaan publik untuk menciptakan kepatuhan pajak sukarela yang tinggi.
*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
Konten yang terdapat pada halaman ini dapat disalin dan digunakan kembali untuk keperluan nonkomersial. Namun, kami berharap pengguna untuk mencantumkan sumber dari konten yang digunakan dengan cara menautkan kembali ke halaman asli. Semoga membantu.
- 63 kali dilihat